Namun selain lagu-lagu kekinian saya juga mulai suka dengan musk gamelan Jawa yang justru sangat hidup di bumi Sriwijaya oleh warga Jawa yang telah menetap dan didukung oleh warga lokal yang bahkan dari suku lain.Â
Ketika benci mulai berubah jadi cinta. Apakah ini bisa disebut sebagai sweet karma?
Seperti petuah tentang cinta, "Jangan terlalu membenci nanti jatuh cinta." Begitulah, perlahan tapi pasti musik gamelan yang tadinya begitu mengusik telinga saya, sekarang terasa begitu syahdu mendayu-dayu.Â
Kecintaan saya terhadap musik gamelan berawal ketika saya menunggu seorang tamu dari Italia di sebuah hotel berbintang. Suasana hotel yang cukup elegan ditambah alunan lembut suara gamelan yang dimainkan secara live oleh seorang niyaga dalam bahasa Jawa biasa dipanggil yaga dan seorang sinden.Â
Jika orang asing saja bertekad untuk bisa memainkan gamelan, mengapa saya justru tidak suka? Dari sinilah saya mulai bisa menerima musik khas Jawa Tengah ini dan makin suka.
Mendengar alunan gamelan mendatangkan perasaan damai, tenang dan relax. Mungkin ini deskripsi yang berlebihan, tapi begitulah yang saya rasakan.Â
Kekaguman saya terhadap gamelan makin meningkat ketika di tanah rantau ini, saya terseret dalam sebuah grup paduan suara gereja yang menggunakan seratus persen gamelan sebagai alat musiknya.Â
Sebagai catatan saya tidak bisa bernyanyi, karena saya buta nada. Namun saya tetap bersedia ikut rombongan paduan suara ini, semata-mata saya ingin bersosialisasi, mengagumi gamelan, bisa memuliakan Tuhan lewat tembang dan tetap ingin budaya ini lestari.Â
Cukup bangga melihat budaya dari tanah lahir ini dimainkan di tanah rantau, bisa diterima dan banyak dikagumi. Dikarenakan anggota paduan suara yang mayoritas, bisa dibilang seluruhnya adalah ibu-ibu dan tidak hanya berasal dari lingkungan Jawa, ada Batak atau asli dari Palembang, maka lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan memakai bahasa Indonesia, supaya tidak terjadi kesalahan dalam pengucapan kata. Namun tetap saja intonasinya memakai gaya Jawa.
Sebelum COVID paguyuban ini aktif mengisi acara pernikahan atau ibadah misa inkulturasi setiap malam satu sura (1 Muharram). Namun karena COVID, jadi terhenti sementara waktu.
Mengingat kembali perkataan saya sendiri waktu masih bocah, bahwa saya tidak akan suka gamelan, saya merasa seperti sedang kena batu atas omongan saya sendiri.Â