Mohon tunggu...
Ulil Aydi
Ulil Aydi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum / Sosiologi / ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Impeachment Presiden dalam Tinjauan Hukum Islam

11 Juli 2024   23:10 Diperbarui: 11 Juli 2024   23:46 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelanggaran kedua, penggunaan pasal 7 Tap MPR III/ 1978 bukan saja menyandang status ekstra konstitusi namun juga bertentangan dengan konstitusi. Apa yang disebut body of constitution, dengan adanya dua katagori kuasa dan relasi competence dari MPR, Presiden dan DPR. Berdasarkan pasal 3, pasal 6 ayat 2 dan pasal 37 UUD 1945, MPR tidak memiliki kompetensi untuk menentukan sikap jalannya pemerintahan negara. Pada dekade tersebut, relasi antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif dapat dinilai seimbang.Keadaan pemerintahan dengan sedemikian rupa memiliki intrik yang dekat dengan prinsip presidensil atas suatu negara. Hal ini kontradiktif dengan pasal 7 tap MPR RI nomor III tahun 1978 yang menjelaskan dengan prinsip parlementer. Dengan adanya sistem parlementer uang sebenarnya, konstitusi seharusnya melimpahkan kekuasaan legislatif dalam konteks demikian kepada dewan perwakilan rakyat, tidak kepada majelis permusyawaratan rakyat. 

Rumusan MPR RI III tahun 1978  lahir pada saat rezim presiden soeharto berkuasa yang memberikan indikasi bahwasanya terdapat adanya upaya merumuskan produk hukum yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan yang memang tidak dijelaskan dengan detai mengenai sistem pemakzulan yang diatur di dalam konstitusi. Yang pada dasarnya presiden tidak dapat di makzulkan hanya dengan atas tap MPR akan tetapi memang harus berdasarkan konstitusi. 

Tap MPR yang disusun pada saat itu secara kuantitatif disusun dengan ½ anggota MPR yang berasal dari DPR-RI yang pada saat itu mayoritas dikuasai oleh partai yang berafiliasi dengan presiden. Penunjukan langsung dalam perwakilan yang ditujukan dari daerah-daerah semakin memperkiat adanya kepentingan politik hukum yang fundamental berdasarkan hak prerogatif yang dimiliki oleh penguasa sehingga saat itu sangat mustahil untuk memakzulkan presiden karena kekuatan legislatif pada umumnya berpihak kepada presiden dengan indikasi adanya komposisi yang nyata atas lembaga legislatif dengan segala keterpihakan yang dimiliki. 

Pelanggaran ketiga, substansi memorandum I dan II telah melampaui batas kewenangan DPR sebagaimana yang termaktub dalam pasal 7 ayat 2 Tap MPR III/1978. Yang berbunyi Apabila DPR menganggap Presiden sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Sedangkan muatan materi memorandum I dan II, berbunyi patut diduga bahwa presiden Abdurahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog. Diksi bentuk pelanggaran dengan kata Kata patut diduga hanya bersifat sementara dengan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap, sedangkan Tap MPR mensyaratkan adanya sungguh-sungguh telah memiliki kekuatan hukum tetap. 

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahfud MD dan Akil Mochtar, bahwa Presiden Abdurrahman wahid tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum atas kasus dana Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunai. Alasan ini dikemukakan atas berdasarkan pemeriksaan Jaksa Agung secara projustisia yang mengumumkan secara resmi Presiden bersih dari soal hukum dalam kasus tersebut. Dalam konstelasi lembaga negara pada saat tersebut, lembaga legislatif telah melampaui kewenangannya dan beranggap bahwa hal tersebut secara subtsansial mengakuisisi kewenangan lembaga yudikatif. 

Pelanggaran oleh Presiden sebagaimana Tap MPR di atas adalah pelanggaran atas haluan negara yang bersifat manajerial pemerintahan dalam masa jabatan yang emban oleh warga negara selama masa jabatan. Isi memorandum yang berisi pelanggaran tindak pidana yang menggunakan frasa patut diduga dengan tanpa putusan dari pengadilan yang mana tindak lanjut dalam material ini dapat dikaitkan dengan dictum dari memorandum yang menjelaskan bahwa presiden telah melanggar TAP MPR nomor XI tahun 1998 tentang penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN. 

Sedangkan pelanggaran yang dimaksud tidak terdapat putusan pengadilan yang menyatakan dengan jelas bahwa presiden Abdurrahman wahid memang bersalah. Memorandum ke II yang dikeluarkan oleh MPR kontradiktif dengan pasal 7 ayat 3 tap MPR III tahun 1978 yang mengutip bahwa  apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka DPR menyampaikan memorandum yang kedua. DPR mengeluarkan memorandum pertama pada tangal 1 februari 2001 setelah hal tersebut, presiden abdurrahman wahid  memberi jawaban atas memorandum tersebut satu bulan setelahnya yang kemudian ditolak oleh mayoritas anggota DPR dengan kata tidak memuaskan dan mendorong dikeluarkannya Memorandum II. Sedangkan pasal 7 ayat 2, tidak mensyaratkan apapun dari frasa “memperhatikan”, apakah memuaskan atau tidak. Jawaban Presiden Abdurrahman wahid atas memorandum I telah memenuhi anggapan bahwa presiden telah memperhatikan memorandum I yang telah dilayangkan DPR pada 1 februari 2001. 

Kemudian sidang istimewa MPR yang dilakukan sebagaimana tap MPR III tahun 1978 untuk meminta pertanggungjawaban presiden tidak sah dikarenakan syarat atar persidangan tersebut adalah harus di hadiri oleh seluruh fraksi sedangkan pada saat tersebut yang tidak hadir dalam sidang istimewa Sidang adalah fraksi FDKS dan fraksi PKB yang dilakukan pada tanggal 23 juli 2001. Maka secara formil proses hukum yang laksanakan oleh MPR terhadap pemakzulan presiden dapat dikategorikan sebagai inkonstitutional. Yang selanjutnya dasar hukum yang digunakan untuk pemakzulan presiden abdurrahman wahid hanya menggunakan dasar tap MPR yang di akuisisikan kedalam sidang istimea yang dilaksanakan pada tanggal 23 juli 2001.dengan fakta yang demikian adanya, pemakzulan presiden yang terkesan inkonstitutional memiliki kecacatan ang nyata dalam formilnya dengan fakta politik bahwa presiden tidak memiliki kekuatan politik yang seimbang dalam hal pemakzulan tersebut.


Konsep Pemakzulan Presiden Ditinjau Dari Fiqh Siyasah.  Dalam hal ini lembaga yang berhak atas kewenangan ini dalam mengupayakan penyelamatan negara atas pemimpin yang telah disyaratkan kepadanya atas suatu negara dan tidak dapat mempertanggungjawabkan karena beberapa hal dzalim yang menyertainya maka lembaga yang dapat memerikan putusan adalh mahkamah madzalim.  Beberapa kewenangan lain yang menyertai dalam lembaga ini adalah wewenang untuk memberhentikan dan memberikan peringatan kepada khalifah. 

Apabila dalam hal ini khalifah mengalami pelanggaran atas selalu mengundurkan diri, maka masalah atas hal ini selesai tanpa perlu pembuktian yang dilaksanakan oleh mahkamah. Dalam hal umat memilih seseorang untuk diangkat  menjadi Khalifah, umat tidak dapat semerta-merta memberhentikan khalifah. Dalam kategori ini, ketaatan kepada khalifah banyak disebutkan dalam hadis meskipun secara contiune melakukan kemunkaran dan kedzaliman. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah  Saw.  bersabda:  "Siapa  saja  yang melihat  sesuatu  (yang  tidak disetujuinya) dari amirnya hendaknya bersabar. Karena siapa saja yang memisahkan diri dari jama'ah sejengkal saja kemudian mati, maka matinya (seperti) mati jahiliyah."

Kata amir (pemimpin) di dalam hadits ini maknanya umum,  yang meliputi khalifah, karena khalifah merupakan amirul mukminin. Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun