Mohon tunggu...
Ulil Aydi
Ulil Aydi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum / Sosiologi / ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Impeachment Presiden dalam Tinjauan Hukum Islam

11 Juli 2024   23:10 Diperbarui: 11 Juli 2024   23:46 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Impeachment ditafsirkan sebagai suatu muatan tindak lanjut atas peradilan pidana terhadap pejabat dihadapan badan legislatif. Impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang memiliki fungsi yang sama dengan surat dakwaan dari peradilan pidana. Article impeachment merupakan surat resmi yang berisi tuduhan yang mendasari dimulainya suatu proses impeachment. 

Pimpinan tertinggi negara yang cacat dalam menegakkan keadilan, kemampuan fisik yang berkurang sehingga tidak dapat menjalankan proses bernegara, melakukan perbuatan munkar, serta perbuatan tercela, maka kepala negara tersebut harus dilengserkan dan tidak dapat memimpin untuk kedua kalinya. Dalam hal ini, pihak yang berwenang yang dalam konteks ini adalah lembaga legislatif khalifah sebagai representasi dari rakyat harus memilih pemimpin yang baru untuk menjaga stabilitas politik dalam satu negara dan agar tugas atas pemimpin negara yang digantungkan kebijaksanaannya dalam satu negara dapat dipenuhi sepenuhnya sehingga tidak menimbulkan dampak yang signifikan atas terjadinya kekosongan jabatan pemimpin negara. Lembaga legislatif dalam hal ini juga berwenang untuk merumuskan undang-undang sebagai turunan atas hierarki perundang-undangan dari masing-masing negara. 

Hal tersebut diperlukan pula karena dalam setiap sendi konstutusi negara tidak semuanya termaktub secara detail dan gamblang di dalam Al-Quran dan Sunnah. Lembaga legislatif yang dalam posisinya tidak bermitra dengan sepenuhnya terhadap presiden dalam memberikan kebijakan seharusnya dalam muatan yang ada dalam kebijakan yang dirumuskan oleh lembaga legislatif tersebut memang harus meminimalisir mandhorot dan memperbesar mashlahat terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lingkup agama Islam agar memang umat muslim dapat memiliki keamanan yang maksimal sebagai warga negara dalam output masyarakat yang bebas merdeka atas segala sesuatu termasuk juga untuk menyembah tuhan nya yang memang membutuhkan jaminan keamanan yang nyata untuk melindungi masing-masing hak konstitusi warga negara yang baru untuk menjaga stabilitas keamanan negara dan menjalankan  tugas  negara.


Pasca kepemimpinan Rasulullah Saw, tampuk kekuasaan negara seutuhnya dipanggul sahabat-sahabat Khulafauurasyidin. Dalam massa kepemimpinan khulafaurrasyidin, terdapa 2 kali pemberhentian khalifah dengan cara yang inkonstitutional yakni yang pertama khalifah utsman bin affan yang meninggal karena dibunuh oleh pemberontak yang merasakan ketidakpuasan dan ketidak percayaan terhadap kepemimpinan khalifah utsman. Hal tersebut terjadi karena khalifah utsman dituduh telah melakukan nepotisme dengana memasukkan kolega-koleganya kedalam pemerintahan yang kemudian fitnah pun saling berdatangan hingga fitnah korupsi yang menjerat khalifah utsman. 

Berdasarkan atas beberapa uraian mengenai pemakzulan pemimpin negara, terdapat beberapa sistem yang sama atas konsep Impeachment presiden yang berdasarkan konstitusi di indonesia dengan konsep hukum islam.

Jabatan presiden keempat Indonesia, yang dipangku oleh Abdurrahman Wahid yang secara demokratis dipilih oleh MPR dan dipilih dengan suara terbanyak, namun dimakzulkan juga oleh MPR. Menurut teori pemakzulan presiden di Indonesia itu harus memenuhi syarat: korupsi, berbuat maksiat, melanggar hukum, dan sejenisnya. Hal ini terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid yang tanpa dipanggil terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan yang termuat dalam kepemimmpinan presiden, dengan tiba-tiba MPR memakzulkan jabatan tersebut. Pemakzulan yang terjadi kepada kursi presiden ke empat republik Indonesia yang dipangku oleh presiden abdurrahman wahid merupakan pemakzulan yang tidak berkesinambungan dengan UUD 1945 yang mana untuk memakzulkan presiden tidak sesederhana konsolidasi politik di parlemen dan harus menempuh perjalanan hukum yang panjang dan kepastian hukum yang tepat. 

Namun presiden abdurrahman wahid didepak begitu saja dari singgasana kepresidenan dengan suara hingar bingar wakil rakyat di Gedung DPR/MPR saat itu. Indonesia cenderung tidak menunjukkan karakternya sebagai negara hukum secara sempurna, yaitu tidak terdapat penguatan terhadap supremasi hukum, seperti keputusan hukum MK yang bersifat final dan mengikat (finally binding) dilaksanakan oleh kesepakatan politik di MPR.  Anggapan bahwa presiden Abdurrahman wahid dimakzulkan akibat kasus korupsi dan kontroversi selama pemerintahannya terjadi atas penggiringan opini yang dilakukan pasca pelengseran presiden abdurrahman wahid. Ketika terjadi krisis konstituisional saat itu, terdapat dua opsi yang ditawarkan:


1. pertama, pelimpahan tugas konstitusional dan
2. kedua, menggunakan Tap MPR Nomor III tahun 1978.


Opsi pertama ditawarkan oleh presiden Abdurrahman Wahid melalui Tim Tujuh dari Pemerintah, kepada Megawati sebagai Wakil Presiden. Opsi ini juga muncul berdasarkan saran dari Akbar Tanjung selaku ketua DPR-RI, sebagai solusi jalan tengah yang sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945. Dengan terlebih dahulu, Presiden Abdurrahman wahid mengundurkan diri dan selanjutnya pelimpahan kewenangan diserahkan kepada Megawati. Kompromi ini ditolak oleh para politik yang ada di lembaga legislatif saat itu. Meskipun presiden Abdurrahman wahid sudah bersedia mundur dan melimpahkannya kepada Megawati. Agar proses pergantian tersebut dibenarkan dan diabsahkan oleh konstitusi. Lembaga legislatif lebih memilih opsi menggunakan Tap MPR No III tahun 1978 sebagai dasar pemakzulan.

Berdasarkan hal tersebut yang didasarkan pada tap MPR nomor III tahun 1973  pelanggaran-pelanggaran atas norma hukum terjadi. Diantara nya adalah Pelanggaran pertama, pemakzulan dengan menggunakan Pasal 7 Tap MPR No. III tahun 1978, bersifat ekstra konstitusi. Keputusan hukum yang ditempatkan di atas konstitusi. Padahal dalam tata urutan perundang, Tap MPR berada dibawah konstitusi sesuai dengan yang tercantum dalam Tap MPRS XX/MPRS/1966. Praktek ini menunjukan MPR telah mengabaikan produk hukum yang telah dibuatnya sendiri. Dalam hal tersebut, alternatif mengenai konstitutionalisme pemakzulan sudah ada dengan merujuk pasal 37 UUD 1945, MPR terlebih dahulu melakukan amandemen pasal 8 UUD 1945 dengan memasukan pasal 7 Tap MPR III/1978. Sehingga pemakzulan memiliki kekuatan hukum secara konstitusional. 

Namun, hal ini tidak dilakukan oleh MPR. Amandemen ketiga tentang pemakzulan baru dilaksanakan pada bulan November 2001pasca pemakzulan presiden Abdurrahman wahid terjadi pada 23 Juli 2001. Amandemen UUD 1945 ketiga dengan menambahkan pasal 7A dan 7B, yang tidak lain dari norma yang terkandung dalam pasal 7 Tap MPR III/ 1978. Dengan kata lain, pemakzulan atas Gus Dur (Juli 2001), MPR tidak menggunakan konstitusi tetapi Tap MPR III/1978.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun