Mohon tunggu...
Ulil (pipit) Fitriyah
Ulil (pipit) Fitriyah Mohon Tunggu... -

"Ngangsu lan ngisi"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Bunda, Jangan Ajari Aku Membaca!"

20 Januari 2018   13:28 Diperbarui: 23 Januari 2018   09:38 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dag Dig Dug, beberapa hari ini hati bunda selalu berdebar. Bagaimana tidak? Tinggal beberapa bulan lagi si sulung sudah saatnya akan masuk sekolah tingkat dasar (SD). Namun hingga saat ini si sulung belum bisa membaca. Jangan kan diajak membaca, mengenal huruf pun si sulung masih terbata -- bata. Terkadang huruf "b" masih di bilang "d", dan juga sebaliknya. Padahal salah satu persyaratan untuk masuk SD di kebanyakan sekolah pada umumnya adalah, si calon siswa sudah harus bisa membaca. Semakin gelisah lagi, ketika ingat dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh para psikolog yang mengatakan bahwa anak di usia TK tidak boleh diajarkan membaca.

Apakah hal tersebut juga anda alami bunda? Bila iya, berarti anda saat ini bersama saya, mengalami hal yang sama, mencari-cari cara bagaimana sebaiknya membuat ananda mau membaca. Lalu bagaimana? Apa yang harus dilakukan oleh bunda?

Beberapa bulan yang lalu, saya cukup antusias untuk membelikan anak saya buku -- buku belajar membaca. Bahkan, bukan hanya saya saja, tetapi juga eyangnya. Pada saat mengunjungi kami, ibu saya tiba-tiba meminta suami saya untuk mengantarkan beliau ke toko buku. 

Saya berpikir, kenapa ibu saya terburu -- buru meminta antar untuk pergi ke toko buku? Ternyata saat tiba dirumah, saya baru menyadari bahwa ibu saya pun mungkin resah, karena mendapati cucunya yang sudah akan masuk SD belum bisa membaca. Ibu saya membelikan buku-buku belajar membaca untuk anak saya. Sama halnya dengan apa yang telah saya lakukan. Tetapi bagaimanakah hasilnya?

Tetap! anak saya tidak mau belajar membaca!

Saya pun semakin resah, hingga akhirnya saya mengkonsultasikan hal tersebut kepada para gurunya disekolah. Konsultasi saya yang pertama dengan gurunya, saya mendapatkan jawaban, dengan kata kunci yang selalu saya pegang, yaitu "akan ada masa titik jenuh dari seorang anak, dimana dia merasa senang dengan satu hal hingga puas, dan yang nantinya akan berpindah kepada hal baru yang dia sukai". Ehem, dan saya menunggu hal itu tiba. Maklum, ketika itu anak saya lebih suka belajar berhitung daripada membaca.

Tidak sabar menunggu, saya mencoba mengkonsultasikan hal tersebut dengan guru yang berbeda. Saya pun mendapatkan ilmu baru yang berbeda pula, yaitu belajar membaca sambil melakukan aktifitas keseharian anak yang disuka. Kebetulan aktifitas rutin harian anak saya dipagi hari adalah memungut telor -- telor bebek yang kami ternak dan kemudian menata di wadahnya. Namun lagi -- lagi, anak saya lebih tertarik untuk menghitung telor daripada membaca. Saya pun juga berpikir keras, bagaimana saya bisa mengajarkan membaca ketika anak saya sedang menata telor.

Hingga pada akhirnya, saya menemukan satu hal yang anak saya paling suka, bermain tebak-tebakan.Ya, anak saya sangat menyukai aktifitas tersebut. Seringkali dia mengajak saya untuk bermain tebakan tentang hewan. Mulai dari mencari gambar hewan yang berkaki dua atau empat, atau mencari hewan yang warna bulunya coklat atau hitam putih, hingga saya sedikit menaikkan levelnya dengan mencari hewan berdasarkan jenis makanannya. 

Ide kemudian muncul dari sini. Saya kemudian meminta anak saya untuk mencari hewan yang namanya mengandung huruf tertentu, sesuai dengan yang saya sebutkan. Misalnya, saya memintanya untuk mencari hewan yang memiliki huruf K, maka dia dengan antusias menunjukkan kambing, kuda, keledai dan lain sebagainya. Demikian juga dengan huruf-huruf lainnya.

Setelah lancar dengan huruf -- hurufnya, kemudian level saya naikkan lagi dengan menggabungkan dua huruf, yaitu satu huruf konsonan dan satu huruf vokal sehingga menghasilkan bunyi. Contohnya, huruf "m" dan "a" sehingga menghasilkan bunyi "ma". Dalam permainan tebak-tebakan ini, tanpa menulis saya menyebutkan satu persatu huruf. Misalnya saya menyebutkan satu persatu huruf "K" "U". Kemudian dengan intonasi suara yang sedikit saya naikkan, saya bertanya "dibaca?" Anak saya kemudian menjawab "KU" hingga dia mengenali gabungan dua kata tersebut. 

Setelah sedikit lancar, saya kemudian mulai menggabungkan dua bunyi tersebut menjadi satu kata bermakna. Saya menyebutkan "K" "U" kemudian anak saya membunyikannya "KU" dan saya lanjutkan "D" "A", anak saya yang membunyikan "DA", saya memberikan klue dengan sedikit menaikkan suara "jadi?", anak saya menjawab "KUDA", dan demikian seterusnya. Setelah lancar dengan gabungan dua bunyi,  saya kemudian menambahkan dengan tiga bunyi, yang membentuk kata "se-pe-da" contohnya, hingga sampai ke empat bunyi "ka-ca-ma-ta".

Permainan tebak-tebakan ini sebenarnya hampir sama dengan cara belajar membaca dengan cara mengeja. Tetapi berbeda dengan mengeja, saya tidak mengajarkan melalui tulisan, tetapi melalui tebakan. Saya tidak mengejakan ke anak saya, tetapi anak saya yang berusaha membunyikan secara langsung gabungan dua huruf tersebut. 

Dan yang lebih asiknya dengan cara ini, saya bisa mengajak anak saya untuk bermain tebak-tebakan kapan saja, dimana saja dan bahkan disaat dia sambil bermain apa saja. Pernah juga suatu ketika saya mencoba mengganggu dia, disaat bermain gamedi handphone. Saya mencoba memecah konsentrasinya dengan bermain tebak-tebakan ini. Hasilnya cukup menakjubkan, anak saya tetap bisa menjawabnya meskipun pada akhirnya dia protes karena merasa terganggu konsentrasinya ketika bermain game.

Permainan tebak-tebakan ini saya lakukan selama kurang lebih seminggu. Minggu berikutnya saya mencoba menunjukkan buku baca sederhana yang pernah saya tunjukkan ke dia sebelumnya ketika minat baca belum tumbuh. Pada saat sebelum bisa membaca, anak saya sangat antipati dengan buku tersebut. 

Tetapi berbeda dengan sikap sebelumnya, kali ini anak saya sangat antusias dan anak sayapun bisa membacanya, tanpa mengeja. Selain membaca buku tersebut, saya juga mengajaknya membaca buku cerita sederhana yang lain, dimana disaat saya membacakannya, bila ada kata yang sekiranya dia mampu membaca, maka saya meminta anak saya untuk membacanya. Cukup antusias akhirnya anak saya sekarang bila diajak membaca buku, dan tak lupa bermain tebak-tebakan pun masih terus berlangsung hingga sekarang. Selain karena anak saya suka, hal ini saya lakukan untuk mengasah agar dia dapat lebih lancar lagi dan semakin cepat ketika membaca.

"Dunia anak adalah dunia bermain" begitulah kiranya yang saya dapatkan dari aktifitas yang telah saya lakukan bersama anak saya. Dan bisa jadi, aktifitas yang telah saya lakukan tersebut dapat bekerja dengan baik untuk anak saya, tetapi belum tentu sesuai untuk buah hati anda. Jadi bund, ada baiknya jika bunda mencari kembali dengan jeli apa yang menjadi "kesenangan" anak, kemudian "menyisip" kan hal apa yang akan kita ajarkan kedalam aktifitas kesukaannya. Sehingga kita bisa membuat buah hati kita belajar tanpa "belajar" dalam artian pada umumnya. So, jangan pernah ajari mereka membaca ya bund!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun