Karnadi sangat heran sekaligus tidak sabar menghadapi apa yang terjadi pada isterinya, Nur Haliza. Sudah lima kali Nur hamil tapi tidak pernah melahirkan. Padahal, pasutri tersebut sangat menginginkan momongan. Usia pernikahan mereka sudah memasuki tahun ke-delapan. Tidak heran jika selalu ada percekcokan antara Karnadi dan Nur karena keinginan mereka tak kunjung tercapai. Segala usaha dilakukan: mendatangi orang pintar, pergi ke dokter, terapi kehamilan hingga menunda kehamilan agar rahim benar-benar kuat mengandung. Semuanya nihil. Perut Nur membesar menghadirkan harapan tapi kemudian mengempaskannya bersamaan kempesnya perut Nur.Karnadi sangat heran. Isterinya tidak mengalami keguguran. Isterinya hamil seperti biasa, tidak ada tanda-tanda kalau kehamilan tersebut akan hilang tanpa bekas, tanpa darah, dan juga tanpa sakit. Perut isterinya yang buncit, tiba-tiba saja menyusut. Tiba-tiba tidak hamil. Para tetanggapun berdesas-desus. Kalau bayi mereka disantap sambileng. Mahluk halus pengincar bayi dalam kandungan.
Karnadi dan isterinya lelah menghadapi tahun-tahun kebersamaan mereka. Apalagi, banyak tekanan-tekanan datang ketika mereka bertemu dengan sanak famili atau teman-teman sejawat.
“Sudah isi isterinya, Bang?”
“Anakmu sudah berumur berapa, Di?”
“Berapa anakmu, Di?”
Dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Karnadi benar-benar jenuh. Pertengkaran antara dia dan isterinya tak dapat dibendung.
“Aku sudah bilang, jangan terlalu banyak bekerja! Lihat kan sekarang, kandunganmu benar-benar hilang lagi!”
“Jangan selalu salahkan aku, mas. Kamu bekerja seharian, aku sendirian mengurus rumah. Siapa suruh hanya bekerja sebagai buruh? Jadinya aku harus mencari penghasilan tambahan.”
Karnadi benar-benar marah mendengar perkataan isterinya. Adu mulut terjadi, ditutup dengan tangisan sang isteri. Jika sudah begitu, Karnadi benar-benar tidak tega meneruskan kekesalannya lewat kata-kata.
***
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!