“Nenek moyang kalian pernah menggunakan sihir. Saat ini, para makhluk halus meminta bayaran atas apa yang nenek moyang kalian lakukan.”
Karnadi dan sang isteri saling pandang. Entah, nenek moyang dari siapa; dari sang isteri atau Suami. Tatapan mata mereka seperti sama-sama mau menyalahkan tapi tidak mau terlihat salah. Sama-sama ingin terhindar dari salah.
“Kami harus bagaimana, Ki?”
“Tanam benda ini di depan pintu rumah kalian pada malam Jumat Kliwon” si dukun menyodorkan benda kecil dalam bungkus plastik putih. Entah apa.
“Kalian tidak boleh membukanya. Cukup menanamnya saja.”
“Baik, Ki.”
Kedua pasutri tersebut pulang dengan perasaan penuh harap. Pada malam Jumat Kliwon, angin berhembus rendah. Tidak seperti biasanya, melalui rumah-ruamah dan menggelitik pepohonan. Bergoyang pelan. Burung gagak bernyanyi di kejauhan menambah keangkeran malam jum’at kliwon. Karnadi dan Isteri menanam benda yang diberikan oleh dukun desa seberang, lalu memasuki rumah.
Beberapa bulan kemudian, isteri Karnadi hamil. Karnadi tambah perhatian. Mulai dari makanan, hingga aktivitas sang isteri. Tidak boleh lelah. Sang isteri bagai ratu sejagat. Dimanja dan dipuja-puja. Karnadi bertambah romantis saja. Tatapan lembut Karnadi tidak pernah ditemui sang Isteri pada tahun-tahun awal pernikahannya. Senyum rekahnya penuh harapan. Sang isteri bertambah takut saja. Bagaimana jika kehamilannya kali ini juga pada akhirnya mengecewakan? Bagaimana sikap Karnadi padanya? Dan berbagai fikiran berkecamuk memenuhi fikirannya. Isteri Karnadi lelah menghadapi fikirannya sendiri.
“Lahir sehat ya, anakku!” Karnadi mengusap-ngusap perut sang isteri.
“Ibunya juga harus sehat, sayang.” Karnadi menjangkau wajah sang isteri. Mengusapnya lembut.
Sang isteri tidak mengatakan kegundahan hatinya, tidak ingin menghapus seketika harapan yang sudah tertanam kuat di hati suaminya. Takut pula terjadi percekcokan seperti dua ekor kucing yang saling meneriaki satu sama lain. Karnadi mencintainya dan ingin buah cinta mereka juga ikut merayakannya.