Dunia global sedang diguncang ancaman resesi 2023. Banyak dari masyarakat yang masih awam terhadap pengertian resesi itu sendiri. Resesi merupakan penurunan signifikan terhadap aktivitas ekonomi dalam jangka waktu yang stagnan dan lama atau dengan kata lain adanya kontraksi secara besar-besaran dalam hal kegiatan ekonomi.
Dalam sejarahnya, dunia pernah mengalami gelombang resesi global sebelumnya pada tahun 1975 (yang dimulai sejak Oktober 1973, ketika terjadi kenaikan tajam harga minyak dari embargo minyak Arab), resesi global tahun 1982 (akibat pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat serta beberapa negara maju dalam mengurangi inflasi), dan resesi global tahun 1991 (yang dikaitkan dengan pengetatan mendadak terhadap kondisi kredit di Amerika Serikat).
Kenaikan suku bunga bank sentral secara bersamaan menjadi penyebab terjadinya resesi global. Bank Dunia mencatat Amerika Serikat, Cina, dan Eropa sebagai 3 negara dengan ekonomi terbesar di dunia sedang mengalami perlambatan ekonomi. Meskipun Bank Dunia melihat aktivitas kenaikan suku bunga terus diupayakan hingga tahun depan meskipun upaya tersebut dianggap masih kurang mampu dalam mengembalikan inflasi setingkat seperti sebelum pademi.
Faktor utamanya bukan hanya pada pandemi Covid-19 semata, adanya invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 dan sanksi internasional terkait penambahan tekanan inflasi global pun turut mempengaruhi penyebaran pasokan global. Menurut Bank Dunia, saksi internasional dalam hal penambahan tekanan infasi global ini semakin menaikkan harga komoditas khususnya energi dan makanan berkontribusi lebih besar terhadap gangguan pasokan global.
Menurut Consensus Economics, pada Januari 2022 terdapat pertumbuhan PDB Global sebesar 4,1% dan diperkirakan pada tahun 2023 menurun menjadi 3,3%. Kemudian pada Agustus 2022, proyeksi ini diturunkan menjadi 2,8% pada tahun 2022 dan 2,3% pada tahun 2023. Dalam perkembangannya, proyeksi pertumbuhan konsensus terhadap tahun 2022 dan 2023 diturunkan untuk sebagian besar negara dimana untuk negara maju diperkirakan mencapai lebih dari 90%, sedangkan untuk negara berkembang diperkirakan mencapai 80% pada tahun 2023.
Prediksi pertumbuhan global antara tahun 2021 dan 2023 mengalami perlambatan sebesar 3,4 poin persentase yang mana prakiraan ini secara tidak langsung menggambarkan ekonomi dunia akan mengalami pertumbuhan yang lebih lemah pada tahun berikutnya.
Terdapat dua alasan, mengapa seluruh negara perlu 'waspada' terhadap risiko resesi global dalam waktu dekat. Pertama, prospek pertumbuhan yang lemah bahkan adanya guncangan negatif yang moderat terhadap ekonomi global. Hal ini dapat dilihat pada harga asset global serta kepercayaan bisnis dan konsumen cenderung menurun.
Bahkan dalam beberapa bulan terakhir harga saham global mengalami penurunan sebesar 22% pada kuartal kedua tahun 2022. Selain itu pertumbuhan harga rumah global sebesar 4,7% pada kuartal pertama tahun 2022 dimana hal ini berbeda dengan tahun 2021 yang mengalami pertumbuhan sebesar 6,2%. Perkembangan tersebut mengurangi kepercayaan bisnis dan konsumen global yang mencatat adanya penurunan tajam selama kuartal terakhir.
Kedua, perlambatan pertumbuhan PDB global yang baru-baru ini menampakan penurunan pertumbuhan yang nyata pada beberapa ekonomi utama. Hal ini dapat dilihat pada PDB AS yang diprediksi mengalami kontraksi pada tingkat tahunan sebesar 0,9% pada kuartal kedua yang secara bertahap mengalami penurunan pada tahun 2022. Amerika Serikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, yang menyumbang sebesar seperempat dari PDB global dengan nilai tukar pasar serta pengimpor barang dan jasa terbesar juga memainkan peran utama di pasar keuangan global.
Selain dari Amerika Serikat, adapun Cina dan Eropa yang sedang mengalami perlambatan ekonomi dimana ketiga negara ini rata-rata menyumbangkan sebanyak 55% dari PDB global. Namun, Bank Dunia yang melihat 3 negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini mengalami perlambatan semakin meyakinkan bahwa risiko resesi global tahun mendatang telah meningkat.
Menghadapi ancaman resesi ini, seluruh negara baik negara maju maupun berkembang memerlukan adanya antisipasi terhadap radiasi resesi pada 2023 mendatang. Untuk terwujudnya tingkat inflasi yang rendah, adanya stabilitas mata uang bahkan pertumbuhan yang lebih cepat, diperlukan adanya pengalihan fokus suatu negara dari pengurangan konsumsi menjadi upaya meningkatkan produksi. Kebijakan suatu negara harus berupaya dalam menghasilkan investasi tambahan serta meningkatkan produktivitas serta alokasi modal dimana hal ini menjadi poin terpenting guna mencapai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan.
    Adapun sejumlah negara di ASEAN telah mempersiapkan langkah antisipatif agar perekonomian negaranya tetap berputar, diantaranya dibentuknya paket kebijakan fiskal serta stimulus moneter dan keuangan. Bahkan Wasekjen untuk Masyarakat Ekonomi ASEAN, Aladdin D Rillo mengungkapkan bahwa negara Kawasan ASEAN dinilai lebih baik dalam melakukan persiapan diri dalam menghadapi resesi 2023 yang dinilai sulit untuk dihadapi.
    Sebagai salah satu negara berkembang, tentunya Indonesia mempunyai kekhawatiran dalam menyikapi ancaman resesi ekonomi global 2023 ini. Secara umum negara dapat merakit beberapa strategi seperti: pertama, negara perlu memperkuat daya beli belanja secara komprehensif dan mengembalikan kepercayaan investor melalui penciptaan demand termasuk mendorong belanja pemerintah yang tidak hanya bertitik pada wilayah Jawa namun pada berbagai wilayah Indonesia. Kedua, adanya bantuan finansial dari pemerintah suatu negara terhadap sektor produksi. Pemerintah Indonesia telah menyalurkan dana stimulus berupa BLT, bansos, subsidi gaji, dan langkah lainnya. Ketiga, pemerintah Indonesia juga melakukan reformasi regulasi salah satunya melalui penurunan bunga kredit perbankan.
Selain itu, suatu negara juga dapat Namun secara individu kita semua dapat membantu meringankan beban negara dalam menghadapi mengedukasi masyarakatnya dalam menghadapi ancaman ekonomi global. Lantas, bagaimana membangun perencanaan keuangan dalam mengantisipasi resesi ekonomi mendatang?
1. Â Penguatan Emergency Fund atau dana darurat.
Resesi ekonomi dapat menyebabkan pada pertumbuhan yang lambat, perusahan-perusahaan yang tidak berkembang, bahkan potensi PHK semakin besar. Dana darurat ini diperlukan hingga 125% dibandingkan sebelumnya sebanyak 100% dari porsi yang seharusnya dimiliki. Bentuk investasi atau produk keuangan yang harus mudah diakses dengan tingkat keamanan yang tinggi dan cepat juga untuk diakses bisa berupa cash bisa berupa tabungan produk perbankan, tabungan deposito, atau bisa juga berupa emas logam mulia. Mungkin beberapa bisa dimasukkan di Reksadana pasar uang.
Â
2. Â Mengatur pengeluaran jangka panjang.
Jangan melakukan banyak pengeluaran terhadap kebutuhan yang belum menjadi urgensi kedepannya. Perlunya pengaturan mengenai pengeluaran terhadap kebutuhan yang saat ini penting bukan yang saat ini menjadi keinginan. Misalnya, ketika munculnya suatu produk gawai terbaru dalam dunia pasar jangan hanya berniat mengikuti trenÂ
Â
3. Â Mengatur pengeluaran jangka pendek.
Pengaturan keuangan jangka pendek penting untuk diterapkan dalam mengantisipasi pengeluaran berlebihan. Misalnya penyiapan uang dalam hal pendidikan anak pada tahun mendatang serta melunasi hutang piutang konsumtif seperti hutang kartu kredit maupun pinjaman online guna mencegah resiko krisis keuangan anda. Kemudian pengaturan terkait pengeluaran bulanan juga harus dibuat guna mengantisipasi apabila terdapat pengeluaran atau kebutuhan mendadak.Â
Dampak resesi bukan hanya kepada suatu negara bahkan perusahaan semata. individu pun turut terpapar dalam pengaruh keberadaan resesi ini, dengan melihat perkembangan ekonomi dunia yang tengah mengalami penurunan perekonomian, hal ini diharapkan menjadikan suatu analisis komprehensif terhadap seluruh masyarakat untuk mengantisipasi paparan dampak resesi yang sewaktu-waktu akan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H