Dalam membangun hubungan antara satu negara dengan negara lainnya maka diperlukan adanya politik luar negeri sebagai suatu penunjuk arah dalam pengambilan kebijakan dari suatu negara dengan maksud mencapai tujuan serta kepentingan dari negara tersebut.
Oleh karena itu, setiap negara didunia mempunyai bentuk politik luar negeri masing-masing yang didalamnya sudah tercantum gagasan yang menuntun negara tersebut berperilaku dalam kawasan internasional salah satunya yakni Indonesia. Indonesia sebagai negara yang telibat dalam pembentukan hubungan dengan negara dari berbagai kawasan di dunia juga mempunyai konsep politik luar negeri yang dikenal dengan politik luar negeri bebas aktif.
Konsep ini dibentuk sejak berakhirnya Perang Dunia II, dimana pada saat itu lahirnya Blok Barat dengan aliran liberal kapitalis yang dipimpin oleh Amerika dan Blok Timur dengan aliran komunis dan sosialis yang dipimpin oleh Uni Soviet yang bersaing dalam Perang Dingin.
Indonesia harus menghadapi pilihan yang berat antara keduanya, namun dengan adanya pidato pada 2 September 1948, dari Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta bahwa dalam menghadapi konflik politik internasional saat itu, Indonesia seharusnya mampu memposisikan dirinya sendiri tanpa memihak.
Sehingga lahirlah politik luar negeri Indonesia bebas aktif yang dalam penerapannya Indonesia harus menentukan kebijakannya sendiri terkait hubungan luar negeri Indonesia dengan negara lainnya tanpa adanya pengendalian, pemaksaan, maupun tekanan dari pihak luar.
Dalam perkembangannya, politik luar negeri bebas aktif mengalami fluktuasi pada setiap periode kepemimpinan di Indonesia, dimana hal ini penting untuk dianalisis sehingga dapat menjadi acuan dalam merekonstruksi makna "bebas aktif" untuk mencapai tujuan serta kepentingan nasional Indonesia.
Dalam penerapannya, pada awal kemerdekaan Indonesia (1945-1950) memang diakui mampu menjalankan implementasi dari politik luar negeri bebas aktif ini.
Namun pada era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin (1960-1967), Soekarno sebagai pemimpin Indonesia saat itu dinilai cenderung membangun hubungan dekat dengan poros Timur atau negara komunis seperti Uni Soviet dan Cina dibandingkan hubungan Indonesia dengan negara Barat salah satunya Amerika Serikat. Hal ini memicu berbagai pandangan negatif dari dunia internasional bahwa Indonesia tidak menjalankan politik luar negerinya sesuai dengan konsep yang sebelumnya dikatakan yakni bebas aktif.
Kemudian pada era Orde Baru (1967-1998), Soeharto sebagai pemimpin Indonesia mengubah arah politik luar negeri Indonesia yang sebelumnya cenderung ke Timur menjadi cenderung ke Barat. Dimana pada Orde Baru ini, politik Indonesia lebih bersifat kooperatif dengan orientasi politik luar negeri Indonesia lebih mengarah pada pembangunan ekonomi dalam negeri serta mengembalikan citra Indonesia dari era sebelumnya terhadap dunia internasional.
Dalam perkembangannya, terjadi Gerakan reformasi akibat krisis moneter 1998 sehingga Soeharto digantikan oleh B.J Habibie yang dikenal dengan era Reformasi I (1998-1999). Namun pada masa B.J Habibie politik luar negeri Indonesia lebih mengarah pada pembangunan citra Indonesia dimana penerapan politik luar negeri Indonesia dinilai tidak jauh berbeda dengan era Orde Baru.
Selanjutnya era Reformasi II (1999-2001), dengan Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin Indonesia. Pada masa ini, terjadi situasi dimana keluarnya Timor Timur dari bagian Indonesia yang diikuti dengan penurunan hubungan Indonesia dengan wilayah Barat. Adapun pada masa ini, arah politik luar negeri Indonesia menjadi tidak jelas dimana Abdurrahman lebih banyak melakukan kunjungan ke luar negeri pada awal pemerintahannya dan selalu membahas berbagai isu domestik dalam pelaksanaan kunjungannya.
Beralih pada era Demokrasi I (2001-2004) dimana Megawati Soekarno Putri sebagai pemimpin perempuan pertama di Indonesia. Pada masa ini Megawati juga membangun kembali citra Indonesia dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara luar dengan diplomasi pada era ini dapat dikatakan kembali aktif dengan berbagai struktur dan substansi yang mendukung seperti restrukturisasi Departemen Luar Negeri untuk menyesuaikan dengan perubahan global yang begitu cepat.
Selanjutnya era Demokrasi II (2004-2014), dimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pemimpin Indonesia yang memandang bahwa prinsip bebas aktif bukan berarti menjadikan Indonesia sebagai negara yang takut dalam mengambil tindakan tetapi mendorong Indonesia dalam upaya pembebasan penjajahan terhadap dunia internasional dan aktif dalam upaya perwujudan nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Adapun bebas itu mendorong Indonesia untuk bergaul dengan negara manapun selagi dapat memberikan manfaat untuk Indonesia dan aktif berarti menjadikan Indonesia sebagai negara yang turut berperan dalam upaya perdamaian dunia.
Adapun bentuk tindakan politik luar negeri bebas aktif pada era Demokrasi II ini diantaranya Indonesia melakukan pembelian senjata dari Rusia maupun Amerika Serikat tanpa mengait-ngaitkan dengan istilah Timur maupun Barat dan turut aktif terlibat dalam upaya damai antara Israel dan Palestina serta terlibat dalam mediasi konflik antara Thailand dan Kamboja.
Setelah berakhirnya masa jabatan SBY, kemudian digantikan oleh Joko Widodo (2014-sekarang) melalui pemilihan umum. Pada pemerintahan Joko Widodo politik luar negeri Indonesia lebih pada low profile dimana lebih mendominankan pada pembenahan pembangunan ekonomi nasional. Dalam penyelenggaraanya, makna "bebas aktif" lebih mengarah pada bagaimana Indonesia mampu mencapai kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian nasional.
Dimana hal ini mempunyai perbedaan dengan penerapan politik luar negeri Indonesia era SBY yang cenderung high profile. Namun, penerapan pada periode pertama Jokowi dinilai mengurangi keterlibatan Indonesia dalam lingkup internasional. Selain itu, pada aspek ideologi, keamanan, maupun internasional tidak memperlihatkan keberpihakan terhadap kepentingan nasional.
Salah satunya adanya ratifikasi ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS) yang mendorong masuknya liberalisasi keuangan global yang mempengaruhi peran sektor terkait kepentingan kemajuan ekonomi Indonesia. Selain itu, dalam hal keamanan dimana era ini dinilai gagal dalam keamanan produksi pangan dalam pemenuhan kebutuhan nasional sehingga mendorong peningkatan impor yang menjadi ancaman terhadap petani pangan nasional.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bagaimana perjalanan implementasi politik luar negeri bebas aktif Indonesia mengalami problematika yang awalnya dikatakan oleh Wakil Presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta bahwa Indonesia harus mampu menentukan posisinya sendiri tanpa pengaruh pihak manapun. Meskipun dalam penerapannya setidaknya terdapat keberhasilan yang dicapai oleh para pemimpin tersebut dalam penerapan politik luar negeri "bebas aktif" meskipun ada yang sedikit bergeser. Namun, dalam perkembangannya dari era pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi bahkan era Joko Widodo yang sekarang sedang berlangsung pun masih terdapat permasalahan dalam implementasi politik luar negeri bebas aktif ini.
Meskipun dengan adanya Presidensi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dimana Indonesia sebagai negara berkembang pertama yang menjadi tuan rumah G20 mulai 1 Desember 2021 hingga November 2022 mendatang, menjadi tolak ukur kemajuan politik luar negeri bebas aktif Indonesia saat ini.
Tentunya hal ini perlu menjadi analisa oleh pemerintah yang sekarang tengah memimpin Indonesia dan calon pemimpin pada periode selanjutnya untuk penerapan kembali prinsip "bebas aktif" sebagaimana yang dicita-citakan Indonesia sejak dahulu.
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H