Beralih pada era Demokrasi I (2001-2004) dimana Megawati Soekarno Putri sebagai pemimpin perempuan pertama di Indonesia. Pada masa ini Megawati juga membangun kembali citra Indonesia dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara luar dengan diplomasi pada era ini dapat dikatakan kembali aktif dengan berbagai struktur dan substansi yang mendukung seperti restrukturisasi Departemen Luar Negeri untuk menyesuaikan dengan perubahan global yang begitu cepat.
Selanjutnya era Demokrasi II (2004-2014), dimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pemimpin Indonesia yang memandang bahwa prinsip bebas aktif bukan berarti menjadikan Indonesia sebagai negara yang takut dalam mengambil tindakan tetapi mendorong Indonesia dalam upaya pembebasan penjajahan terhadap dunia internasional dan aktif dalam upaya perwujudan nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Adapun bebas itu mendorong Indonesia untuk bergaul dengan negara manapun selagi dapat memberikan manfaat untuk Indonesia dan aktif berarti menjadikan Indonesia sebagai negara yang turut berperan dalam upaya perdamaian dunia.
Adapun bentuk tindakan politik luar negeri bebas aktif pada era Demokrasi II ini diantaranya Indonesia melakukan pembelian senjata dari Rusia maupun Amerika Serikat tanpa mengait-ngaitkan dengan istilah Timur maupun Barat dan turut aktif terlibat dalam upaya damai antara Israel dan Palestina serta terlibat dalam mediasi konflik antara Thailand dan Kamboja.
Setelah berakhirnya masa jabatan SBY, kemudian digantikan oleh Joko Widodo (2014-sekarang) melalui pemilihan umum. Pada pemerintahan Joko Widodo politik luar negeri Indonesia lebih pada low profile dimana lebih mendominankan pada pembenahan pembangunan ekonomi nasional. Dalam penyelenggaraanya, makna "bebas aktif" lebih mengarah pada bagaimana Indonesia mampu mencapai kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian nasional.
Dimana hal ini mempunyai perbedaan dengan penerapan politik luar negeri Indonesia era SBY yang cenderung high profile. Namun, penerapan pada periode pertama Jokowi dinilai mengurangi keterlibatan Indonesia dalam lingkup internasional. Selain itu, pada aspek ideologi, keamanan, maupun internasional tidak memperlihatkan keberpihakan terhadap kepentingan nasional.
Salah satunya adanya ratifikasi ASEAN Framework Agreement on Service (AFAS) yang mendorong masuknya liberalisasi keuangan global yang mempengaruhi peran sektor terkait kepentingan kemajuan ekonomi Indonesia. Selain itu, dalam hal keamanan dimana era ini dinilai gagal dalam keamanan produksi pangan dalam pemenuhan kebutuhan nasional sehingga mendorong peningkatan impor yang menjadi ancaman terhadap petani pangan nasional.
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bagaimana perjalanan implementasi politik luar negeri bebas aktif Indonesia mengalami problematika yang awalnya dikatakan oleh Wakil Presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta bahwa Indonesia harus mampu menentukan posisinya sendiri tanpa pengaruh pihak manapun. Meskipun dalam penerapannya setidaknya terdapat keberhasilan yang dicapai oleh para pemimpin tersebut dalam penerapan politik luar negeri "bebas aktif" meskipun ada yang sedikit bergeser. Namun, dalam perkembangannya dari era pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi bahkan era Joko Widodo yang sekarang sedang berlangsung pun masih terdapat permasalahan dalam implementasi politik luar negeri bebas aktif ini.
Meskipun dengan adanya Presidensi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dimana Indonesia sebagai negara berkembang pertama yang menjadi tuan rumah G20 mulai 1 Desember 2021 hingga November 2022 mendatang, menjadi tolak ukur kemajuan politik luar negeri bebas aktif Indonesia saat ini.
Tentunya hal ini perlu menjadi analisa oleh pemerintah yang sekarang tengah memimpin Indonesia dan calon pemimpin pada periode selanjutnya untuk penerapan kembali prinsip "bebas aktif" sebagaimana yang dicita-citakan Indonesia sejak dahulu.
Sumber :