Camar menari di atas nabastala, hilir danau tampak damai laiknya teduh rimbun dalamgulungan awan yang kini kian jingga oleh lembayung dari ufuk pengantar senja.Â
Aku menitipandang, lagi-lagi hari ini bersemuka dengan seorang tuan berperawakan semampai yangduduk diam di sisi bangku tepat pada halaman Chteau de Chillon ; kastil tua. Entah, sepertinyasemesta sengaja mengatur alur tak terduga. Sebuah awal dari sapa, sebatas intro biasa namuntidak disangka berujung romansa.
"Indah betul ya senja yang kian terganti oleh purnama?" lirih, aku gumamkan itu di sisinya.
Sebelum dia terkekeh kecil, memberi sorot abstrak namun terisrat asmaraloka.
"Saya tidak memuji senja, saya selalu duduk di sini untuk mendamba seorang wanodya."
"Seorang wanodya? Siapa itu?" keningku berkerut, ada nada penasaran yang terlarut dalamintonasi kata.
"Kamu."
Ah, lagi-lagi konsonan harap pada jagat raya bermain menghampiri benak manusia. Sejak detikitu, aku : Sarah Gouw, total dikejar mati-matian oleh pemilik daksa bidang berbahu lebar yangdiketahui asmanya Dante Stanislav tanpa kenal lelah atau putus asa. Sekalipun aku acuh,bahkan beberapa waktu menunjukkan sisi lugas yang condong dianggap sebagian orang sepertigalak di depan dia. Sayangnya, dia tidak pernah menyerah barang sedetik saja.
"Sarah!"
"Apa lagi sih?" bersungut, Dante tidak goyah akan ekspresi yang aku buat sedemikian rupabegitu galak dengan intonasi cetus lantang.
"Saya mau bilang, surai sebahumu itu kian hari semakin buat saya terpesona," tukasnya, yangtentu saja mana tahan aku menyembunyikan rona menjalar sampai ke telinga. Bukan hanyasekali atau dalam kurun hitungan jari, Dante tidak letih datang demi mengais afeksi ataumemberi bingkis manis dalam keranjang rotan dengan pita.
"Terimakasih  , saya pergi dulu," ujarku, meninggalkan alokasi namun lengan ditahan Dante dengangenggam hasta.
"Sarah, tunggu dulu. Saya minta sebentar detik berharganya," gelenyar itu menghampiri benak,dentum jantung silih tak karuan semakin parah mengalihkan fokus.
"Saya menitip rasa kepada kamu, saya tahu ini terkesan gegabah namun sungguhan saya cintakamu. Kalau berkenan, tolong lihat ke arah saya sekali saja dan jadilah wanitaku, Sarah."
Hening. Luluh sudah pertahanan hati yang berusaha aku bendung agar tidak terlena. Nyatanya,Dante sukses menjadi pelipur lara dan kini berusaha masuk bersemayam dalam relung dada.
"Dante... aku---" jeda sejenak, sebab aku tidak kuasa harus berlagak seperti apalagi? Suraisebahu ini dia belai dengan lembut, menyisir di antara jemarinya yang kokoh.
"Kamu tahu jawabannya," cakapku, beringsut tenggelam dalam dekapnya dan dia memberikecupan manis bertubi pada puncak kepala seraya bergumam 'Terimakasih '.
Kebahagiaan itu tampak nyata.
*****
+. the Time when we're  Together.
Benar, aku dikisahkan semesta untuk mengenalnya, namun tidak selamanya adegan picisanakan berwarna. Ada kala sebuah prahara mengacak suasana sampai carut marut rasanya.
Dante sudah menjadi sosok rumah dan aku pilarnya, kita memadu kasih dengan begitu harmonihingga tidak terasa akara menghadang depan mata.
"Harapan dan mimpi, itu anugerah berharga yang perlu kamu layangkan setinggi pion langit,gapai saja. Saya mendukung kamu," sepoi angin menerpa, aku terduduk di sebelah Dantesembari menyandarkan kepala. Atmosfer bersahabat, namun tidak dengan suasana kalbu yangseolah enggan melepas sosok terdamba.
"Sejak dini, saya ingin mengabdi sebagai awak militer dan tekun menyatukan mimpi, saya inginkamu menunggu. Saya berharap rajut benang merah kita selamanya terjalin dalam kehendakrenjana. Sarah, bagaimana?"
Gamang, aku terjerat lamun semata. Kemudian aku buru-buru terkesiap usai lonceng kastil didepan danau bergema. Nuansa kota tua Montreux justru memberi kilah yang sendu. Jauhdalam sanubari, aku enggan berpisah barang sejenak saja dengan Dante. "Aku... Dante, apakahitu lama?"
Dia membatu, aku meliriknya dari ekor mata dan masih rekat mengamit jemari yang salingbertaut. Kita adalah dua insan saling mencinta namun disekat oleh harapan dan mimpi dalamranah cita-cita.
"Kalau saya bilang lama, apakah kamu akan pergi?"Detik itu, aku masih bersitegang dengan batin yang meronta. Masih memikirkan bagaimanananti friksi manis ini hirap begitu saja tanpa Dante di setiap lembar cerita? Tentu, ujungnya pasti
lara. Namun, logika dan rasionalitasku menolak mentah-mentah.Â
Sesuatu dalam diriku tidaksanggup jika harus dihadapkan dengan waktu, sebab waktu itu jahat; bisa mengambilkesempatan tanpa aba-aba. Sama hal nya dengan kisah kita. Jika aku menunggu namun tidak sanggup meniti kasih asmara, apakah aku bisa?
Bergetar, jemari ini lusuh dengan keringat dingin yang rasanya mencubit ulu hati. Aku menghelanapas, kemudian beranjak. Syal merah yang melingkar apik pada kanvas jenjang leherkuterbawa angin ke utara. "Dante, saya rasa wanita satu ini tidak sanggup jika harus menunggu, tidak berani menatap irisnya, aku berpusat pada arus lembut danau di depan sana.
"Sarah... " dia genggam tanganku, mengusap dengan ibu jari sarat akan kasih sayang berlebih.
Namun aku bersikukuh pada keteguhan diri, kapasitas rinduku bukan bendungan yang kuatmenahan selaksa jua. Kapasitas rinduku hanya sebatas jarak nadi, begitu pendek.
"Saya tidak mampu, Dante. Kamu pilih mana? Saya yang menunggu namun terpaksa sebabtidak tahan rindu lalu ingkar janji dan berpaling ke pria lain atau saya yang mengakhiri semuanyadi sini?" bangku tempat kita pertama kali bertemu ini, panorama yang masih sama. Tidaksangka akan menjadi alokasi penghujung cerita.
Lambat laun, genggamnya kian kendur, dia menunduk dalam. Seragam projek didikan militersudah melekat apik pada raganya. "Kamu tampak berwibawa, saya bangga dengan kamu.
Terimakasih karena sudah pernah mengejar wanodya yang terlampau sederhana ini,terimakasih untuk seluruh warnanya," tukasku, tidak sanggup berlama-lama oleh karena airmata di pelupuk sudah hampir membeludak.
"Sarah, Sarah!" acuh, aku biarkan dia meneriakkan nama. Dante sendiri tidak mengejar,melainkan bersimpuh lutut dan memandang siluetku yang makin samar terbawa oleh jarak.
"Selamat tinggal, Dante."
Secarik bertajuk. "kapasitas Rindu dalam Atma ," usai sampai di sini,meninggalkan segenap memori yang ditorehkan begitu sendu hingga Sarah kelu untuk sekedarmengutarakan kecamuk pada purnama. Semesta memang keterlaluan bercandanya. Senja puntidak selamanya indah, karena nyatanya lembayung itu akan tenggelam bersama jelaga.Â
Aksaraini tuntas sekalipun renjana begitu terluka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H