"Sejak dini, saya ingin mengabdi sebagai awak militer dan tekun menyatukan mimpi, saya inginkamu menunggu. Saya berharap rajut benang merah kita selamanya terjalin dalam kehendakrenjana. Sarah, bagaimana?"
Gamang, aku terjerat lamun semata. Kemudian aku buru-buru terkesiap usai lonceng kastil didepan danau bergema. Nuansa kota tua Montreux justru memberi kilah yang sendu. Jauhdalam sanubari, aku enggan berpisah barang sejenak saja dengan Dante. "Aku... Dante, apakahitu lama?"
Dia membatu, aku meliriknya dari ekor mata dan masih rekat mengamit jemari yang salingbertaut. Kita adalah dua insan saling mencinta namun disekat oleh harapan dan mimpi dalamranah cita-cita.
"Kalau saya bilang lama, apakah kamu akan pergi?"Detik itu, aku masih bersitegang dengan batin yang meronta. Masih memikirkan bagaimanananti friksi manis ini hirap begitu saja tanpa Dante di setiap lembar cerita? Tentu, ujungnya pasti
lara. Namun, logika dan rasionalitasku menolak mentah-mentah.Â
Sesuatu dalam diriku tidaksanggup jika harus dihadapkan dengan waktu, sebab waktu itu jahat; bisa mengambilkesempatan tanpa aba-aba. Sama hal nya dengan kisah kita. Jika aku menunggu namun tidak sanggup meniti kasih asmara, apakah aku bisa?
Bergetar, jemari ini lusuh dengan keringat dingin yang rasanya mencubit ulu hati. Aku menghelanapas, kemudian beranjak. Syal merah yang melingkar apik pada kanvas jenjang leherkuterbawa angin ke utara. "Dante, saya rasa wanita satu ini tidak sanggup jika harus menunggu, tidak berani menatap irisnya, aku berpusat pada arus lembut danau di depan sana.
"Sarah... " dia genggam tanganku, mengusap dengan ibu jari sarat akan kasih sayang berlebih.
Namun aku bersikukuh pada keteguhan diri, kapasitas rinduku bukan bendungan yang kuatmenahan selaksa jua. Kapasitas rinduku hanya sebatas jarak nadi, begitu pendek.
"Saya tidak mampu, Dante. Kamu pilih mana? Saya yang menunggu namun terpaksa sebabtidak tahan rindu lalu ingkar janji dan berpaling ke pria lain atau saya yang mengakhiri semuanyadi sini?" bangku tempat kita pertama kali bertemu ini, panorama yang masih sama. Tidaksangka akan menjadi alokasi penghujung cerita.
Lambat laun, genggamnya kian kendur, dia menunduk dalam. Seragam projek didikan militersudah melekat apik pada raganya. "Kamu tampak berwibawa, saya bangga dengan kamu.
Terimakasih karena sudah pernah mengejar wanodya yang terlampau sederhana ini,terimakasih untuk seluruh warnanya," tukasku, tidak sanggup berlama-lama oleh karena airmata di pelupuk sudah hampir membeludak.