Camar menari di atas nabastala, hilir danau tampak damai laiknya teduh rimbun dalamgulungan awan yang kini kian jingga oleh lembayung dari ufuk pengantar senja.Â
Aku menitipandang, lagi-lagi hari ini bersemuka dengan seorang tuan berperawakan semampai yangduduk diam di sisi bangku tepat pada halaman Chteau de Chillon ; kastil tua. Entah, sepertinyasemesta sengaja mengatur alur tak terduga. Sebuah awal dari sapa, sebatas intro biasa namuntidak disangka berujung romansa.
"Indah betul ya senja yang kian terganti oleh purnama?" lirih, aku gumamkan itu di sisinya.
Sebelum dia terkekeh kecil, memberi sorot abstrak namun terisrat asmaraloka.
"Saya tidak memuji senja, saya selalu duduk di sini untuk mendamba seorang wanodya."
"Seorang wanodya? Siapa itu?" keningku berkerut, ada nada penasaran yang terlarut dalamintonasi kata.
"Kamu."
Ah, lagi-lagi konsonan harap pada jagat raya bermain menghampiri benak manusia. Sejak detikitu, aku : Sarah Gouw, total dikejar mati-matian oleh pemilik daksa bidang berbahu lebar yangdiketahui asmanya Dante Stanislav tanpa kenal lelah atau putus asa. Sekalipun aku acuh,bahkan beberapa waktu menunjukkan sisi lugas yang condong dianggap sebagian orang sepertigalak di depan dia. Sayangnya, dia tidak pernah menyerah barang sedetik saja.
"Sarah!"
"Apa lagi sih?" bersungut, Dante tidak goyah akan ekspresi yang aku buat sedemikian rupabegitu galak dengan intonasi cetus lantang.
"Saya mau bilang, surai sebahumu itu kian hari semakin buat saya terpesona," tukasnya, yangtentu saja mana tahan aku menyembunyikan rona menjalar sampai ke telinga. Bukan hanyasekali atau dalam kurun hitungan jari, Dante tidak letih datang demi mengais afeksi ataumemberi bingkis manis dalam keranjang rotan dengan pita.