Mohon tunggu...
Ulfa Akhmalnihar
Ulfa Akhmalnihar Mohon Tunggu... Lainnya - hello

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Aceh, Fakultas Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Thalasemia Diisukan Penyakit Berbiaya Tinggi Ke 5 di Indonesia, Ini Kebijakan Pemerintah tentang Program Pengendalian

6 April 2022   21:05 Diperbarui: 6 April 2022   21:16 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Thalassemia merupakan salah satu kelainan darah bawaan yang banyak diderita oleh masyarakat di dunia Thalassemia dapat menyebabkan komplikasi seperti gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kerusakan tulang, dan penyakit jantung. 

Selain itu, mengobati talasemia dengan transfusi darah berisiko menyebabkan penumpukan zat besi di tubuh pasien. Indonesia merupakan salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, atau negara dengan sejumlah besar pembawa karakteristik thalassemia. 

Saat ini terdapat lebih dari 10.531 penderita talasemia di Indonesia, dan diperkirakan 2.500 bayi baru lahir lahir dengan talasemia setiap tahunnya. Cut Arianie, MHKes mengatakan pembiayaan kesehatan untuk pengobatan thalassemia menempati urutan kelima di antara penyakit tidak menular, di belakang penyakit jantung, kanker, ginjal dan stroke. 

Biaya yang dikeluarkan pada tahun 2014 sebesar Rp 225 miliar dan pada tahun 2015 sebesar Rp 452 miliar. 496 miliar rupiah pada 2016, 532 1 miliar pada 2017 dan 397 miliar pada September 2018. Hal inilah yang menjadi tantangan pemerintah Indonesia untuk mengurangi jumlah penderita thalassemia. 

Thalassemia tidak dapat disembuhkan dan membutuhkan transfusi darah seumur hidup, tetapi dapat dicegah dengan mencegah pembawa thalassemia menikah. Sifat atau tidak, karena pembawa sifat thalassemia sama sekali tidak menunjukkan gejala dan dapat bekerja seperti orang sehat. 

Untuk anak penderita thalassemia mayor, diperkirakan pemerintah harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 400 juta per tahun. Biaya ini belum termasuk biaya pemantauan rutin fungsi organ dan penanganan komplikasi. Sedangkan biaya skrining thalassemia hanya Rp 400.000. Oleh karena itu, kita harus memperkuat skrining thalassemia di Indonesia. 

Selain mahal, tantangan lain dari penyakit thalassemia adalah masih banyak ditemukannya pembawa sifat thalassemia, yaitu orang yang secara genetik membawa sifat thalasemia tersebut dan tidak menunjukkan gejala tapi bisa menurunkan penyakit thalasemia tersebut kepada anak anaknya. 

Hal ini tentunya membutuhkan upaya dari semua pihak untuk meningkatkan kesadaran dan deteksi dini/screening untuk mencegah penurunan thalassemia mayor. Skrining paling baik dilakukan sebelum memiliki keturunan, dengan mengambil riwayat keluarga thalassemia dan memeriksakan darah sedini mungkin untuk mengetahui apakah ada pembawa thalassemia. 

Dengan demikian, perkawinan antar sesama operator dapat dihindari. Hal ini harus dikomunikasikan kepada masyarakat melalui berbagai media komunikasi informasi dan edukasi (KIE). 

Dokter Anak, dr RSCM. Menurut Teny Tjitra Sari, Sp.A.(K), hingga saat ini pengobatan thalasemia di Indonesia masih bersifat suportif dan belum pada tahap kuratif. Perawatan suportif yang diberikan pada penderita thalassemia ditujukan untuk mengatasi gejala. Transfusi darah seumur hidup rutin, pemberian chelator besi, dan dukungan psikososial adalah andalan pengobatan untuk pasien dengan thalassemia.

pengidap thalasemia sangat memerlukan pengobatan yang optimal, sehingga biaya yang dikeluarkan pun cukup banyak. Kementerian Kesehatan mencontohkan, biaya pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) pengobatan talasemia 2014-2018 melebihi Rp 2 triliun. Saat ini skrining thalassemia hanya dilakukan di Puskesmas di kota-kota besar dan relatif mahal, berkisar antara Rp 400.000 -- Rp 500.000. 

Meski begitu, angka tersebut masih tergolong murah dibandingkan dengan tingginya risiko terkena thalassemia. WHO merekomendasikan agar negara seperti Indonesia melakukan program skrining talasemia secara rutin. Namun sejauh ini, pemerintah belum memiliki rencana besar nasional untuk melakukan screening untuk memutus mata rantai thalassemia. 

Sementara itu, negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand mewajibkan skrining thalassemia dalam rangkaian tes kesehatan pranikah sebagai bagian dari program pemerintah. 

Thalassemia menjadi perhatian karena thalassemia merupakan salah satu penyakit tidak menular yang paling umum pada anak-anak. Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir, tantangan kesehatan telah bergeser ke penyakit tidak menular yang didominasi oleh penyakit menular pada tahun 1990. 

Sementara itu, secara umum hingga Rp 16,9 triliun atau 29,67% dari biaya asuransi kesehatan digunakan untuk mendanai penyakit tidak menular, dengan penyakit jantung menjadi penyakit pertama dalam daftar penyakit tidak menular dengan porsi 13. Persentase dari total pembiayaan biaya asuransi kesehatan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, Nila menjelaskan bahwa pemerintah membutuhkan keterlibatan masyarakat untuk mempercepat pembangunan yang sehat. Alhasil, pemerintah melakukan terobosan atau kebijakan baru. 

Salah satu terobosan tersebut adalah melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dan melalui pendekatan Rumah Sehat di Rumah. Menurut Ruswandi, penderita talasemia terbanyak dari 23 provinsi di Indonesia adalah Jawa Barat (39,1%), diikuti Jawa Tengah (13,6%) dan Jakarta (8,1%). 

Program Warisan Thalassemia Anak Jika salah satu orang tua membawa sifat thalassemia, anak memiliki kemungkinan 50% untuk menjadi normal dan kemungkinan 50% untuk membawa sifat tersebut. Pada saat yang sama, jika kedua orang tua membawa karakteristik thalassemia, anak tersebut mungkin 25% normal, 50% carrier, dan 25% thalassemia mayor.

Tujuan pemerintah adalah tidak lagi mencatatkan kelahiran bayi thalassemia mayor atau nol kelahiran bayi thalassemia mayor. Pj Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Wren Rondonou mengatakan, hal tersebut dapat dicapai dengan meminta semua pihak melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin. Pencegahannya adalah melalui skrining atau deteksi dini calon orang tua pembawa thalassemia minor. Menurut manifestasi klinis, talasemia dibagi menjadi talasemia mayor, talasemia sedang dan talasemia minor. 

Penderita thalassemia mayor membutuhkan transfusi darah seumur hidup, hingga sebulan sekali. Pada saat yang sama, pasien thalassemia intermedia juga membutuhkan transfusi darah, tetapi frekuensinya lebih rendah dibandingkan pasien thalassemia mayor. Sebaliknya, penderita talasemia minor biasanya tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan transfusi darah. 

Untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di masyarakat, upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh berupa upaya kesehatan perseorangan (UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM). Upaya kesehatan berupa kegiatan dengan metode promotif, preventif, kuratif dan kuratif Rehabilitasi secara terpadu, menyeluruh dan berkelanjutan.
Saat ini tidak ada obat untuk thalassemia mayor, jadi pendekatan yang biasa dilakukan adalah dengan mencegah kelahiran baru thalassemia mayor. Ada 3 jenis pencegahan thalassemia, yaitu: pencegahan primer, pencegahan sekunder, pencegahan tersier. 

Program pencegahan di negara lain seperti Inggris, Italia, Yunani, Siprus dan lain-lain telah berhasil mengurangi tingkat kelahiran pasien thalassemia dan beban keuangan pemerintah setelah skrining nasional. Yayasan Thalassaemia Indonesia (YTI) bekerjasama dengan Eijkman, Prodia, PMC dan laboratorium patologi klinik untuk screening. 

Kalangan, keluarga/kerabat, meningkatkan pelayanan rumah sakit bagi penderita thalassemia, meningkatkan upaya optimalisasi penggalangan dana, meningkatkan sosialisasi dan pencegahan di kalangan generasi muda dan masyarakat sosial lainnya, di tingkat pusat dan daerah dengan instansi atau instansi pemerintah terkait Meningkatkan pengobatan dan pencegahan thalassemia secara efektif . 

Cara mencegah agar jumlah penderita thalassemia tidak terus bertambah adalah dengan mencegah perkawinan antara penderita atau pembawa sifat thalassemia, kata Ruswandi. Bagi yang ingin menikah, sebaiknya dilakukan tes darah terlebih dahulu. Jika kedua pengantin menderita thalassemia, rencana pernikahan harus dipertimbangkan kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun