Cerita ini merupakan sekuel dari 'Aku dan Cerita Dari Kamar Ke Kamar' yang Dipublikasikan di www.oliverial.com
-o0o-
Seperti yang kami diskusikan sebelum yudisium, usai acara formalitas di aula biro kami akan melanjutkan pesta makan-makan di Ayam Penyet Pak Ulis. Undangan sudah disebar. Kami hanya perlu datang saja dan duduk manis menyambut ucapan selamat dari undangan.
Kami juga mengundang seorang tamu dari Singapura. Seorang peneliti asal Jakarta yang kuliah di National University of Singapura, mahasiswa doktoral yang sedang melakukan penelitian di Indonesia. Mengundang Kak Stephanie adalah inisiatif kami berempat, terutama aku dan Amel.
Makan-makan berlangsung sampai jam empat. Aku diantar Amel ke rumah setelah Ashar. Tiba di depan rumah, aku tidak langsung masuk, kami memilih berfoto-foto di depan kosku untuk menunjukkan betapa perjuangan kami sampai ke lorong dan area kumuh untuk mendapatkan selembar ijazah bertuliskan sarjana.
Pak kos sudah berdiri di depan kiosnya dengan pandangan tak lepas dariku. Matanya seperti berkata sesuatu. Mungkin beliau hendak memuji, tapi takut ketahuan oleh ibu kos yang meskipun diam sangat berbahaya sekali. Pak kos terus mondar mandir di depan kios sambil sesekali memperhatikan kami.
Aku dan Amel bukannya tidak tahu, kami sengaja berlama-lama berfoto di depan sana dengan menggunakan kamera saku pinjaman dari Nova. Senyum kami lebar. Guratan kebahagiaan tidak bisa merusak hasil foto. Tanpa filter dan olah photoshop kami sangat terlihat cantik sekali.
Amel berpamitan pulang, tidak naik lagi ke  kamarku. Rencana makan mie Mak Beth seperti sebelumnya juga kami urungkan. Adik Amel tiba-tiba sakit dan dia harus pulang ke rumah segera.
Aku memilih masuk dan berencana berbagi kebahagiaan dengan anak kos. Nova dan Nadia mengirimiku pesan dan mengatakan mereka menungguku untuk ngerujak. Siapa yang tidak doyan rujak buatan Nadia. Kurasa kalau Nadia tiba-tiba jobless setelah selesai kuliah diploma tiga teknik kimia dia bisa membuka warung rujak di tempat touristy. Â Aku jamin akan laris manis.
Pak kos berdiri di dekat pintu, sementara aku dengan sertifikat dan kado yudisium sebagai peraih prestasi semester ini masih berjuang melepas heel murahan di kakiku. Lecetnya semakin terasa. Pak kos mendekat dan tanpa melihatku berdehem.
"Naeva, kamu tidak perlu lagi memperpanjang kos di sini," katanya tanpa basa basi.
Aku berhenti memperhatikan kakiku yang mulai perih. Kedua kaki sudah lolos dari heels dan aku melihat Pak kos dengan penuh tanda tanya. Aku yakin bulu mata anti badai yang direkatkan oleh Desi dengan lem super itu pun tak akan goyah hanya dengan menatap bapak kos.
"Kamu sudah selesai, tidak perlu melanjutkan lagi." Katanya santai. Kemudian masuk ke dalam tanpa permisi.
Aku tidak mengerti dengan sikap unpredictable pak kos. Aku masuk dengan lunglai. Rasa perih di kaki ditambah dengan keram dan rasanya aku tidak mampu berjalan. Aku masuk dan disambut dengan anak-anak kos yang siap ngerujak di bawah tangga.
Bukannya menyambutku dengan ucapan selamat, mereka tercengang melihatku. Ariaty mengiris buah, Nadia mengulek bumbu rujak, Desi sedang mengelap piring. Mereka kehilangan kata-kata.
Nova muncul dengan sendok kecil di tangan, "Kak Va diusir, ya?"
Air mataku langsung luruh tanpa permisi. Aku capek dan komentar ini seperti garam yang ditabur di atas luka. Aku naik ke atas tanpa berkata apa-apa. Aku masih bisa mendengar suara Nadia terdengar menasehati Nova.
"Jangan begitu, Nov. Kak Naeva pasti sangat shock dengan sikap bapak kos. Kenapa kamu malah bertanya begitu?"
Aku masuk ke kamar. Kurebahkan diri di atas kasur. Aku menangis. Lucunya bulu mataku tak lantas terlepas.
-o0o-
"Kak Naeva! Kak Naeva!" kudengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku terbangun dan melirik jam weker di atas lemari pakaian. Jarum jam menunjuk angka sembilan.
Oh, aku tertidur cukup lama dengan make up on. Aku beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar.
Tidak ada orang di sana. Jadi siapa yang memanggilku tadi?
Abaikan. Mungkin penghuni di kos ini tidak rela aku pergi. Aku menutup kembali pintu kamar, kemudian berganti pakaian. Tanpa sengaja aku melewati cermin dan melihat warna warni di wajahku sudah mulai aneh.
Kuambil kapas dan baby oil. Kubersihkan semua make up yang masih menempel di wajah. Lalu menyambar handuk di gantungan belakang pintu. Saatnya mandi. Bagaimana pun rasanya patah hati, aku harus menjalani hidup dengan sehat. Mandi dan menemui mereka yang berniat menyambut hari bahagiaku.
Aku tidak lagi makan. Memang tidak ada makanan apapun di rumah. aku tidak masak. Rencananya akan mentraktir adik-adik di kos makan nasi goreng atau sate Padang di kopelma. Ternyata aku malah ketiduran. Rencana ditunda.
Aku masuk ke kamar Nadia dan Ariaty, adik-adik kos sedang menonton TV di kamar. Mereka menyambutku dengan senyum. Nadia berjalan ke meja belajar, mengambil lunch box dan menyodorkan kepadaku. Senyumnya lebar memancarkan kecantikan di kulit putihnya.
"Kak Naeva, selamat yudisium. Akhirnya kami tidak melihat wajah murungmu lagi," kata Nadia.
Aku tertawa kecil. Menerima lunch box berisi rujak itu bahagia. Nadia masih ingat soal rujak. Aku ucapkan terima kasih atas ketulusannya dan adik-adik kos lain. Tiba-tiba aku merasa sedih. Bagaimana aku bisa meninggalkan mereka yang sangat baik-baik ini. aku sedih, terlebih di rumah lantai dua ini aku adalah kepala keluarga.
Tidak bisa kubayangkan bapak kos sangat kejam. Dia dengan tega menebas kepala keluarga di rumah ini dan membiarkan anak-anakku luntang lantung nantinya. Aku meneteskan air mata haru.
"Kak Va, nggak usah dipikirkan. Bapak kos kita kan memang tidak punya peri kemanusiaan. Santai saja, Kak. Kami doakan Kak Naeva akan mendapatkan kos yang lebih baik dari rumah ini. cepat atau lambat kami akan keluar juga," celetuk Nova.
Nadia memberi kode agar tidak melanjutkan lagi kalimatnya. Aku cukup sadar diri dan tidak ingin memperkeruh suasana.
"Ah, lagian siapa mau sampai karatan di sini, kan?" kataku sambil tertawa. "Aku terharu sekali dengan kabaikan kalian. Tidak aku sangka kita akan berpisah adik-adik yang manis."
"Kak Va," Nadia langsung memelukku. "Kabari aku apapun yang Kak Va butuhkan, ya."
Aku mengangguk. Lalu teringat sesuatu, "sebenarnya aku ingin mengajak kalian makan di luar. Ternyata aku ketiduran. Ya sudahlah, besok saja."
"Makan-makan!" seru mereka serempak. Aku tertawa dibuat mereka. lupa akan duka yang disebabkan oleh bapak kos.
"Memangnya Kak Naeva mau traktir kami dimana sampai harus menunggu besok?" Putri bertanya dengan gaya menantang.
"Modalku cuma cukup di Simpang Galon lah," kataku sambil tertawa.
Putri berdiri dan berlagak seperti mandor. "Kalau Cuma di situ, kenapa harus menunggu besok? Sekarang saja kita selesaikan secara adat. Bagaimana teman-teman?"
"Setuju!"
"Iya. Malam ini saja."
"Aku juga belum makan."
"Pas banget besok kita nggak ada yang kuliah."
"Malam ini kita pesta, ya. rayakan kemenangan Kak Naeva dari jeratan Pak J."
Aku tertawa melihat tingkah mereka. dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mereka sudah memakai kerudung dan jaket tipis seadanya. Siap untuk menikmati malam kemenanganku di angkringan Simpang Galon.
-o0o-
Baca bagian sebelumnya
Part 1-Malam Tak Tenang
Part 2-Pagi Yang Menakjubkan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI