Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Blue Window [Part 2: Pagi yang Menakjubkan]

11 November 2021   11:02 Diperbarui: 11 November 2021   11:10 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mau pakai cermin, Kak Va?" tanya Desi melihatku yang sedikit tegang. Aku menggeleng. Biarlah hasilnya kejutan. Aku berdoa agar hasilnya super paten.

Beberapa menit berlangsung. Kupikir make up ini tidak menghabiskan banyak waktu. Ternyata sangat makan waktu. Sepertinya sudah keputusan yang tepat aku tidak suka menghabiskan waktu di depan cermin. Aku lebih suka menghabiskan waktu di depan laptop. Sekedar menulis curhatan menjadi cerita pendek atau menonton film bajakan kopian dari teman.

Satu persatu anak kos keluar masuk ke kamar. Mereka melihat cara kerja Desi dan memantau proses transformasi diriku. Beberapa pesan dan telepon masuk aku abaikan. Tidak peduli seberapa penting itu. Kata Desi, gerakan yang berlebihan akan mengubah hasil dari ekspektasi. Aku memilih tidak bergerak.

"Sudah, Kak." Kata Desi. Dia menggiringku ke depan cermin. Aku sangat terkejut. Shock. Tidak tahu harus berkata apa.

Aku tidak percaya ini diriku. Ini di luar ekspekstasiku. Aku jadi terlihat seperti separuh Bunga Citra Lestari dan Agnes Monica. Kalau boleh jujur, aku sangat cantik. Skill Desi wajib aku acungi jempol. Puas sekali. Terlebih lagi, ini gratis. GRA-TIS!

Pukul setengah delapan pagi aku dijemput oleh Altair, temanku di KSR PMI. Dia membawaku ke kampus untuk mengikuti yudisium. Jarak dari kampus ke kos memang tidak jauh. Sehari-hari bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi di era semua orang bermotor ria memang agak aneh kalau berjalan kaki. Terlihat menyedihkan.

Aku tidak peduli. Jepang sebagai negara panutanku tidak melihat orang berjalan kaki sebagai orang susah. Banyak professor, orang kaya, bahkan orang yang usianya mencapai ratusan tahun hidup dengan berjalan kaki. Aku berpedoman pada Jepang. Apapun cemoohan orang.

Hari ini lain. Aku tidak mungkin berjalan kaki ke kampus dengan pakaian dan dandanan seperti ini. Bisa-bisa sebelum tiba ke kampus, heels seratus ribuku langsung masuk tong sampah. Aku harus mempertahankan heels ini setidaknya sampai wisuda nanti.

"Makasih, Kak," kataku pada Altair yang seperti tersihir dengan penampilan baruku. Dia mengangguk saja. Lalu berlalu ke arah lain kampus. Sepertinya ngopi pagi bersama sesama relawan lain yang lebih senior.

Aku masuk ke gedung biro, naik ke aula di lantai tiga. Belum banyak peserta yudisium di sana. Amel juga belum terlihat. Satu jam kemudian baru satu persatu kursi  terisi. Aku bisa melihat perbedaan teman-teman perempuanku. Mereka terlihat berbeda dengan sentuhan make up.

Semua terlihat cantik sekali. Tidak ketinggalan teman-teman yang selama ini terlihat bersahaja dengan wajah tanpa produk kimia apapun. Mereka juga touch make up on. Keputusan yang tepat untukku memoleskan make up di hari yudisium. Padahal awalnya aku ingin tampil apa adanya. Untunglah anak-anak kos melarang dengan segala argumen mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun