Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Blue Window [Part 2: Pagi yang Menakjubkan]

11 November 2021   11:02 Diperbarui: 11 November 2021   11:10 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Acara dimulai pukul sembilan pagi. Sebelum dimulai, kami berbincang rencana setelah wisuda. Amel paling semangat menceritakan mimpinya kuliah S2 di luar negeri. Sejak dulu dia memang memiliki impian kuliah di luar negeri. Salah satu negara di Eropa. Aku mendengar setia, aku juga memiliki mimpi yang sama. Somewhere in the world, tapi Jepang adalah negara yang paling ingin aku datangi.

"Nggak sabaran terima ijazah, ya. Mau segera melamar kerja. Cari kerja zaman sekarang susah, lho, Va."  Merry berkata padaku.

Aku mengangguk tanpa mengatakan aku sudah mendapatkan pekerjaan. Takut dinilai sombong. Amel juga berkata hal yang sama, dia ingin bekerja di perusahaan asing atau lembaga yang bisa menggaji tinggi.

"Biaya SPP kita selama kuliah sudah mahal. Setidaknya dalam dua tahun kita sudah harus bisa mengembalikan modal kuliah," celetuk Nurul. Orientasinya bisnis dan setiap omongannya selalu berpotensi modal.

"Iya, juga ya. Berarti kalau masih ngekos, kalian harus pikirkan angka yang dikeluarkan lebih besar daripada kami yang nggak ngekos," tambah Amel. Aku kembali mengangguk-angguk saja.

Otak matematika sederhanaku mulai bekerja. Mengalkulasi berapa banyak uang yang harus aku kumpulkan selama dua tahun. Sepertinya aku tidak bisa mengembalikan jumlah yang sudah aku keluarkan selama dua tahun. Aku punya catatan pengeluaran selama lima tahun kuliah. Bukannya pelit atau punya manajemen keuangan yang baik. Aku membiayai kuliahku sendiri. Sesekali orangtua mengirim dan aku tidak menolak.

"Wah, bahaya sekali untuk Naeva. Biaya kuliahnya mahal sekali, kawan-kawan. Modal dia menulis skripsi juga tinggi, lho. Berapa, Va? Dua unit sepeda motor, ya?" Amel menepuk-nepuk pundakku.

Aku hampir tersedak. Sejujurnya aku paling tidak suka membahas soal uang menguang. Sensitif. Apalagi cara Amel mengatakan seperti menyimpan nada ejekan. Menyesal sekali aku menceritakan tentang biaya yang aku keluarkan untuk skripsi padanya.

Pagi ini harusnya akan menjadi pagi yang menakjubkan. Apalagi setelahnya acara dimulai dan aku dipanggil ke depan. Aku mendapat IPK tertinggi kedua setelah Nurul. IPK Nurul 3,75 dan aku 3,63. Ah, seandainya saja aku tidak pindah prodi pada semester lima silam. Tentu aku bisa mencapai IPK sempurna.

Tidak ada yang perlu disesali. Bekerja tidak melulu tergantung pada IPK. Banyak lulusan dengan IPK tinggi pengangguran. Kuharap aku tidak menjadi salah satu di antaranya.

"Va, foto, yuk!" ajak teman-teman sekelasku yang sudah rapi dan siap dengan kamera DSLRnya. Aku merengsek ke depan melewati teman-temanku. Suasana hatiku masih bagus meski terngiang terus denggan kata-kata Amel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun