Beberapa hari kemudian, isu tentang asal muasal banjir berdatangan ke ruang informasi saya. Sama seperti kedatangan bantuan dari berbagai belahan Indonesia ke Paya Tumpi.Â
Air tersebut berasal dari gunung Pepanji yang disebut juga dengan gunung hujan. Dari teras rumah saya, gunung itu berdiri pongah meninggi seperti menembus langit.
Sejak banjir menghantam, saya baru ngeh jika sudah jarang melihat awan yang menutupi gunung itu ketika berada di kampung. Dulu hampir setiap hari saya melihat awan hitam menutupi gunung tersebut. Itu tandanya turun hujan di sana.
Selain itu, di siang hari terkadang saya melihat titik bercahaya yang berasal dari gunung tersebut. Jangan pikir itu alien yang turun ke bumi atau sejenisnya.Â
Cahaya itu berasal dari atap seng rumah kebun atau gubuk yang dibangun oleh masyarakat di sana. Ternyata warga telah membuka lahan perkebunan sampai menuju puncak gunung Pepanji. Padahal gunung itu termasuk hutan lindung yang harusnya mendapat perlindungan.
Masyarakat kita sering kali dibutakan oleh peran dinas lingkungan hidup atau pun sejenisnya. Anggapan bahwa yang berhak menjaga hutan hanya polhut atau dinas yang berwenang justru melenakan.Â
Beranggapan bahwa bisa melakukan apa saja selama tidak ditangkap oleh pihak berwenang. Jika sewaktu-waktu mendapat teguran atau bermasalah tinggal 'siram' saja.
Saat musibah datang pun mereka terlupa jika sebab musababnya berasal dari ulah tangan usil mereka membuka lahan di hutan lindung. Padahal peran hutan sangat luar biasa.Â
Akar-akar pohon di hutan tersebut menyerap air ketika hujan turun dan mengunci serta menabung stok air ketika musim kemarau. Tidak ada istilah langka air bersih jika hutan lindung terjaga.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga hutan agar bumi sehat. Seharusnya di masa pandemi seperti ini adalah kesempatan terbaik untuk menjaga hutan kita demi keselamatan bumi. Siapapun bisa melakukannya, termasuk kaum rebahan.