Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

We Are the World [Ep. 2# Mereka Panggil Pepsi]

1 Juli 2016   19:24 Diperbarui: 1 Juli 2016   19:31 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pepsi, minuman bergengsi di kalangan anak muda [Photo: Ulfa Khairina]

Hari-hariku sebagai mahasiswa master mulai sibuk dengan rutinitas tak biasa. Bangun kesiangan karena pada malam hari harus membaca jurnal dan menulis kesimpulan. Pagi bangun melanjutkan artikel yang belum selesai semalam, menyiapkan makan siang, siap-siap ke kampus dan pulang menjelang malam. Tiongkok memiliki sistem perkualiahan yang berbeda dengan Indonesia. Inilah hal pertama yang aku petik sejak hijrah ke tanah konfusius ini untuk menuntut ilmu di jenjang lebih tinggi. 

Ketika di Indonesia jam pertama kuliah dimulai pada jam 8.30 pagi atau jam 9.00 pagi, maka di Tiongkok dimulai jam 8.00 pagi. Teng! Tidak ada istilah terlambat. Terlambat lima menit, maka nama di absen tidak akan dicentang. Hal positif lain yang aku pelajari di sini, ketika terlambat datang dan tidak diperbolehkan masuk kelas, mahasiswa akan menunggu di depan pintu, di dekat jendela. Mereka tetap mengikuti pelajaran dengan cara darurat ini. Sementara di Indonesia, mahasiswa akan memilih pulang atau menunggu jam mata kuliah selanjutnya di kantin. Meskipun kelas dimulai jam sembilan pagi, banyak sekali mahasiswa di Indonesia yang terlambat. Tidak dengan mahasiswa lokal, mereka datang tepat waktu. Jarang yang terlambat.

Mata kuliah dimulai pada minggu pertama sampai minggu ke delapan untuk tiap mata kuliahnya. Mata kuliah baru dimulai pada minggu ke sembilan sampai dengan minggu ke enam belas. Masing-masing mata kuliah akan berlangsung selama empat jam. Memang sudah terbatas kemampuan mahasiswa menangkap pelajaran tidak lebih dari dua jam. Maka dua jam tersisa akan digunakan mahasiswa dengan kesibukan bersama dunia mereka, dunia maya. Tapi dosen-soden senior yang ahli dalam teknik mengajar mampu mempertahankan mahasiswa di kelas hingga empat jam. Jam istirahat akan berlangsung selama sepuluh menit setiap satu jam sekali.

"Xiake shijian dao le! (Kelas usai!)" suara perempuan yang mengaung di pengeras suara yang dipasang dikelas selalu mengingatkan bahwa waktu kelas berakhir setelah dering musik di film horor mengalun. Aku sangat benci dengan suara ini. Seperti berada di suana fil The Ring, tepat ketika si hantu perempuan dengan wajah datar dan dingin keluar dari layar TV.

"Shangke shijian dao le! (Kelas dimulai!)" dan suara yang sama akan muncul untuk mengingatkan kelas dimulai. Aku bertanya-tanya, bagaimana mereka mendapatkan ide ini. Siapa pencetus ide suara horor ini. Seolah menakut-nakuti mahasiswa yang tidak mau masuk ke kelas. 

Sama seperti hari ini, ketika suara horor itu belum mengalun seantero gedung nomor satu, professor Xu Pei Xi masuk ke kelas dengan gaya profesionalnya. Setelan jas dan sebuah tas tangan khas lelaki. Sungguh setelan seorang profesor. Matanya sipit, kulitnya tidak seberapa putih seperti orang Tiongkok pada umumnya. Aku suka gayanya.

"Good afternoon, my friends" sapaan bersahabat.  My friends, teman-teman saya. Wow, pertama kalinya aku mendengar seorang profesor memanggil mahasiswanya dengan sebutan teman. Tatapannya ramah, meskipun ia tidak melanjutkan percakapan dengan mahasiswa. Ia sibuk mempersiapkan kelas dengan powerpoint, membagi beberapa kopian materi di atas meja.

"Apa kabar, professor?!" Sapa Arshad, pemuda asal Pakistan yang duduk paling depan dan datang di waktu yang sama denganku. Aku mengenal dan berjumpa dengannya di hari sebelum kelas mulai. Karena Shahzad, salah seorang pemuda asal Pakistan yang memperkenalkan aku padanya. Sebagai orang baru, Arshad sepertinya butuh teman untuk berdiskusi. Itulah yang dipikirkan Shahzad. Aku setuju, aku tah rasanya menjadi anak baru tanpa teman yang aku kenal di luar negeri.

"I am fine. Thank you" jawabnya sambil tersenyum.

"Professor, berapa jam mata kuliah kita hari ini? Apakah kita akan mengikuti empat jam?" Tanya Arshad lagi, membuka percakapan.

"Ya, empat jam."

"It's too much, professor. Terlalu banyak" Komentarnya lagi dengan wajah tak sudi.

"Saya juga sama seperti kalian. Berpikir terlalu banyak untuk mata kuliah selama empat jam. Tapi inilah sistem. Saya harap kelas menyenangkan"

"Oh, come on... Pasti menyenangkan"

Minggu pertama ini, aku sudah menemukan sesuatu yang janggal di diri pemuda ini. Dia adalah tipikal yang banyak bicara. Sisi baiknya, dia adalah orang yang paham sekali caranya membuka percakapan dan membuka jaringan. Mungkin juga karena latar belakangnya yang seorang wartawan. Jadi ia tahu caranya membuat suasana tidak kaku dan komunikasi berlangsung dua arah. 

"Oke, friends... Let's start our class," dan professor Xu dengan suaranya yang lembut dan berwibawa mulai berdiri gagah di depan kelas. Meskipun berbahasa Inggris, aura ras Tionghoanya tidak lekang. Dari suara pertamanya saja, aku sudah mulai merasakan ia adalah sosok professor yang sangat cerdas. Aku suka professor yang ini. Kelas pertama yang dibuka dengan professor Kui menyenangkan, tapi professor Xu tampaknya lebih menyenangkan. Ia mengajar Communication Studies yang tidak bisa dipisahkan dari teori da realita masyarakat. Khususnya yang berkaitan dengan China.

Ia membagikan kopian artikel yang ia tulis dan dimuat di China Daily. Artikelnya bagus, tentang berbagai macam fenomena yang tengah terjadi di masyarakat Tiongkok dan bagaiamana solusinya dilihat dari sudut pandang seorang komunikator dan ahli sosial seperti dirinya. Meskipun banyak kosa kata baru, aku sangat menikmati artikel professor Xu.

Kelas usai tepat setelah empat jam. Aku teler. Mahasiswa lain juga. Mental kami adalah mental para pendebat, bukan pendengar. Inilah yang terjadi pada saat mereka dan aku.

wajah-wajah lelah terlihat jelas ketika profesor Xu keluar kelas setelah meneguk teh hijau dari botol air minumnya. Professor Xu menggunakan botol air minum murahan yang dijual murah di supermarket. Sekitar 10 RMB satunya, transparan dan sudah sangat tua. Sementara di Indonesia, para dosen menggunakan botol minum produk Tupperware. Seringnya begitu. Mahal. Untuk satu botol kecil saja bisa mencapai 40 ribuan rupiah. Dua kali lipat harga botol minum profesor Xu.

"Oh, I am feeling tired in professor Pepsi's class" Alex, mahasiswa asal Inggris tiba-tiba menyeletuk. Semua melirik kepada Alex sambil cekikikan.

Sejak hari itu, professor Xu Pei Xi mendapat nama baru. Professor Pepsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun