Saat berada di atas pentas, aku mulai berdiri memegang mic, dan suaraku mulai menggaung ketika berkata, "Good evening to all professor, good evening everybody...."
Ayah, aku melihatmu di sana. Ya, aku melihatmu...
"I am Ulfa Khairina from Indonesia...." dan aku melihat ayah tersenyum. Senyum yang aku rindukan, "...... terimakasih China, terimakasih CUC...." dan mic berpindah, "...terimakasih ayah.."
Apakah penyakit itu begitu menyiksa ayah?Â
Ini adalah yudisium terbaik, ayah. Ketika aku bisa mengatakan pada dunia yang memandang rendah perempuan muslim. Aku bisa berdiri dan tunjukkan bahwa perempuan muslim bukanlah perempuan tradisional tanpa pendidikan tinggi. Ayah harus dengar ceritaku. Hanya dua tahun setengah tersisa, ayah mengalah pada penyakit.
Teman-teman bilang, sekarang ayah berada dimana saja aku berada. Ayah ada di hatiku, menguatkan langkahku, membimbingku meraih cita-cita. Ayah, meskipun aku menolak kalimat itu. Aku percaya, aku tahu ayah mengaatiku. Aku selalu percaya, di saat mengingatmu, ayah akan datang di hatiku, di pikiranku.
Ayah, kenapa ayah pergi terlalu cepat. Kita belum bercerita tentang China yang selalu disebut-sebut dalam hadits itu. Kita belum berdiskusi tentang makna, "Tuntutlah ilmu walau ke negeri China"
Ayah, rindu ini selalu milikmu. Cerita ini selalu milikmu. Selalu terselip doa dari sini, dari anakmu di negeri tirai bambu.
Salam cinta dari Beijing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H