Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Aku Melihatmu, Ayah...

26 Juni 2016   04:18 Diperbarui: 26 Juni 2016   22:20 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yudisium. Begitu kita menyebutnya di Indonesia. Sekolah ini mempunyai tradisi berjalan di red carpet dan berfoto layaknya selebriti. Ayah, ini pertama kalinya aku menikmati pesta malam seperti di film-film. Benar, seperti di film-film remaja buatan Hollywood tentang akhir tahun. Aku memakai kebaya jahitan mamak dan menjadi selebriti sehari. 

Aku menjadi satu-satunya perempuan berjilbab di gala ini. Para wali murid lokal terang-terangan berdiri di depanku, berfoto denganku tanpa meminta, bahkan memotretku. Ini sudah tradisi di gala. Ketika kau berbeda, kau adalah pusat perhatian. Dan akupun tak berhenti tersenyum, memamerkan kebahagiaanku setelah dua tahun berjuang, belajar dan menyelesaikan studi ini.

Aku tersenyum, tapi mataku tak bisa berbohong. Mata cerminan hati, sejak pagi kutahan air mataku tak jatuh. Terkadang diam-diam kuusap dengan tisu. Cuaca Beijing cukup mendukung untuk berbohong. Kukatakan mataku terlalu kering, memakai kacamata bukan pilihan di hari ini. Mereka semua setuju dan melanjutkan berfoto.

Mahasiswa lokal mempersiapkan penampilan menarik. Kelas kami juga, mempersiapkan video sederhana untuk menunjukkan we are the world. Menyanyikan lagu yang sama di atas panggung dan ceramah singkat. Tidak lebih baik daripada mahasiswa lokal. Tapi itulah usaha terbaik kami.

Saat semua orang menikmati pertunjukkan, aku duduk merekam momen. Aku terus mengingat bagaimana perjuanganmu mengirimkan aku kemari. Bagaimana dirimu berusaha mewujudkannya, sementara aku hampir menyerah dengan berbagai alasan. Aku tak mengerti mengapa dirimu berubah menjadi sensitif hari-hari aku meninggalkan rumah untuk perantauan yang lebih jauh. Aku sungguh tak mengerti.

Ayah selalu menunjukkan peta dunia dan menujukkan jarak kita. Ayah selalu menunjukkan titik Beijing berlokasi dan seberapa jauh negara impianku berjarak. Ayah berkata, "Di sini, di Beijing kamu akan belajar. Kamu akan mendapat kesempatan untuk berada di sana suatu saat nanti. Jangan khawatir."

Sungguh. Aku tidak mengerti maksud ayah. Aku mengerti hari ini. Setelah aku menyelesaikan tesis ini. Sampai aku mendapatkan nilai 90 untuk tesis dan terpilih salah satu yang tertinggi. Aku tidak tahu harus berbangga, atau bersedih. Tapi aku belajar dari kata-kata ayah, ".... di Beijing kamu akan belajar..."

Ayah, aku belajar satu hal. Kita tak mampu membayar jutaan rupiah untuk mengikuti kursus TOEFL atau IELTS atau apapun tes bahasa Inggris untuk ke luar negeri. Tapi aku belajar selama berada di sini. Belajar menulis dan berbicara bahasa Inggis secara aktif. Belajar bertutur dalam bahasa mandarin. 

Mungkin sebelumnya aku tidak tahu rasa bersyukur. Saat berada di tengah-tengah wisudawan dan wisudawati malam ini, aku bersyukur. Bersyukur pernah mempunyai ayah sepertimu. Meskipun ayah bukan berpendidikan tinggi, tapi ayah seperti profesor bagiku. Ilmu pengeahuan yang ayah miliki jauh lebih baik daripada ilmu pengetahuan yang aku miliki. Perjuangan ayah mengirimkan aku kemari tidak bernilai. Sebanyak apapun aku memiliki uang, tak akan pernah terbeli, tak pernah tergantikan.

Jika saja, ya jika saja. Apa yang kamu inginkan saat ini aku ingin wujudkan di tahun 2016? Simpel. Aku ingin ayah berada di antara undangan, duduk di sofa yang empuk. Ikut bertepuk tangan ketika aku dan teman-teman naik ke atas pentas. Aku ingin melihat ayah bertepuk tangan paling keras saat aku menggenggam bunga dan mengucapkan terimakasih. 

Mungkin aku terlalu sedih, lalu berhalusinasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun