Filly tersenyum dingin. Tak pernah Ais melihat temannya seperti ini. Dingin dan menyeramkan.
Filly mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Seperti makalah yang sudah dijilid dan tebalnya seperti Al-Qur’an. Makalah itu diserahkan kepada Ais. Ais melihatnya sekilas. Penasaran, ia membukanya. Ada beberapa foto di dalamnya.
Foto mesra Aksel dan Filly, foto mesra Aksel bersama beberapa cewek lain. Lembar-lembar selanjutnya berisi copyan chatting Aksel dan cewek-cewek lain. Semuanya mesra dan menguras air mata. Filly nangis di tempat.
“Kenapa Aksel sekejam ini, ya, Fil?”
“Kamu belum tahu? sejak beberapa hari ini ia selalu dekat dengan beberapa orang itu, Ais. Bahkan.... Lihat ini”
Filly mengeluarkan sesuatu. Makalah yang sudah dijilid tetapi lebih kecil dan tipis. Ais mengambilnya dan membacanya. Ais berteriak dan mennagis keras. Ia tak menyangka temannya, sahabatnya , teman sebantal tidurnya ini rela berkhianat pada sahabatnya sendiri.
Filly tersenyum sinis. Meninggalkan Ais yang menangis tersedu di kamar. Filly sedikitpun tak merasa melukai Ais. Hari itu ia sangat puas. Puas menyakiti Ais yang selalu berjalan melangkahinya. Dalam segala hal Ais lebih unggul. Bidang akademik, karir, cinta, kehidupan. Ia tak mau semuanya tersedot oleh Ais.
Ais meraih ponselnya gemetar. Mencari nomor Irma.
“Halo, Ir...” Isaknya.
“Kenapa, say? Kamu nangis?”
Ais semakin resedu. Menenangkan diri dan berusaha ngomong setenang mungkin.