Mohon tunggu...
Ulfa Khairina
Ulfa Khairina Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Somewhere to learn something. Explore the world by writing. Visit my homepage www.oliverial.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Warna-warna Angin

9 Oktober 2015   10:33 Diperbarui: 9 Oktober 2015   11:13 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Imelda menatap kosong ke balik jeruji yang terpasang di jendela. Ada sepuluh kupu-kupu warna-warni beterbangan mengitari mawar jingga. Bergantian hinggap di sari dan menghisap madunya. Lalu beterbangan lagi, mengitari tangkai-tangkai mawar jingga lainnya.

Seekor kupu-kupu terbang, menerobos jeruji. Ia tersesat dalam keremangan kamar Imelda yang pengap. Sayapnya mengepak semakin kuat ketika tubuhnya terbentur perabotan di dalam kamar. Terjatuh, kupu-kupu bersayap ungu itu bangkit lagi dan terbang ke arah lain.

Berulang kali sampai sayap kupu-kupu ungu itu rusak. Kepaknya semakin lemah. Ia begitu lelah. Secercah cahaya dari jendela di belakang Imelda memberi cahaya terang. Kini ia tahu, itu jalan pulang!

Brakk...!!!

Imelda membanting daun jendela hingga tertutup. Kupu-kupu bersayap ungu semakin lemah. Ia membentur jendela dan terjatuh. Imelda tersenyum. Memungutnya dan mematahkan sebelah sayap ungunya.

“Manusia, kenapa kau mematahkan sayapku? Beri aku jalan keluar. Tempatku di alam bebas” Suara kupu-kupu itu terdengar di telinga Imelda.

Gadis itu tersenyum, lebih mirip menyeringai. Perlahan ia elus tubuh beserbuk kupu-kupu bersayap ungu itu. Lalu ia tekan ke jendela. Pencetannya sangat kuat, sampai isi perut berwarna kehijauan berpadu kuning muncrat keluar. Cairan menjijikkan itu tak terlihat jijik bagi Imelda. Ia mengambil dengan jari dan mengoleskan di wajahnya.

“Aku ingin cantik. Punya sayap ungu dan disukai oleh setiap orang. Seperti kau kupu-kupu bersayap ungu....” Gumam Imelda. Kini ia mencabuti sayap kupu-kupu dan menempelnya di lengan kiri dan kanan menggunakan perekat.

***

Jendela berjeruji besi masih menyimpan kehampaan. Imelda masih menatap di balik jeuruji. Di dalam kamarnya yang pengap dan berbau lembab. Derit pintu terbuka tak membuat Imelda beranjak dari jendela.

Sebuah nampan berisi sepiring nasi dengan lauk sayur bening dan ikan tuna goreng tersedia di sana. Tak ketinggalan satu ceret air putih dan empat potong apel yang telah dikupas. Setelah meletakkan di atas meja dekat pintu, laki-laki yang membawa makanan itu keluar tanpa sepatah kata.

Imelda dapat mendengar suara gemerisik kunci saat lelaki itu menggembok pintu kamarnya dari luar. Ia tetap pada tempatnya. Tak bergerak.

Air mata mulai jatuh di pipinya. Angin pagi itu berhembus lembut menerpa kulit wajahnya. Imelda merasakan tangan lembut berwarna jingga menyentuh pipinya.

“Kenapa kau baru datang? Aku kesepian. Aku ingin kau selalu di sini bersamaku”, bisik Imelda.

Aku harus memberi ketenangan kepada orang-orang di Selatan. Mereka juga membutuhkan aku. tapi aku akan selalu datang dan menemanimu setiap saat. Aku akan menghiburmu dengan warna-warnaku. Kau pasti suka.

“Aku merindukanmu. Aku ingin mendekapmu. Aku ingin merasakan hangatnya dirimu. Biar para kupu-kupu bersayap ungu itu menjadi saksi cinta kita..” Imelda mengeluarkan tangannya ke balik jeruji.

Imelda sayang, kau telah mematahkan sayap kupu-kupu berwarna ungu. Kini dia mati. Apakah kau tak punya belas kasihan kepadanya? Apa kau tak merasa ingin dia hidup bebas?

“Tidak. Ini tak adil. Mereka bisa berterbangan bebas di hadapanku. Sedangkan aku terkurung di sini.” Imelda menarik kembali tangannya dan berpaling membelakangi jendela. Ia menatap kamarnya yang penuh dengan lemari kayu.

Hembusan beraroma mawar jingga menyelinap masuk ke dalam kamar. “Kamu mengatakan akan selalu ada  untukku. Tapi kau tak pernah ada saat aku butuh kamu? Di mana kamu?”

Aku akan berjanji selalu ada di sisimu, Imelda. Kamu harus berjanji padaku. Kau tak akan menyakiti kupu-kupu lagi. Apapun warna kupu-kupu itu. Atau aku tak akan lagi dengan warna-warna yang kau suka.

“Beri aku kebebasan romeoku. Ajak aku keluar...!!! Beri aku udara segar dengan warna-warna indahmu. Beri aku surga itu”, Imelda meraung-raung.

“Imelda....!!! Jangan terus berteriak. Sebentar lagi akan datang tamu kehormatan yang akan melamarku” Suara Anastasia terdengar samar di antara gedoran pintu.

Sayang, aku akan selalu ada di sisimu. Aku akan terus bersamamu. Tiap hari aku akan datang dengan warna-warna baru yang kau inginkan.akan aku bawa aroma kebebasan untukmu, Imelda...

“Kapan kau akan melamarku, bayu... Aku butuh dirimu. Aku butuh kamu untuk menopang hari-hariku. Hidupku tentu akan lebih berwarna dan indah bila bersamamu. Kapan?” Imelda merengkuh aroma mawar jingga di hadapannya.

Aku akan datang pada saat yang tepat untuk melamarmu. Tapi tolong dengarkan aku. Berhentilah berteriak-teriak. Sebentar lagi tamu dari keluarga kakak iparmu akan datang.

“Tidak, bayu... aku tidak mau. Aku ingin kau juga melamarku. Kita akan menikah. Lalu punya anak. Kita akan hidup bahagia selamanya, bayu.....” Ucapan Imelda diselingi raungan dan isakan. Lalu ia tertawa saat aroma mawar jingga berbentuk telapak tangan menyentuh lembut pipinya.

Aku berjanji akan membawamu pergi. Kamu juga harus berjanji padaku agar tak bertingkah aneh. Aku akan datang bila saatnya tiba. Imelda sayang, tugasku masih banyak. Aku harus pergi. Berjanjilah padaku. Kau tak akan berbuat konyol dan tetap di kamar ini. Aku akan menjemputnya.

“Imelda...!!!” Suara bentakan dari balik pintu yang bergembok terdengar keras. Imelda tersentak. Saat itu pula hembusan dengan aroma mawar jingga telah pergi.

Imelda menatap keluar jendela. Wujudnya kini sudah lebih besar dengan warna yang berbeda. Warna ungu, menyatu dengan kupu-kupu berayap ungu. Imelda tersenyum dan melambaikan tangan ke arah sekelompok kupu-kupu bersayap ungu. Juga hembusan ungu yang bergerak cepat meninggalkannya.

Imelda kembali berpaling ke arah pintu dengan kaget. Suara gemerincing kunci terdengar lebih cepat dan riuh dari biasanya. Ini berarti si pembuka pintu tengah dilanda amarah.

“Tolong jangan ribut. Redam suaramu. Aku tidak akan membiarkan kamu hidup bila orang-orang di luar sana tahu kalau aku punya anak sepertimu” Bentak lelaki yang pernah dikkenalnya itu. Matanya memerah dan dia menutup lagi pintu. Kemudian membukanya lagi dan hanya melngokkan kepalanya, “Makan nasimu. Jangan buat aku tambah repot karena kamu”. Pintu ditutup lagi. Sedikit membanting.

Imelda sayang, dengar aku. Jangan berbuat apapun yang membuat mereka marah. Aku akan segera kembali.

Hembusan putih beraroma bunga bakung menghampirinya. Tap hanya sekejap. Lalu terbang kembali secepat kilat.

“Ini anak saya satu-satunya. Anastasia. Dulu dia memang pernah punya adik, tapi tidak bernasib baik. Kami hanya sesaat memilikinya. Lalu Tuhan mengambilnya kembali. Kasihan sekali...” Suara lelaki bermata merah tadi terdengar di kupingnya.

“Kasihan sekali. Tentu kalau adik Anastasia masih ada dia akan secantik Anastasia bukan?" Puji suara lelaki yang lain.

“Oh, tidak. Dia biasa-biasa saja. Adik Anastasia tak lebih cantik darinya” Bantah lelaki bermata merah itu.

Imelda menahan isakannya. Ia menatap keluar jendela. Daun-daun tampak tak bergerak. Begitupun dengan mawar-mawar dengan warna berbeda. Mawar jingga tampak layu, menatap wajah Imelda pun ia tak mampu lagi. Mawar itu merasakan kesedihan Imelda.

***

“Aku akan menikah. Jadi kumohon jangan membuat ulah” Anastasia masuk ke kamar Imelda. Untuk pertama kalinya ia mengantar sarapan kepada adiknya. Imelda menatapnya tajam.

“Bayu akan membawaku pergi. Lalu kami akan menikah di alam bebas” Tukas Imelda. Ia menatap Anastasia tajam. Gadis itu tertawa terbahak-bahak.

“Teruslah bermimpi, adikku tersayang.... Bayu? Angin? Hahahahaha....” Suara tawa Anastasia semakin keras dan tak berhenti. Bahkan saat ia mengunci kembali pintu kamarnya dari luar, Imelda masih mendengar suara tawa menyeramkan itu.

Hembusan beraroma bunga kamboja putih membelai hidung Imelda. Ia merasakan hembusan itu memeluknya dari belakang. “Bayu, kamu datang?”

Aku telah berjanji akan datang di setiap kesedihanmu, Imelda sayang....

“Dia kakakku. Mengejekku. Kita akan menikah bukan? Kita akan pergi sekarang bukan? Bayu, bawa aku pergi...”

Kau siap, sayangku...

“Aku akan selalu siap bila itu denganmu. Aku akan hidup bebas di alam sana bukan?” Mata Imelda berbinar dan menatap hembusan putih yang kini warnanya berubah menjadi hijau daun. Aroma dedaunan tersa di indra penciuman Imelda.

Kita akan pergi sekarang. Tepat di saat kakakmu melangsungkan akad nikah, Imelda sayang. Bersiaplah.... Ini akan sedikit mengejutkan dan terjadi kekacauan.

Imelda mengangguk. Ia melihat sesuatu yang tak pernah dilihatnya. Hembusan itu kini berubah menjadi coklat, lalu abu-abu tua dan menjadi hitam. Hembusan itu berputar-putar di kamar Imelda. Begitu kuat menabrak jeruji jendela dan menciptakan suara berdebum yang cukup keras. Pekikan terdengar di antara kepanikan orang-orang.

Bersiaplah sayang, aku akan membawamu pergi. Kamu akan melihat keindahan dunia ini dari ketinggian....

“Lihat. Angin itu membawa seseorang”, seorang Perempuan setangah baya menunjuk Imelda yang digulung angin berwarna. Kelopak bunga berwarna warni menggulung tubuhnya, semakin tinggi ke udara.

“Itu kan adik Anastasia yang dikabarkan hilang dan sudah meninggal”

“Ternyata dia masih hidup. Ternyata selama ini kita dibohongi oleh orang tuanya”

“Apa?! Dasar manusia kejam. Tak bersyukur punya anak”

“Mungkin anak itu sudah tak waras. Makanya mereka menyembunyikannya”

Suara riuh kiri dan kanan terdengar memenuhi ruang dengar Ayah Imelda. Imelda sudah dibawa jauh oleh angin puting beliung. Tapi rasa malu dan ketakutan mulai mengusik hidupnya.

“Kalau aku tahu mereka bukan keluarga baik-baik, aku tak akan melamar anak gadisnya” Suara bisan yang sah empat puluh menit lalu sampai ke telinga Ayah Imelda.

“Katanya anaknya meninggal. Nggak tahunya gila dan dikurung”

“Dasar orang tua tak tahu diri!!!”

Di belahan tempat lain, Imelda duduk menatap laut. Hembusan angin membawanya kemari. Di sini ia bisa melihat alam bebas lebih indah daripada berada di kamarnya. Hembusan itu kini berwarna biru, menyerbak aroma laut yang indah.

“Terimakasih, bayu.... Kamu telah membebaskan aku dari kekejaman manusia. Aku mencintaimu...” Imelda tergeletak di atas bukit. Hembusan lembut angin membelai rambutnya.

Kembalilah kepada penciptamu Imelda.... Kamu akan mendapat ketenangan di sana....

***

Takengon, 24 Agustus 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun