Terasa baru kemarin aku diantar ibu,ayah, dan kakak ke bandara, tapi seminggu lagi aku wisuda sebagai mahasiswa terbaik.
“paman, sekarang aku tahu maksud pembohong 10 tahun yang lalu. Paman, aku minta tolong, jangan beritahu ke rumah kalo seminggu lagi aku wisuda. Aku nggak ingin mereka repot kesini, biarkan aku yang pulang nanti,“ pintaku pada paman. Seketika itu juga, paman terdiam. Sorot matanya menyiratkan sebuah memori kelam dimasa lalu.
* * *
Pagi ini aku rapi dengan seragam wisuda dan toga di kepalaku. Wisudaku ini bukan ayah dan ibuku yang datang, tapi paman dan bibi. Mereka rapi dengan batik jogja biru yang baru dibeli kemarin.
“selamat ya raka, S2 nya mau dimana?“ tanya paman
“belum tahu paman, tanya-tanya ayah dulu,“ senyum manisku membuat paman bingung.
“ katanya pengen nentuin hidup sendiri?“
“untuk S2nya butuh saran. Bibi mana paman?“
“tunggu sebentar, nah itu bibimu,“ ujar paman menunjuk orang yang sedang masuk dari gerbang.
“ibu, kakak!!“ teriakku, kupeluk ibu dengan wajahnya yang bertambah tua.
“ye..cuma ibu aja ni ya..?“ sahut kakakku yang berdiri disamping bibi.
“kangen ya?“ kataku memeluk kakak.
“bibi pernah janji jika kamu jadi bintang, bibi akan kasih kamu hadiah. Dan ini hadiah bibi untuk kamu,“ kata bibi menepuk bahuku.
“paman juga udah nggak jadi pembohong, yang ngasih tahu keibumu bibi, bukan paman,“ timpal paman.
“iya paman, Raka percaya “
“ibu, ayah mana?” Tanyaku terasa ganjal. Semua membisu. Saling menatap seolah membawa pesan. Aku tak mengerti pesan mata itu.
“ ayahmu terkurung.“
Seketika dadaku sesak. Gelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H