Mohon tunggu...
Umi Latifah
Umi Latifah Mohon Tunggu... Pelajar -

agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yg luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri - al-Hadid :20

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado Dalam Kandang

28 Oktober 2014   03:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:30 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terasa baru kemarin aku diantar ibu,ayah, dan kakak ke bandara, tapi seminggu lagi aku wisuda sebagai mahasiswa terbaik.
“paman, sekarang aku tahu maksud pembohong 10 tahun yang lalu. Paman, aku minta tolong, jangan beritahu ke rumah kalo seminggu lagi aku wisuda. Aku nggak ingin mereka repot kesini, biarkan aku yang pulang nanti,“ pintaku pada paman. Seketika itu juga, paman terdiam. Sorot matanya menyiratkan sebuah memori kelam dimasa lalu.
* * *

Pagi ini aku rapi dengan seragam wisuda dan toga di kepalaku. Wisudaku ini bukan ayah dan ibuku yang datang, tapi paman dan bibi. Mereka rapi dengan batik jogja biru yang baru dibeli kemarin.
“selamat ya raka, S2 nya mau dimana?“ tanya paman
“belum tahu paman, tanya-tanya ayah dulu,“ senyum manisku membuat paman bingung.
“ katanya pengen nentuin hidup sendiri?“
“untuk S2nya butuh saran. Bibi mana paman?“
“tunggu sebentar, nah itu bibimu,“ ujar paman menunjuk orang yang sedang masuk dari gerbang.
“ibu, kakak!!“ teriakku, kupeluk ibu dengan wajahnya yang bertambah tua.
“ye..cuma ibu aja ni ya..?“ sahut kakakku yang berdiri disamping bibi.
“kangen ya?“ kataku memeluk kakak.
“bibi pernah janji jika kamu jadi bintang, bibi akan kasih kamu hadiah. Dan ini hadiah bibi untuk kamu,“ kata bibi menepuk bahuku.
“paman juga udah nggak jadi pembohong, yang ngasih tahu keibumu bibi, bukan paman,“ timpal paman.
“iya paman, Raka percaya “
“ibu, ayah mana?” Tanyaku terasa ganjal. Semua membisu. Saling menatap seolah membawa pesan. Aku tak mengerti pesan mata itu.
“ ayahmu terkurung.“

Seketika dadaku sesak. Gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun