Mohon tunggu...
Umi Latifah
Umi Latifah Mohon Tunggu... Pelajar -

agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yg luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri - al-Hadid :20

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado Dalam Kandang

28 Oktober 2014   03:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:30 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin menusukku, dingin. Inginku hentikan rotasi jam dan tarik selimut kembali. Sayang, mentari telah tersenyum. Entah sampai kapan Tuhan memberi waktu hidup, yang pasti mataku terbuka pagi ini umurku telah berkurang 17 tahun. Tangisan cengeng hanya teman sejati yang telah pergi dan tidak mati.

* * *

Ke toko buku tak pernah terlewatkan dihari libur semesterku. Semua sudah termasuk dalam jadwal tahunan pamanku, paman Mardi. Meski ditengah kesibukkannya sebagai anggota legislatif, paman tak pernah melewatkannya. Aku tak tahu mengapa, mungkin beberapa tahun sudah paman menikah, paman belum dikaruniai keturunan. Bibi Lusi tak pernah mau kesepian apalagi sendirian. Sesibuk apapun paman Mardi, ia selalu menjemputku untuk menemani bibi di rumah, karena sesekali paman tidak bermalam di rumah.

Cahaya bulan menyelinap celah jendela menyinari kamar tidurku dan bibi.
“praakk..” bibi melihatku terpaku menatap purnama. Bibi terpaksa menghidupkan lampu. Bibi mengerti, dia tak tega dengan merahnya mataku menahan kantuk.
“jangan takut gelap Raka, gelap melindungi kita, bila tidak ada gelap tidak ada orang yang istirahat, mereka semua akan terus bekerja, iya tidak ?“ tanya bibi. Aku terdiam.
“tetap saja tak bisa tidur jika tak ada cahaya,“ Batinku.
Janji bibi selalu mengiming-imingiku. Ia akan memberi hadiah jika aku menjadi bintang kelas. Alhasil walau nilai-nilai raport tak ada yang kurang dari 7 aku hanya menduduki peringkat kedua di kelas.

* * *

Tak seperti harapanku, ayah mengingat janjinya. Dia sudah siap dengan tas kerjanya pagi ini. Masalah terus berjalan menemani kehidupan dan tak kan berhenti. Aku tahu itu. Tapi, bukan berarti aku takut dengan masalah. Entahlah. Mengapa ayah tak pernah mengajariku menyelesaikan masalah. 10 tahun lalu ketika aku memecahkan gelas favorit kakakku, ayahtak mengajari cara membersihkan pecahan-pecahan gelas itu, malah membentakku. Dari sini aku takut ayah, aku tak mengenal ayah.
“pagi ini ayah siap mengantarmu,“ kata ayah selepas sarapan.
“pasti KTP,“ batinku tanpa perlu bertanya lebih lanjut ke ayah. Satu KTP berarti satu suara. Ya. Ayahku mencalonkan diri sebagai anggota DPRD. Inilah hadiah di 17 tahunku dari ayah. Profesi berbau politik, yang tak ingin kumengenal lagi setelah paman mengenalkannya padaku.
“tolong Raka, turuti semua kata ayahmu. Karena kamulah harapan besar bagi ayah,“ ujar ibu setelah kucium tangannya tanda berpamitan.
“aku mendengar semua kata ayah bu, untuk menurutinya tergantung kemampuanku. Tapi soal penerusnya..aku punya mimpi sendiri dimasa depan.”
“tiit tiit tiit..,” belum selesai bicara, bunyi bel mobil ayah mengharuskan aku segera menyusulnya.

“bujuk temen-temenmu supaya pilih ayah,“ ujar ayah menyodorkan KTP padaku.
Aku membisu, menerima KTP dari ayah. Tak perlu waktu lama bagi ayah untuk masalah KTP, karena profesinya sekarang. Lebih tepatnya aku tak tahu dan tak ingin tahu.
“ayah yakin dengan pilihan ayah? “
“hahaha...bahkan lebih dari yakin Raka. Bukankah 7 tahun lalu pamanmu selalu memberi semua yang kamu inginkan. Begitu pula dengan ayah. Ayah akan memberi semua yang kamu inginkan,“ cengir ayah mengelus pundakku.
“itu dulu ayah..sekarang sudah SMA. Aku nggak akan nangis kalo keinginanku nggak dituruti kok.
“aku tak ingin ayah seperti paman,“bisikku dalam hati.
* * *

Terlihat mentari tersenyum padaku. Kugayuh sepeda baru -hadiah dari paman karena kemenanganku lomba LCC- ke rumah paman. Sepi. Bunga mawar di taman kecilnya terlihat masam, pintu rumah tertutup. Tanpa berpikir, aku nyelonong masuk. Kucari paman dan bibiku. Terlihat perempuan usia 35an itu termangu di sudut kamar.
“bi kenapa..?“ sapaku mengagetkan bibi. Ia memelukku erat. Aku yang saat itu berumur 10 tahun jelas tak mengerti.
“maaf..maaf,“ balas bibi samar tersengal. Aku semakin tak mengerti.
“ikut bibi,“ ajak bibi menarik tanganku.
“kemana bi ? “ bibi tak menjawab.

Seribu pertanyaan, tak berani ku berucap. Semakin penasaran,tempat ini begitu asing, tak pernah kulihat sebelumnya. Membisu, duduk menunggu bibi yang sedang bicara dengan seorang berbaju polisi.
“sebentar,“ kata bibi duduk dikursi sampingku.
“paman..!! “ erangku melihat laki-laki gagah berjalan dari sudut ruang menuju kearahku.
“paman kenapa disini ? bibi sendirian di rumah,“ paman hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
“bibi dan kamu apa kabar ? sehatkan ? “
“badan bibi panas, tadi nangis terus,“ terangku pada paman menatap bibi tertunduk menangis.
“temenin bibi ya raka. Paman pulangnya masih lama, tadi kamu tanya kenapa paman disini ?, pemanmu ini adalah pembohong. Besok kalau kamu sudah gede akan mengerti, “ jelas paman terlihat beribu sesal didalam sana.
“ pembohong ? kenapa sampai dikurung,“ batinku.
“dek, aku tahu memaafkan memang tak mudah. Seribu maaf pun tak akan menghapus kesalahanku. Kecuali aku menghapusnya sendiri. Aku menyesal. Jangan ragukan aku lagi, kebahagianku jika kamu memaafkanku,“ bibi Lusi tediam sesenggukan.
“dua hari lagi aku ke jogja, beri aku waktu memikirkan ini,“ jawab bibi samar.
“ayo pulang Raka,“ gandeng bibi tak memberi kesempatan untukku bicara.
* * *

Di luar sana, bumi tersenyum manis dengan bibir tujuh warnanaya. Indah. Tak seperti aku. Tapi aku yakin seindah apapun rencana kita jauh lebih indah rencana Tuhan untuk kita. Dua hari lagi ayah dilantik sebagai anggota DPRD resmi. Apa ini hadiah dari Tuhan, karena aku lulus SMA dengan nilai terbaik ?. Tahu begitu lebih baik aku hidup bersama paman dalam kandang yang tak tahu dunia luar dan tak akan pernah ada paksaan atas hak pilihku.

Ya. Semua hak pilihku ditangan ayah. Jujur aku tak peduli, Hak pilih pertamaku teruntuk ayah. Tapi hak pilihku yang kedua juga ditangan ayah. Ia tak mempedulikan aku. Suaraku untuk pemimpin Republik Indonesia tidak satu suara dengan ayah. Aku semakin tak mengerti.

Ayah janji tak akan menentukan jalan hidupku lagi setelah ia menjadi anggota DPRD. Apa daya, aku kalah lagi. Haruskah aku memilih pemimpin negara yang bukan pilihanku, bukan kepercayaanku, bukan andalanku, bukan idolaku, dan bukan segalanya tentang jalan pikiranku ?.
* * *

“bibi besok ke jogja..? gara-gara Raka nggak bisa jadi bintang kelas ya bi..?, Raka janji deh, jadi bintang kelas tapi bibi janji juga nggak boleh pergi,“ belasku pada bibi.
“janji ya Raka, selalu jadi bintang kelas. Tapi bibi minta maaf, bibi harus pulang ke jogja. Bibi nggak suka sepi apalagi sendiri. Nggak mungkin Raka tinggal bersama bibi ?“ balas bibi.
“kalo Raka kangen gimana bi ?“ bibi tersenyum mendengar celotehku.
* * *

Aku butuh kepastian untuk masa depan. Dan ayah selalu memberi kepastian dengan paksa. Aku tak ingin izin keayah untuk ini, tapi bagaimana pun ia ayahku, orang tuaku.
“ayah, aku mendapatkan beasiswa HI di jogja.“
kalo kamu di jogja ayah nggak akan ngasih uang bulanan apalagi biaya kuliah. Tapi kalo tetap disini semua ayah yang tanggung.“
“dua hari lagi aku berangkat yah.“
“ayah antar samapai bandara saja,“ jawab ayah singkat.
Bicara masalah jogja, aku teringat bibi. Apa kabar ia ? Lama tak jumpa semenjak paman terkurung. Ia tak memberi kabar, nomor teleponnya sudah tidak aktif, pergi tak berjejak. Tapi mengapa ?
“ah! mending beres-beres buat besok pagi,“ alihku.

Jam dinding tersenyum pada angka 7. Saatnya aku berangkat ke jogja. Ayah, ibu, dan kakakku telah rapi dengan seragam keluarga. Ibu sempat menangis ketika kupeluk dan kucium tangannya. Ayah terlihat agak musam.
“kamu pulangnya kapan? Bawain pesananku ya?” Ujar kakak memelukku.
“ye..yang diharapin oleh-oleh nggak adeknya,“ kakakku terkekeh mendengar jawabanku.

Telah kumasuki dunia baru.

Langkahku terhenti di depan sebuah papan bertulisan “MENERIMA KOS PUTRA” dipagar rumah kuno nan unik. Aku putuskan untuk tinggal disana, tempatnya strategis dari kampus dan satu yang terpenting, pemilik kos ini paman Mardi dan bibi Lusi. Tempat tinggal mereka yang harus kucari setelah aku menemukan kos, yang ternyata tanpa mencari aku menemukannya. Mereka bahagia tahu aku kuliah di jogja.
“bukankah ayahmu ingin kamu tetep disana? “ tanya paman. Kuceritakan semua, dan sekarang mereka adalah pengganti ayah dan ibuku di jogja. Mereka malu untuk hidup disana bersama teman-teman mereka yang telah paman bohongi, terlebih dengan ayah dan ibu, sekarang aku tahu kenapa nomor mereka tidak aktif.

Aku putuskan kembali kerumah ayah dan ibu nanti tepat aku lulus S1. Aku selalu memberi kabar ke rumah. Aku tak merasa kesepian disini, mungkin karena kesibukanku.

Terasa baru kemarin aku diantar ibu,ayah, dan kakak ke bandara, tapi seminggu lagi aku wisuda sebagai mahasiswa terbaik.
“paman, sekarang aku tahu maksud pembohong 10 tahun yang lalu. Paman, aku minta tolong, jangan beritahu ke rumah kalo seminggu lagi aku wisuda. Aku nggak ingin mereka repot kesini, biarkan aku yang pulang nanti,“ pintaku pada paman. Seketika itu juga, paman terdiam. Sorot matanya menyiratkan sebuah memori kelam dimasa lalu.
* * *

Pagi ini aku rapi dengan seragam wisuda dan toga di kepalaku. Wisudaku ini bukan ayah dan ibuku yang datang, tapi paman dan bibi. Mereka rapi dengan batik jogja biru yang baru dibeli kemarin.
“selamat ya raka, S2 nya mau dimana?“ tanya paman
“belum tahu paman, tanya-tanya ayah dulu,“ senyum manisku membuat paman bingung.
“ katanya pengen nentuin hidup sendiri?“
“untuk S2nya butuh saran. Bibi mana paman?“
“tunggu sebentar, nah itu bibimu,“ ujar paman menunjuk orang yang sedang masuk dari gerbang.
“ibu, kakak!!“ teriakku, kupeluk ibu dengan wajahnya yang bertambah tua.
“ye..cuma ibu aja ni ya..?“ sahut kakakku yang berdiri disamping bibi.
“kangen ya?“ kataku memeluk kakak.
“bibi pernah janji jika kamu jadi bintang, bibi akan kasih kamu hadiah. Dan ini hadiah bibi untuk kamu,“ kata bibi menepuk bahuku.
“paman juga udah nggak jadi pembohong, yang ngasih tahu keibumu bibi, bukan paman,“ timpal paman.
“iya paman, Raka percaya “
“ibu, ayah mana?” Tanyaku terasa ganjal. Semua membisu. Saling menatap seolah membawa pesan. Aku tak mengerti pesan mata itu.
“ ayahmu terkurung.“

Seketika dadaku sesak. Gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun