Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mana (Cara) Abdi Negara yang Baik: Konvensional atau Online?

20 Oktober 2017   20:47 Diperbarui: 21 Oktober 2017   03:46 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Ilustrasi : Kendaripos.co.id]

Abdi Negara "Konvensional" vs Abdi Negara "Online"

Tantangan menjadi abdi negara (PNS) yang kompeten di era globalisasi dan milenial saat ini telah menjadi "cambuk" nyata untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain. Bahkan di tingkat ASEAN Indonesia masih kalah dengan Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura soal kualitas kinerja PNS.

Seharusnya Indonesia mulai berkaca pada Singapura, yang merupakan negara dengan kualitas dan kinerja abdi negara peringkat terbaik ke-2 di dunia.

Meskipun telah diakui, di era pemerintahan Jokowi-JK, Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sudah berusaha keras melakukan revolusi mental terhadap semua lini pejabat negara. Baik dari tahapan perbaikan rekrutmen CPNS sampai pemangkasan formasi jabatan yang efektif dan efisien. Namun, masih belum cukup apabila persentase abdi negara yang "konvensional" masih besar.

Padahal, perkembangan dunia bergerak dinamis dan cepat. Teknologi dan informasi sungguh luar biasa maju dan canggih. Tinggal "klik" , maka dunia pun berada di genggaman kita.

Yang dibutuhkan negara saat ini adalah para abdi negara yang "online". Berkompeten tidak hanya dalam membuat keputusan, namun mampu mengikuti pergerakan global dengan teliti dan tepat.

Ibarat, negara lain sudah memikirkan "mobil terbang" dan "teknologi robot dalam transportasi dan kesehatan", sedangkan negara kita saat ini masih berkutat dengan kemiskinan, kemacetan dan korupsi. Sungguh sayang apabila negara kita membuang waktu untuk hal yang tidak pernah usai.

Saat ini yang tidak dibutuhkan negara adalah abdi negara yang masih "konvensional". Dalam artian, seorang abdi negara yang masih berpikir secara tradisional dan tidak maju. Tidak produktif.

Jaman sekarang adalah jaman dimana semua orang seharusnya sudah melek digital. Bukan lagi jaman menggunakan mesin ketik atau tulis tangan. Bukan juga era dimana abdi negara duduk manis melihat pelayanan publik yang bobrok. Bahkan di masa mendatang adalah era dimana semua serba "klik", singkat, padat dan jelas. Bukannya birokrasi yang berbelit, lama, dan antri panjang. Itu semua "era konvensional".

Pelayanan Klasik Abdi Negara Konvensional

Ada lingkaran alur logika sederhana tentang baik buruknya kemajuan sebuah negara. Masyarakat membutuhkan pelayan publik/abdi negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Negara melayani masyarakat melalui abdi negara yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Semua bertumpu pada "abdi negara".

Namun, faktanya di lapangan masih ada dilema dan arogansi pelayan publik (petugas dan pejabat pemerintah) yang masih berpikir "konvensional". Masih banyak petugas dan pejabat (oknum) yang memandang pelayanan publik berorientasi dari kepentingan pejabat, penguasa dan menganggap kantor pemerintah sebagai "simbol kekuasaan".

Belum lagi adanya penyakit Parkinson yang seringkali menghinggapi para pemimpin birokrasi. Yakni, suatu penyakit bahwa pimpinan birokrasi merasa akan bertambah berwibawa, berkuasa dan bergengsi kalau dia mempunyai jumlah staff yang banyak tanpa dianalisis apakah staffnya efektif dan efisien.

Apabila penyakit Parkinson dan perilaku abdi negara "konvensional" masih berakar di calon pegawai negeri yang saat ini masih mengikuti tes CPNS, maka sebaiknya anda berhenti dan mencari pekerjaan lain.

Karena poin penting sasaran pembangunan nasional, "yakni birokrasi yang bersih dan akuntabel, birokrasi efektif dan efisien, dan birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas", tidak akan tercapai dengan pola pikir "konvensional".

Ulan Hernawan

Referensi :

Kualitas PNS RI Kalah Dibandingkan Filipina Dan Thailand

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun