Mohon tunggu...
UKM PIKMAG UNAND
UKM PIKMAG UNAND Mohon Tunggu... Lainnya - Unit Kegiatan Mahasiswa PIKMAG Universitas Andalas

Ada untuk mahasiswa, bicara persoalan kita!

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Ketika Empati Mati: Apakah Berbahaya?

21 Desember 2024   08:54 Diperbarui: 21 Desember 2024   08:54 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Oleh Annisa Aulia Amanda, seorang mahasiswi Universitas Andalas yang berkegiatan di Pusat Informasi dan Konseling Mahasiswa Andalas Group.

Pernah merasa peduli, tapi tidak ingin benar-benar merasakannya? Merasa seperti robot simpatik dengan tuas emosi otomatis? Selamat datang di dunia empati yang mati rasa, di mana belas kasih tidak lagi diutamakan dan emosi terhenti. Hal itu adalah bentuk pertahanan diri bagi sebagian orang terhadap hal yang mengungkit emosional. Empati yang mati rasa dapat mengubah sikap seseorang, yang awalnya bermaksud baik namun terlalu takut dan memilih menjauhi arena emosi, seakan simpati itu adalah sesuatu yang menakutkan.

Empati (dalam bahasa Inggris emphaty) ditemukan oleh EB Titchener (1909) yang merujuk pada keadaan jiwa untuk memahami sudut pandang orang lain sehingga tercipta hubungan emosi antara individu dengan individu lain. Penelitian menunjukkan bahwa empati merupakan komponen penting dalam interaksi sosial manusia. Kemampuan untuk memahami dan berbagi perasaan orang lain memfasilitasi kerja sama, empati, dan kesejahteraan psikologis (Goleman, 1995). Sayangnya, beberapa orang cenderung untuk membentengi diri untuk membangun hubungan emosi dengan orang lain. Entah karena trauma yang dimiliki atau adanya gangguan narsistik (Fadli 2021).

Fenomena mati rasa emosional, ditandai dengan penurunan signifikan dalam kemampuan merespons secara emosional terhadap perasaan orang lain. Individu yang mengalami ini juga dapat mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan yang berarti dan mungkin mengembangkan sikap apatis atau sinis terhadap orang lain. Kondisi ini sering kali dikaitkan dengan kelelahan emosional, stres kronis, atau sebagai mekanisme pertahanan diri Keadaan ini merupakan alarm untuk pemilik jiwa mengenai pentingnya untuk memahami implikasi dari pelepasan emosional dan menjaga keseimbangan emosi, agar tetap memiliki jiwa yang sehat. Keseimbangan empati seperti prinsip Goldilocks -- tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin, tapi tepat (Wikipedia.id 2023). Karena bagi sebagian orang, menunjukkan empati merupakan hal yang tidak nyaman untuk dilakukan karena beberapa alasan, seperti bentuk kelemahan atau overemotional. Seseorang "mati rasa" secara emosional adalah bentuk mekanisme perlindungan diri (Figley, 1995)

Situasi empati mati rasa tersebut dapat berupa seperti ini:

1.Kamu menyaksikan seseorang memberikan segalanya untuk keluarganya, kamu tahu hal itu sungguh mengharukan. Kamu mungkin merasa sedikit tertarik pada hati sanubarimu dan mengangguk paham, namun emosimu seolah-olah sedang membisu. Bukannya kamu tidak peduli, hanya saja rasa simpati yang dirasakan merupakan hal yang lumrah sehingga tak perlu untuk ditunjukkan. Emosi hanyalah bagian normal dari menjadi manusia, itulah yang kamu pikirkan. Dan itu adalah empati yang mematikan; seni peduli tanpa merasakannya.

2.Kamu menyaksikan seseorang yang membutuhkan pertolonganmu, namun di masa lalu kamu pernah mengalami hal yang sama dan tak ada yang menolongmu. Kamu tidak merasakan empati sedikit pun pada orang itu karena kamu sudah lelah untuk berempati. Hal ini disebabkan oleh trauma di masa lalu yang membuatmu pasif dalam merasakan empati. Kamu kelelahan untuk melakukan empati, hal tersebut, compassion fatigue adalah hal yang berbahaya (Gracia 2020).

Ketika empati terhenti, kesehatan mental bisa terkena dampaknya. Ini seperti memberi tanda "Ya, itu tak apa" pada kesejahteraan emosionalmu padahal sebenarnya kamu tahu ada yang salah. Empati yang kurang dan perasaan yang tak dirasakan mampu membuat seseorang seperti tanaman yang kering dalam air. Hubungan emosional itu seperti tanaman; mereka membutuhkan perawatan bukan hanya sekedar penyiraman. Empati yang mati rasa bisa jadi disebabkan oleh tanaman yang lupa bagaimana caranya untuk merasakan hal-hal lain di sekitarnya. Individu yang mengalami mati rasa emosional mungkin merasa terisolasi secara sosial, kesulitan membangun hubungan yang mendalam, dan mengalami penurunan kualitas hidup secara keseluruhan.

Apa yang menyebabkan matinya si empati?

1.Kelelahan fisik dan mental

2.Kehidupan yang sibuk dan membuat stress

3.Paparan terus-menerus terhadap penderitaan orang lain

4.Kurangnya komunikasi dan sosialisasi sesama

5.Terbiasa untuk tidak bertanggung jawab

6.Trauma dan luka emosional

7.Narsistik atau tak adanya kesadaran diri

Empati itu seperti otot -- perlu latihan teratur. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi matinya empati adalah:

1.Cobalah menempatkan diri pada posisi orang lain dengan berlatih mendengarkan secara aktif atau menjadi sukarelawan, hal itu dapat membuatmu menjadi sensitif terhadap perasaan orang lain.

2.Meluangkan waktu untuk mengisi dan mengalibrasi ulang sebuah emosi adalah hal yang penting. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menulis jurnal, berjalan-jalan, rehat sambil mendengarkan musik atau menonton acara favorit. Hal ini sering disebut sebagai "healing" oleh sebagian orang.

3.Juga menetapkan batasan seperti memasang pagar emosional memang hal penting, namun tidak membuat seseorang berhenti untuk menjadi peduli. Ini bukan tentang menutup diri, melainkan menciptakan ruang untuk melindungi kesejahteraan jiwa sendiri. Batasan adalah jaring pengaman empati -- batasan mencegah seseorang terjerumus ke dalam jurang empati yang menyebabkan seseorang tersebut memiliki sikap people pleaser.

4.Melalui teknik mindfulness dan meditasi, individu dapat meningkatkan kesadaran akan pikiran dan perasaan mereka, sehingga lebih mampu mengidentifikasi dan merespons emosi secara sehat.

5.Terapi psikologis, seperti terapi kognitif-perilaku (CBT) atau terapi penerimaan dan komitmen (ACT), dapat menjadi alat yang efektif dalam mengatasi mati rasa emosional dan trauma yang mendasarinya.

Mati rasa emosional merupakan kondisi kompleks yang dapat memiliki dampak signifikan pada kehidupan seseorang. Meskipun kondisi ini dapat menjadi tantangan, berbagai strategi dapat diterapkan untuk mengatasi dan memulihkan kemampuan untuk merasakan dan merespons emosi orang lain. Dengan mencari dukungan profesional dan menerapkan perubahan gaya hidup yang sehat, individu dapat mengatasi mati rasa emosional dan membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun