"Sesaat lagi kereta anda akan tiba di Stasiun Citayam, in a few minutes we will arrive at Citayam Station", jelas rekaman bilingual suara wanita di pengeras suara.Â
"Oh ternyata tinggal dua stasiun lagi" Damar berkata kepada dirinya sendiri. Kursi-kursi panjang dalam gerbong semakin jauh semakin tak bertuan, siapapun bisa lebih leluasa untuk duduk di bagian mana pun. Bahkan ada seorang lelaki tua dengan setelan formal yang sudah mulai terlihat lusuh seperti kerutan-kerutan lelah yang terlukis di wajahnya, dia meluruskan kakinya di atas kursi, semacam relaksasi urat-urat kakinya yang mengencang. Kebetulan sejak kereta tiba di Stasiun Citayam Damar menghentikan konsentrasinya pada aksara-aksara dalam The Glass Lake juga alunan Angus and Julia Stone, perhatiannya lebih terpusat pada orang-orang dalam gerbong yang memang sudah lebih mudah untuk diperhatikan.
Jam 21.25 Damar tiba di stasiun terakhir, menurut jadwal keberangkatan kereta dia masih punya waktu 22 menit untuk kembali lagi ke Jakarta melalui kereta terakhir. Damar berjalan ke luar stasiun dan menelusuri pinggiran jalan sambil menghisap sebatang rokok kretek.Â
"Sebenarnya karena aku tak pernah punya masalah dengan kota ini, di masa lalu, sekarang, ataupun masa depan, itu lah alasan kenapa aku selalu datang ke sini", tutur Damar kepada sebuah plang jalan yang mengucapkan kata Selamat Datang di Kota Bogor.
"Oh maaf aku harus segera kembali, aku yakin kamu tahu bahwa tujuan perjalananku adalah perjalanan itu sendiri, terima kasih karena tidak pernah bermasalah dengan kehidupanku, sampai jumpa di hari-hari rapuhku yang lain" tutur Damar pada seluruh isi kota seraya mematikan rokoknya di sebuah genangan air yang menghiasi beberapa bagian jalan.
Kereta terakhir memang selalu lebih sepi, namun tidak lebih sepi dari waktu-waktu yang dilalui Damar semenjak dia terus menyalahkan dirinya sendiri. Perjalanan kereta adalah semacam uluran tangan bagi Damar saat dia benar-benar tenggelam dalam lautan kesalahan masa lalu dan kegagalan masa depan.Â
Untaian gerbong kereta terus melaju membelah kebekuan malam yang terhampar di sepajang jalan. Damar kembali membuka novel karangan Maeve Binchy yang dia baca dalam perjalanan sebelumnya. Tak sengaja di bagian belakang terlihat sepenggal puisi yang pernah dia tulis dalam perjalanan kereta di beberapa hari-hari rapuh yang lalu.Â
"Oh tahukah kamu, aku menulis ini dalam sebuah perjalanan sore hari yang begitu padat namun beruntung aku bisa mendapatkan tempat duduk. Bagaimana jika aku bacakan ini sekali lagi untukmu, aku rasa kamu tidak akan keberatan kan?" sambil tersenyum kecil Damar berbicara pada bayang-bayang seseorang yang terus lalu-lalang dalam pikirannya.
"Bagian kanan wajahku menguning, hangat. Jendela gerbong ini telah membiaskan panasnya. Aku rasa saat ini sebagian wajahmu pun disentuh olehnya, cahaya yang sama, dari barat yang sama. Hanya saja aku tidak yakin jika kamu mengindahkannya. Tapi yang aku yakini saat ini adalah bahwa gerbong ini melaju ke arah selatan."
Lembut dan penuh penghayatan Damar membacakannya, isi kereta yang sepi pun mendadak ramai, riuh tepuk tangan pun memecah keheningan malam dalam gerbong yang beriringan menjauhi selatan itu. Mirip seperti pertunjukan opera yang berakhir dengan jumlah penonton yang masih tertahan dan tak ingin pertunjukan berakhir. Meskipun kadang ada juga sebagian penonton yang yakin bahwa akhir sebuah cerita bukanlah benar-benar akhir dari cerita itu, namun hanyalah awal untuk bagian cerita yang lainnya.
"Apakah kamu bisa mendengarkan suara gaduh itu, Sayang? Oh maaf, maksudku, hmmm... maaf aku masih memanggilmu Sayang. Akan aku pukul mulut ini keras-keras jika masih memanggilmu dengan sebutan yang sudah tidak lagi kamu sukai itu", tegas Damar sambil menutup mulutnya rapat-rapat.Â