Cuma sekarang udah di renovasi ya jadi udah di cat ulang semua disini tokonya jadi udah bagus lagi, tulisan-tulisannya juga udah ga keliatan lagi. Paling Cuma gedung-gedung bekas dibakar itu ya yang masih dibiarin begitu aja tuh yang ruko-ruko di depan jalan raya sana. Ramayana juga dulu dibakar tuh tapi sekarang udah di renovasi dia udah bagus lagi", lanjut Rudi yang toko perhiasannya masih bertempat di titik yang sama dari dulu hingga saat ini di sebuah pasar konvensional di Cengkareng Jakarta Barat.
Begitupun dengan yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998, seperti ada sebuah peniruan yang dilakukan oleh rakyat pribumi terhadap warga negara Indonesia keturunan tionghoa atau yang biasa disebut "orang cina" karena dianggap sebagai kelompok non-pribumi oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai manusia-manusia pribumi, entahlah apa yang membedakan, mungkin manusia-manusia pribumi merasa mereka dilahirkan oleh satu nenek moyang yang sama di atas tanah dan batu yang sama sehingga mereka merasa lebih berhak berdiri di atas tanah kelahirannya bersama manusia-manusia lain sejenisnya yang memiliki ciri-ciri fisik sama dan merasa sebagai kelompok pewaris resmi karena lebih lama tinggal di Tanah Air Indonesia.
Ya entahlah karena itu hanya sekedar "entahlah" dari sisi keheranan yang saya miliki dalam memandang peristiwa tragis ini. Meskipun skalanya tidak sebesar tragedi holocaust, namun gerakan-gerakan anti-cina ini gencar sekali dilakukan pada masa itu. Bahkan sampai saat ini pun kata "Cina" yang berkonteks pada manusia pun masih menjadi sebuah kata yang berkonotasi negatif dan sarkas. Berbeda dengan kata "Cina" yang merujuk pada hal lain selain manusia, misalnya petai cina, film cina, obat cina, motor cina (produk buatan RRC), dan sebagainya. Kata-kata semacam itu akan terdengar biasa saja, berbeda dengan kata "orang cina".
Mendengar tahunnya saja, 1998, pasti yang terlintas di isi kepala orang-orang Indonesia yang melek sejarah bangsanya adalah sebuah tragedi, sebuah tahun yang mencekam dan menakutkan, sebuah fase transisi pemerintahan yang membara. Meski penyebabnya sangat kompleks, bahkan masih abu-abu karena diliputi oleh ketidak jelasan, dan kontroversial hingga saat ini, bukan berarti apa yang terjadi pada saat itu bisa dihapus dan dibuang begitu saja ke tempat sampah hingga terlupakan oleh bangsa ini. Kerusuhan ini diawali oleh Krisis Finansial Asia yang berkembang semakin buruk dan cepat hingga dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat dunia usaha. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.Â
Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS. Peristiwa ini juga terkenal dengan istilah "krismon" yaitu sebuah akronim dari Krisis Moneter. Dan selain karena peristiwa tersebut kerusuhan Mei 1998 juga dipicu oleh tragedi penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam sebuah aksi demonstrasi damai yang menuntut penurunan harga di Jakarta, pada 12 Mei 1998.Â
Kemudian hal ini berujung pada reaksi keras dari masyarakat dan berbagai elemen mahasiswa dari berbagai daerah yang berujung pada tuntutan penurunan takhta sang penguasa orde baru yang telah memimpin negara tercinta ini 32 tahun lamanya, Soeharto. 13-15 Mei merupakan puncak dari amarah atau titik kulminasi depresi rakyat terhadap krisis ekonomi Indonesia.Â
Rakyat sebenarnya menuntut sebuah reformasi namun sayangnya hal ini berujung pada sebuah kerusuhan besar bersama dengan tindakan-tindakan anarkisnya rakyat. Meskipun ada dugaan mengenai ditungganginya peristiwa ini namun sampai saat ini masih terlalu banyak versi dan masih menjadi sebuah polemik klasik bagi bangsa ini.Â
Suasana Jakarta yang tegang pasca kerusuhan 13-15 Mei ini terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya di gedung DPR/MPR pada 19 Mei 1998. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya presiden Soeharto , menggelar sidang istimewa MPR, dan pelaksanaan reformasi.Â
Setelah aksi besar tuntutan reformasi dari mahasiswa dan rakyat. Aksi di gedung DPR/MPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Pada pukul 09.06 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru dan menyongsong Era Reformasi yang berjalan hingga saat ini di Indonesia.