Ketika plastik terbawa ke laut, hewan-hewan seperti paus, lumba-lumba dan penyu tak dapat membedakan material plastik dengan lembar-lembar tumbuhan laut disana. Kadang juga lembar plastik ini terhirup oleh mereka dan kemudian bersarang di perut.
Selain tak dapat dicerna, seramnya lagi lembaran plastik ini kemudian menyumbat saluran pencernaan mereka seperti layaknya saluran air di kota besar.
Bukankah plastik dapat di daur ulang? Yap, itu kalau kita sudah disiplin dalam menggunakan material ini. Masalahnya kita sering seenaknya membuang plastik sembarangan, atau membuangnya ke tempat sampah.
Faktanya, menurup UN Environment (UNEP), hanya 9 persen dari total produksi plastik yang kemudian didaur ulang, 12 persen dibakar di incinerator, dan sisanya tertimbun di tempat pembuangan sampah bahkan dibuang sembarangan.
Masalahnya ketika ia ditimbun ataupun terbuang sembarangan, material plastik termasuk bahan yang susah terurai. Pada akhirya ia akan menjadi pencemar tanah maupun air. Itu data global, bagaimana kondisinya di Indonesia?
Bukan bermaksud inferior, rasanya data diatas bakalan jauh berbeda. Berapa banyak sih orang yang sudah secara sadar melakukan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) diantara kita? Saya pesimis angka 9 persen plastik yang didaur ulang sebagaimana gambaran UNEP tersebut bisa jadi di Indonesia jauh kurang dari angka tersebut.
Lalu, berapa banyak tempat pembuangan sampah kita yang sudah dilengkapi alat pengolahan limbah plastik? Saya berani bertaruh, masih banyak diantara kita yang punya penyakit buang sampah sembarangan.
Jadi begitulah, kita memang sudah merdeka 73 tahun lepas dari penjajahan bangsa kolonial, tapi kini kita terjajah oleh habit kita sendiri,.. ketergantungan terhadap plastik!
Satu dua tahun lalu saya sempat optimis kita bisa mereduksi peredaran plastik ini. Saya masih ingat ketika beberapa kota besar di Indonesia menerapkan 'diet plastik' belanjaan di toko modern. Waktu itu plastik belanjaan tidak lagi gratis dan dikenakan harga sekitar 100-200 rupiah. Menurut dietplastik.info kebijakan ini berhasil mengurangi konsumsi plastik hingga 55 persen.
Saya masih ingat, setiap kali berbelanja di pasar swalayan atau minimarket, waktu itu selalu ditanya, "mau pakai kantong plastik?" kalau kita jawab iya maka kita akan dikenakan charga 100-200 per lembar plastik. Kalau tidak, kita disodori tawaran untuk membeli kantong berbahan kain yang bisa dipakai berulang.
Sayangnya, kebijakan itu sepertinya hanya uji coba dan mungkin sebatas aksi reaktif dari petisi yang dilayangkan para aktifis lingkungan. Soalnya sekarang rasanya sudah tak diberlakukan lagi kebijakan tersebut. Beberapa kali belanja ke minimarket, kini kasir akan secara spontan memasukkan belanjaan kita ke kantong plastik. Padahal, rata-rata setiap belanja orang bisa memerlukan 2 atau 3 kantong plastik.