Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca Kritik Seno yang Menggelitik dalam Dunia Sukab

22 Januari 2017   17:41 Diperbarui: 23 Januari 2017   11:25 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau dalam esai-esainya, seperti dalam Tiada Ojek di Paris Seno begitu lugas mengkritik gaya hidup manusia urban, hal serupa pun akan terasa dalam cara Sukab bertutur di buku ini. Siapapun yang bercita-cita ingin menjadi penulis fiksi, mungkin tak salah jika saya menyarankan Dunia Sukab sebagai rujukan dalam belajar mengolah cerita pendek yang ciamik.

Soal kehebatannya mengaduk-aduk emosi pembaca, tentu Seno juga tak perlu diragukan. Anda bisa tersenyum lepas membaca kisah satire pelaku korupsi di cerita The Pinochio Desease atau Telepon dari Aceh, tapi anda juga bisa tercekat getir membaca sekelumit kisah wanita korban perkosaan, anak yang dilahirkannya, dan lelaki pelaku pemerkosaan pada tragedi mei 98 lalu dalam cerita Jakarta, 14 Februari 2039.

Buku ini sendiri dibagi menjadi tiga bagian yang memperlihatkan bagaimana Sukab dihadirkan pada pembacanya. Ia tak melulu hadir sebagai tokoh utama di setiap cerita. Ia bisa saja menjadi tokoh figuran yang bahkan terasa tak begitu penting kehadirannya, seperti dalam kisah Potret Keluarga dimana ia hanya disebut sebagai seorang paman dari tokoh utama yang senang memotret. Di lain kisah, Sukab juga bisa tak terlihat ada dalam cerita.

Di bagian pertama buku ini, kita bisa membaca kehadiran Sukab secara jelas dalam cerita tersebut karena ia dikisahkan sebagai orang ketiga yang disebut namanya. Di bagian kedua dan ketiga, kehadirannya tak terbaca secara jelas. Tapi ‘rasa’ Sukab-nya tetap terasa. 

Bisa saja ia menjadi tokoh utama si ‘aku’, atau menjadi salah satu tokoh dalam cerita yang tak disebut namanya secara jelas, atau bahkan bisa jadi hanya sebagai seorang narator yang berkisah tentang kisah. Rupanya di kedua bagian ini Seno ingin mempersilahkan pembacanya untuk menafsirkan siapa Sukab dicerita tersebut.

Seno sendiri rupanya tak begitu memperdulikan bagaimana Sukab direpresentasikan di cerita yang ditulisnya. Sebagaimana pengakuannya, nama Sukab selalu terlintas begitu saja saat Seno perlu nama tokoh untuk ceritanya. Ia tak mau repot memikirkan nama untuk tokoh dalam ceritanya. Itu pula sebabnya Sukab sering bermetamorfosis menjadi siapa saja di berbagai cerita Seno. Apalah arti sebuah nama?

Biarpun Sukab hanya sekedar nama tempelan pada karakter di cerita yang dibuatnya, Bagaimana pun juga Seno telah sukses membranding tokoh Sukab sebagai trademark cerita-ceritanya. Dimana ada cerita pendek Seno, di situ Sukab ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun