Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca Kritik Seno yang Menggelitik dalam Dunia Sukab

22 Januari 2017   17:41 Diperbarui: 23 Januari 2017   11:25 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Buku Dunia Sukab (Sumber: Dokpri)

Bahwa sastra bisa digunakan sebagai alat untuk mengkritisi realita yang terjadi di dunia nyata, telah banyak terbaca pada beragam karya sastrawan. Melalui Sukab, Seno Gumira Ajidarma seolah mengimplementasikan sumpahnya: "Ketika Jurnalisme dibungkam Sastra harus bicara" dalam beragam cerita pendek yang ditulisnya.

Saya ingat, pertama kali mengenal Sukab pada medio tahun ‘95-an. Saat itu saya menemukannya dalam cerita pendek berjudul Sukab Ingin Menjadi Tentara yang dimuat di majalah Hai. Waktu itu, saya yang masih anak SMP tak begitu tahu siapa itu Seno Gumira Ajidarma, penulis cerita pendek ini. Yang jelas, saat itu saya sedikit faham cerita pendek ini menyentil hegemoni tentara di masa itu yang begitu powerful hadir dalam beragam aspek kehidupan di negeri ini.

Saya pikir tokoh Sukab hanyalah tokoh yang ditulis sekali saja di cerita pendek itu. Ia hanya sebuah nama yang diambil sang penulis untuk tokoh utama di cerita tersebut saja. Sampai kemudian saya bertemu kembali dengan Sukab di koran Kompas minggu, sekitaran tahun 97-an dalam cerpen Selamat Malam Duhai Kekasih. Barulah kemudian saya tahu, Sukab bisa bermetamorfosis menjadi beragam tokoh, sebagaimana di cerpen ini ia menjadi seorang suami yang memiliki seorang isteri yang setia namun tetap kepincut pada artis dangdut bahenol di kampungnya.

Saya kemudian menemukan kembali Sukab-Sukab yang lain dalam buku Dunia Sukab yang diterbitkan pertama kali oleh Noura Books pada Agustus tahun lalu. Saya bernostalgia kembali ke masa dua puluh tahun lalu ketika membaca cerpen Selamat Malam Duhai Kekasih di buku ini, namun saya juga menyayangkan ketiadaan Sukab Ingin jadi Tentara disini. 

Setidaknya, dalam catatan Seno di intro buku ini, cerpen ini sedikit disinggung ketika Seno menyebut dalam beragam karakternya, Sukab pernah menjadi remaja berusia 17 tahun. Dan saya dengan pedenya haqul yakin bahwa yang dimaksud olehnya adalah Sukab yang pertama kali saya kenal lewat majalah Hai itu.  

Sejatinya, buku Dunia Sukab ini adalah cetak ulang dari kumpulan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma yang pernah dirilis penerbit buku Kompas pada tahun 2001. Seperti yang ditulis editor penerbit Noura Books pada pengantar buku ini, mereka sengaja mencetak ulang demi memperkenalkan karya sastrawan besar bangsa ini pada generasi milenial saat ini.

Saya sepakat, ditengah kemunculan beragam penulis muda di negeri ini, penikmat buku fiksi masa kini perlu tahu juga karya-karya dari para penulis senior. Mungkin banyak pembaca buku yang telah mengenal sosok Seno, tapi berapa banyak diantara mereka yang telah membaca karya-karyanya? 

Lewat Dunia Sukab, generasi milenial bisa belajar mengenai potongan-potongan sejarah masa lalu yang terekam pada beberapa cerita pendek di sini, yang kemungkinan besar mereka sendiri belum lahir pada saat ceritanya dibuat. Beberapa cerita bahkan bisa membuka mata kita akan realitas sosial maupun politik yang terjadi saat ini mengingat beberapa kisah terasa masih masih relevan dengan kondisi bangsa terkini.

Ada 17 cerita pendek Sukab yang disajikan dalam buku Dunia Sukab ini. Usia ceritanya membentang mulai dari tahun 1982 hingga tahun 2000. Rentang waktu yang panjang bisa menyajikan beragam kisah di negeri ini melewati jaman yang dilaluinya dengan beragam tema, mulai dari politik hingga sosial tersaji disini. Dari hal-hal yang serius hingga remahan dituturkan Seno melalui tokoh Sukab-nya.

Sekali waktu Sukab menjadi seorang lelaki perebut isteri orang, dilain cerita ia bisa menjadi seorang suami yang ngebet pada artis dangdut. Ia pernah nyalon di pemilukada dengan beragam retorika janji manisnya, namun ia juga pernah juga menjadi korban salah sasaran interogasi tentara. Ada Sukab yang punya tetangga preman bertato yang kemudian hilang secara misterius, ada pula Sukab yang sering bermain gaple dilokasi bekas kerusuhan besar dimana tiap malamnya rutin terdengar jerit kesakitan arwah gentayangan para korban kerusuhan tersebut.

Soal kemampuan Seno bertutur, rasanya tak perlu dikomentari. Di tangannya, beragam episode kehidupan bisa diolah menjadi cerita yang sangat apik. Beragam teknik, alur cerita serta terkadang ending cerita yang tak terkira menjadi kejutan-kejutan yang bakal ditemui dari seluruh cerita di buku ini. Ia juga begitu mudah menyisipkan kritik yang menggelitik dalam ceritanya. 

Kalau dalam esai-esainya, seperti dalam Tiada Ojek di Paris Seno begitu lugas mengkritik gaya hidup manusia urban, hal serupa pun akan terasa dalam cara Sukab bertutur di buku ini. Siapapun yang bercita-cita ingin menjadi penulis fiksi, mungkin tak salah jika saya menyarankan Dunia Sukab sebagai rujukan dalam belajar mengolah cerita pendek yang ciamik.

Soal kehebatannya mengaduk-aduk emosi pembaca, tentu Seno juga tak perlu diragukan. Anda bisa tersenyum lepas membaca kisah satire pelaku korupsi di cerita The Pinochio Desease atau Telepon dari Aceh, tapi anda juga bisa tercekat getir membaca sekelumit kisah wanita korban perkosaan, anak yang dilahirkannya, dan lelaki pelaku pemerkosaan pada tragedi mei 98 lalu dalam cerita Jakarta, 14 Februari 2039.

Buku ini sendiri dibagi menjadi tiga bagian yang memperlihatkan bagaimana Sukab dihadirkan pada pembacanya. Ia tak melulu hadir sebagai tokoh utama di setiap cerita. Ia bisa saja menjadi tokoh figuran yang bahkan terasa tak begitu penting kehadirannya, seperti dalam kisah Potret Keluarga dimana ia hanya disebut sebagai seorang paman dari tokoh utama yang senang memotret. Di lain kisah, Sukab juga bisa tak terlihat ada dalam cerita.

Di bagian pertama buku ini, kita bisa membaca kehadiran Sukab secara jelas dalam cerita tersebut karena ia dikisahkan sebagai orang ketiga yang disebut namanya. Di bagian kedua dan ketiga, kehadirannya tak terbaca secara jelas. Tapi ‘rasa’ Sukab-nya tetap terasa. 

Bisa saja ia menjadi tokoh utama si ‘aku’, atau menjadi salah satu tokoh dalam cerita yang tak disebut namanya secara jelas, atau bahkan bisa jadi hanya sebagai seorang narator yang berkisah tentang kisah. Rupanya di kedua bagian ini Seno ingin mempersilahkan pembacanya untuk menafsirkan siapa Sukab dicerita tersebut.

Seno sendiri rupanya tak begitu memperdulikan bagaimana Sukab direpresentasikan di cerita yang ditulisnya. Sebagaimana pengakuannya, nama Sukab selalu terlintas begitu saja saat Seno perlu nama tokoh untuk ceritanya. Ia tak mau repot memikirkan nama untuk tokoh dalam ceritanya. Itu pula sebabnya Sukab sering bermetamorfosis menjadi siapa saja di berbagai cerita Seno. Apalah arti sebuah nama?

Biarpun Sukab hanya sekedar nama tempelan pada karakter di cerita yang dibuatnya, Bagaimana pun juga Seno telah sukses membranding tokoh Sukab sebagai trademark cerita-ceritanya. Dimana ada cerita pendek Seno, di situ Sukab ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun