Jumlah Perijinan Industri Hulu Migas (sumber: dok. SKK Migas)
Untuk melihat faktor lain yang menjadi penyebab lesunya iklim investasi hulu migas, kita bisa membaca  bagaimana persepsi para investor yang menjadi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) yang menjadi mitra SKK Migas dalam mengebor cadangan migas kita.
Pricewaterhouse Coopers (PWC), sebuah kantor akuntan publik kenamaan, pada awal tahun 2016 ini melakukan survey terhadap 150 KKKS yang tersebar di berbagai wilayah kerja mengenai persepsi mereka tentang aktivitas industri hulu migas di Indonesia.
Beberapa temuan PWC dalam survey ini memperlihatkan bahwa investor/KKKS memang lebih banyak bersikap wait and see dan tak begitu progresif dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia. Berikut beberapa hal yang menguak dari survey tersebut:
Investor migas melihat bahwa masih melihat lemahnya dukungan regulasi yang mendukung terhadap aktivitas eksplorasi untuk menemukan cadangan migas. Sebanyak 69% responden menyatakan kekhawatiran mereka soal lemahnya kebijakan yang bisa mengcover aktivitas eksplorasi migas. Ini adalah sinyal kuning bagi pemerintah untuk menata kembali kebijakan yang kondusif dalam industri  hulu migas.
Persepsi Terhadap Dukungan Regulasi Pada Industri Hulu Migas (sumber: pwc.com)
Sejalan dengan pertanyaan diatas, keraguan juga terlihat dari jawaban responden atas pertanyaan soal ekspektasi mereka terhadap perbaikan kebijakan dalam setahun ini yang akan mendukung aktivitas industri mereka. Mayoritas responden menyatakan tak akan ada perubahan (47%), hanya seperempat responden yang optimis akan ada perbaikan, bahkan 16% responden menyatakan akan semakin memburuk. Sekali lagi, ini adalah sinyal bagi pemerintah untuk perbaikan regulasi industri hulu migas.
Ekspektasi Responden Terhadap Perbaikan Regulasi (sumber: pwc.com)
Nada pesimistis juga terlihat dari jawaban atas pertanyaan apakah mereka (KKKS) akan meningkatkan aktivitas eksplorasinya dalam tiga tahun ke depan? Untuk aktivitas eksplorasi di Indonesia, ternyata hanya 20% responden yang menyatakan akan meningkatkan aktivitas eksplorasi, sedangkan 61% menyatakan tidak dan 19% sisanya tidak menjawab. Tak bisa dipungkiri bahwa anjloknya harga minyak dunia berimbas pada lesunya animo investor dalam meningkatkan kegiatan eksplorasinya. Padahal pada saat yang sama, SKK Migas ingin menggenjot kegiatan eksplorasi demi penemuan cadangan migas baru.
Persepsi Aktivitas Eksplorasi Perusahaan KKKS Dalam 3 Tahun Ke Depan (sumber: pwc.com)
Survey PWC juga meranking sejumlah tantangan yang dihadapi perusahaan migas dalam setahun ke depan. Lima isu paling utama yang dihadapi oleh investor adalah terkait masalah perpanjangan kontrak kerjasama
Production Sharing Contract (PSC), konsistensi kebijakan antar kementerian, permasalahan peraturan baru, ketidakpastian mengenai cost recovery dan persoalan kewenangan audit, serta tak adanya otoritas yang dapat menyelesaikan sengketa antar instansi pemerintah. Dari kelima isu ini, kita bisa melihat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi investor migas adalah soal negosiasi kontrak PSC dan jaminan kepastian hukum serta konsistensi kebijakan.
Lima Isu Perhatian Perusahaan Migas di Indonesia (sumber: pwc.com)
Soal negoisasi perpanjangan kontrak kerjasama, terdapat beberapa perusahaan KKKS yang masa kontraknya akan segera habis dalam 3-5 tahun ke depan. Ketidakpastian akan adanya perpanjangan kontrak ini membuat mereka sedikit mengerem aktivitasnya, yang tentu saja akan berdampak pada produksi migas mereka. Selain perpanjangan masa kontrak, KKKS berharap ada perubahan skema bagi hasil yang lebih menguntungkan. Tentu saja, hal ini adalah alarm bagi SKK Migas agar segera membereskan negosiasi kontrak ini.
Daftar KKKS Yang Akan Habis Masa Kontraknya (sumber: katadata.com))
Sedikit membahas mengenai PSC, ini adalah skema bagi hasil yang dipakai pemerintah (dalam hal ini SKK Migas) dalam bekerjasama dengan investor hulu migas (KKKS). Ilustrasi pemberlakuan sistem PSC dalam tata kelola hulu migas ini serupa kerjasama antara tuan tanah pemilik sawah (Indonesia) dengan petani penggarap (Perusahaan Migas KKKS). Pemilik sawah akan memberikan hak kepada petani penggarap untuk menanam padi di lahannya. Segala biaya operasional dan resiko ditanggung petani penggarap. Setelah panen tiba, dilakukan bagi hasil antara mereka berdua sesuai kesepakatan.
Dengan sistem PSC ini, terlihat negara begitu diuntungkan. Di satu sisi, produksi migas sepenuhnya mengandalkan kemampuan teknis dan sumber dana dari KKKS, sementara dari sisi hasil produksi, negara memperoleh bagian yang lebih besar. Ini terlihat dari skema pembagian hasil produksi dari wilayah kerja migas yang digarap KKSK. Selama ini pemerintah mematok pembagiannya sebesar 85:15 untuk kegiatan pengeboran minyak bumi, , dimana 85 persen menjadi jatah pemerintah, sementara 15 persen untuk KKKS. Sementara itu untuk gas bumi berlaku ketentuan 70:30.
Skema pembagian porsi hasil produksi ini ternyata bisa membuat minat investor migas sedikit berpikir ulang. Masalahnya tingkat kesulitan setiap blok migas berbeda-beda, sehingga untuk wilayah yang dianggap berat, seperti wilayah timur yang minim infrastruktur dan membutuhkan teknologi tinggi, akan membuat mereka berpikir ulang untuk ambil bagian. Sebagai perbandingan skema PSC Indonesia dengan negara lain, Sebuah konsultan migas Internasional,  Wood McKenzie menunjukkan besaran skema profit sharing Indonesia dibanding negara lain. Dari sini saja terlihat bagaimana skema PSC Indonesia tidak kompetitif dibanding negara lain. Andrew Harwood, Manager of Upstream Oil and Gas for South Eeastern Asia for Wood Mackenzie,  menilai skema pembagian bagi hasil ini terlalu besar, mengingat jatah yang diambil Indonesia katanya terlalu besar  dibandingkan rata-rata secara global yang hanya mencapai 62 persen dan rata-rata di Asia Pasifik 70 persen.
Perbandingan Skema PSC Indonesia Dengan Negara Lain (sumber: migas101.wordpress.com)
Mengenai jaminan hukum, permasalahan lain yang sangat krusial adalah soal intervensi politik dalam aktivitas industri hulu migas. Tata kelola migas sangat rentan terhadap praktek korupsi, suap dan bentuk penyelewengan lainnya. Para pengusaha, politisi, partai politik, pelobi dan pejabat publik rentan tergoda untuk memetik keuntungan pribadi dari bisnis migas yang
basah.Perang opini di media atas kebijakan pada sektor migas ini bisa menjadi gambaran bagaimana intrik politik ini mengganggu stabilitas aktifitias industri migas.Jelas saja kondisi ini akan membuat tak tenang mereka yang berbisnis migas di tanah air. Dalam kacamata penulis yang awam politik ini, besar kemungkinan gonjang ganjing isu kewarganegaraan Archandra Tahar yang berujung pada pemberhentiannya sebagai Menteri ESDM tak jauh dari rebutan lahan basah migas ini. Sementara itu, Mungkin kasus yang paling membuat ketar ketir perusahaan migas KKKS adalah
kasus bioremediasi Chevron yang diproses secara pidana meskipun SKK Migas maupun Kementerian ESDM menyatakan tak ada peraturan yang dilanggar.
Lihat Money Selengkapnya