Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mendongkrak Gairah Industri Hulu Migas di Indonesia

17 September 2016   21:13 Diperbarui: 17 September 2016   21:38 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah kejayaan industri hulu Migas (minyak dan Gas Bumi) Indonesia dimulai pada tahun 1885 ketika seorang ahli dan Pengusaha Tembakau, Aeiko Jansenzoon Zijker, menemukan minyak yang tergenang di sumur Telaga Said di Sumatera Utara. Sejak saat itu, migas kemudian ditemukan di beberapa wilayah Indonesia. Jutaan barel migas menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara eksportir migas terbesar di dunia.

Industri minyak dan gas bumi (migas) Indonesia  memiliki sejarah panjang sebagai sektor andalan pendapatan negara kita. Peningkatan aktivitas eksplorasi yang terjadi pada masa orde baru pernah mencetak sejarah dengan total produksi minyak bumi Indonesia yang meningkat dari 600 ribu barrels/hari pada tahun 1967 menjadi 1,7 juta barrel/hari pada tahun 1977. Sayangnya, kini industri hulu migas kita sedang terpuruk. Pendapatan negara dari sektor migas terus merosot, sementara minat investor yang mau menyedot kandungan migas dari perut bumi Indonesia semakin menurun. Data terkini, SKK Migas  (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) mencatat pada semester I-2016 ini, capaian investasi hulu migas hanya 5,65 Miliar US Dollar, merosot 27 persen dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 7,74 Miliar US Dollar.

Apa yang menyebabkannya industri hulu migas Indonesia tak lagi menarik bagi investor? Kira-kira kebijakan seperti apa yang perlu diambil untuk meningkatkan animo investor pada industri hulu migas tersebut?

Dari tahun ke tahun, jumlah investor yang berminat berbisnis di industri hulu migas Indonesia semakin sedikit. Fakta bahwa industri hulu migas sudah tak lagi atraktif bisa dilihat dari hasil lelang wilayah kerja/blok eksplorasi migas. Tahun 2015, terdapat 8 Blok/Wilayah Kerja yang ditenderkan pada investor, yaitu Southwest Bengara, Oti, Nort Adang, West Berau, Rupat Labuhan, Nibung, West Asri dan Kasuri II.  Lelang ini hanya diminati oleh 2 (dua) investor, Azipac Limited untuk Blok Oti dan PT. Agra Energi Indonesia yang berminat pada blok Kasuri II. Padahal kesempatan mengikuti lelang terbuka lebar bagi para investor mengingat rentang waktu lelang yang cukup lama, selama 4 bulan. Kondisi ini semakin terlihat memprihatinkan karena kedua perusahaan tersebut gagal lulus tender dengan alasan keduanya memberi penawaran dibawah nilai minimum yang dipersyaratkan. Sementara itu, satu tahun sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) melelang 21 wilayah kerja/blok dan hanya laku diminati investor sebanyak 11 blok.

Kondisi ini tentu saja tak menguntungkan mengingat Industri hulu migas adalah industri strategis bagi bangsa indonesia. Aktivitas industri ini memiliki multifier effects bagi perekonomian negara kita. Penurunan pendapatan dari industri ini akan memiliki dampak yang serius bagi ekonomi negara kita. Sektor migas menyumbang 25-30 persen terhadap postur APBN Indonesia. Asal tahu saja, setiap pembelanjaan 1 Milyar pada industri hulu migas menyumbangkan output ekonomi sebesar Rp. 1,6 Milyar, tambahan GDP Rp. 700 juta, tambahan pendapatan rumah tangga Rp. 200 juta dan tambahan lapangan kerja 10 orang.

Indonesia patut ketar ketir dengan semakin sedikitnya perusahaan yang berminat berinvestasi pada tambang migas di bumi nusantara ini. Tak ada tambang migas baru yang dieksplorasi artinya kita tak berkesempatan meningkatkan cadangan migas baru. Padahal menurut data SKK Migas, Indonesia masih memiliki banyak cekungan yang memiliki potensi cadangan migas, terutama di wilayah timur. Khusus untuk blok migas/wilayah kerja eksisting, saat ini terdapat 289 Wilayah Kerja Migas dan baru 67 Wilayah Kerja yang sudah berproduksi. Bukankah masih banyaknya wilayah kerja yang belum ‘tergarap’ tersebut harusnya bisa menarik investor untuk mengeksploitasinya?

Potensi Cadangan Migas (sumber: dok.SKK Migas)
Potensi Cadangan Migas (sumber: dok.SKK Migas)
Minimnya minat investor pada industri hulu migas ini membuat produksi migas kita hanya mengandalkan sumber migas dari sumur-sumur lama. Ini berarti kita tak bisa menggenjot kapasitas produksi migas lebih besar mengingat sumur-sumur lama kandungannya semakin menipis, sementara biaya operasionalnya semakin tinggi. Pada saat yang sama, konsumsi migas dalam negeri terus meningkat setiap tahunnya sebesar 3,5 hingga 4 persen. Gap antara produksi dengan konsumsi migas bisa menyebabkan Indonesia terperosok pada krisis energi. Jika celah perbedaan antara konsumsi dengan produksi migas ini semakin lebar, Indonesia terpaksa harus meningkatkan nilai impor migas dari luar. Konsekuensinya, budget negara untuk belanja migas dari luar negeri akan semakin membengkak.

Gap Produksi Dengan Konsumsi Minyak Bumi di Indonesia (sumber: pwc.com)
Gap Produksi Dengan Konsumsi Minyak Bumi di Indonesia (sumber: pwc.com)
Ada banyak faktor yang ditengarai menjadi penyebab mengapa investor tak mau melirik industri hulu migas Indonesia. Hal ini terungkap dari para narasumber dalam acara kompasiana Nangkring bersama SKK Migas pada tanggal 26 Agustus 2016 lalu; Taslim Z Yunus selaku Kabag Humas SKK Migas dan Marjolijn Majong atau yang akrab dipanggil Meity, perwakilan dari IPA (Indonesia Petroleum Association).

Statistika Penurunan Cadangan dan Produksi Migas Indonesia (sumber: pwc.com)
Statistika Penurunan Cadangan dan Produksi Migas Indonesia (sumber: pwc.com)
Pertama, harga minyak dunia yang anjlok membuat perusahaan migas mengurangi aktivitasnya. Perusahaan-perusahaan migas utama  di Indonesia telah menunda investasi hingga US$ 7 miliar. Pasalnya, kegiatan eksplorasi tambang minyak membutuhkan dana yang tidak sedikit, sekitar 125 juta US Dollar perlu disiapkan. Sementara itu, aktivitas ini memiliki tingkat resiko yang tinggi dalam hal jumlah kandungan migas di lokasi tersebut, sedikit gambling. Kalau ada cadangan migas maka mereka bisa melanjutkan ke tahap eksploitasi (penyedotan migas), sementara jika tak ada, boleh dibilang mereka merugi. Ini menyebabkan mereka lebih bertindak wait and see daripada harus menyucurkan modal yang besar sementara harga minyak dunia masih rendah.

Kedua, trend wilayah eksporasi migas yang akan digarap berada di wilayah timur kepulauan nusantara dan berlokasi di wilayah terpencil serta kebanyakan berada di lautan dalam (deep-sea). Eksplorasi dan produksi migas pada lokasi ini membutuhkan teknologi terkini serta dukungan infrastruktur yang memadai sementara infrastruktur pendukung di wilayah timur masih sangat minim. Kondisi ini jelas akan semakin membuat aktivitas migas di lokasi ini menjadi high cost. Dengan kalkulasi matematika sederhana saja bisa terlihat bahwa berinvestasi migas di wilayah timur terlihat tak menguntungkan. Apa yang diharapkan dari kombinasi biaya produksi tinggi ditambah harga jual yang rendah?

Ketiga, birokrasi perijinan industri migas yang sangat berbelit. SKK migas mencatat ada 341 perijinan yang harus ditempuh dengan melibatkan tak kurang dari 18 instansi baik di tingkat pusat maupun daerah. Berdasarkan pengalaman, untuk menempuh perijinan seabrek ini dibutuhkan waktu hampir 5-10 tahun. Sementara itu, kontrak kerjasama (KKS) perusahaan migas untuk menggarap sebuah wilayah kerja berkisar pada waktu 30 tahun. Parahnya, dari ratusan perijinan ini terdapat beberapa ijin yang substansinya sama, tak jelas biaya yang harus dikeluarkan, serta tak ada kejelasan waktu penyelesaian proses pengurusan ijin-ijin tersebut. Dengan kondisi seperti ini, rasanya wajar jika banyak investor hulu migas yang menjadi alergi untuk berbisnis di sini.

Jumlah Perijinan Industri Hulu Migas (sumber: dok. SKK Migas)
Jumlah Perijinan Industri Hulu Migas (sumber: dok. SKK Migas)
Untuk melihat faktor lain yang menjadi penyebab lesunya iklim investasi hulu migas, kita bisa membaca  bagaimana persepsi para investor yang menjadi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) yang menjadi mitra SKK Migas dalam mengebor cadangan migas kita. Pricewaterhouse Coopers (PWC), sebuah kantor akuntan publik kenamaan, pada awal tahun 2016 ini melakukan survey terhadap 150 KKKS yang tersebar di berbagai wilayah kerja mengenai persepsi mereka tentang aktivitas industri hulu migas di Indonesia.

Beberapa temuan PWC dalam survey ini memperlihatkan bahwa investor/KKKS memang lebih banyak bersikap wait and see dan tak begitu progresif dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia. Berikut beberapa hal yang menguak dari survey tersebut:

Investor migas melihat bahwa masih melihat lemahnya dukungan regulasi yang mendukung terhadap aktivitas eksplorasi untuk menemukan cadangan migas. Sebanyak 69% responden menyatakan kekhawatiran mereka soal lemahnya kebijakan yang bisa mengcover aktivitas eksplorasi migas. Ini adalah sinyal kuning bagi pemerintah untuk menata kembali kebijakan yang kondusif dalam industri  hulu migas.

Persepsi Terhadap Dukungan Regulasi Pada Industri Hulu Migas (sumber: pwc.com)
Persepsi Terhadap Dukungan Regulasi Pada Industri Hulu Migas (sumber: pwc.com)
Sejalan dengan pertanyaan diatas, keraguan juga terlihat dari jawaban responden atas pertanyaan soal ekspektasi mereka terhadap perbaikan kebijakan dalam setahun ini yang akan mendukung aktivitas industri mereka. Mayoritas responden menyatakan tak akan ada perubahan (47%), hanya seperempat responden yang optimis akan ada perbaikan, bahkan 16% responden menyatakan akan semakin memburuk. Sekali lagi, ini adalah sinyal bagi pemerintah untuk perbaikan regulasi industri hulu migas.

Ekspektasi Responden Terhadap Perbaikan Regulasi (sumber: pwc.com)
Ekspektasi Responden Terhadap Perbaikan Regulasi (sumber: pwc.com)
Nada pesimistis juga terlihat dari jawaban atas pertanyaan apakah mereka (KKKS) akan meningkatkan aktivitas eksplorasinya dalam tiga tahun ke depan? Untuk aktivitas eksplorasi di Indonesia, ternyata hanya 20% responden yang menyatakan akan meningkatkan aktivitas eksplorasi, sedangkan 61% menyatakan tidak dan 19% sisanya tidak menjawab. Tak bisa dipungkiri bahwa anjloknya harga minyak dunia berimbas pada lesunya animo investor dalam meningkatkan kegiatan eksplorasinya. Padahal pada saat yang sama, SKK Migas ingin menggenjot kegiatan eksplorasi demi penemuan cadangan migas baru.

Persepsi Aktivitas Eksplorasi Perusahaan KKKS Dalam 3 Tahun Ke Depan (sumber: pwc.com)
Persepsi Aktivitas Eksplorasi Perusahaan KKKS Dalam 3 Tahun Ke Depan (sumber: pwc.com)
Survey PWC juga meranking sejumlah tantangan yang dihadapi perusahaan migas dalam setahun ke depan. Lima isu paling utama yang dihadapi oleh investor adalah terkait masalah perpanjangan kontrak kerjasama Production Sharing Contract (PSC), konsistensi kebijakan antar kementerian, permasalahan peraturan baru, ketidakpastian mengenai cost recovery dan persoalan kewenangan audit, serta tak adanya otoritas yang dapat menyelesaikan sengketa antar instansi pemerintah. Dari kelima isu ini, kita bisa melihat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi investor migas adalah soal negosiasi kontrak PSC dan jaminan kepastian hukum serta konsistensi kebijakan.

Lima Isu Perhatian Perusahaan Migas di Indonesia (sumber: pwc.com)
Lima Isu Perhatian Perusahaan Migas di Indonesia (sumber: pwc.com)
Soal negoisasi perpanjangan kontrak kerjasama, terdapat beberapa perusahaan KKKS yang masa kontraknya akan segera habis dalam 3-5 tahun ke depan. Ketidakpastian akan adanya perpanjangan kontrak ini membuat mereka sedikit mengerem aktivitasnya, yang tentu saja akan berdampak pada produksi migas mereka. Selain perpanjangan masa kontrak, KKKS berharap ada perubahan skema bagi hasil yang lebih menguntungkan. Tentu saja, hal ini adalah alarm bagi SKK Migas agar segera membereskan negosiasi kontrak ini.

Daftar KKKS Yang Akan Habis Masa Kontraknya (sumber: katadata.com))
Daftar KKKS Yang Akan Habis Masa Kontraknya (sumber: katadata.com))
Sedikit membahas mengenai PSC, ini adalah skema bagi hasil yang dipakai pemerintah (dalam hal ini SKK Migas) dalam bekerjasama dengan investor hulu migas (KKKS). Ilustrasi pemberlakuan sistem PSC dalam tata kelola hulu migas ini serupa kerjasama antara tuan tanah pemilik sawah (Indonesia) dengan petani penggarap (Perusahaan Migas KKKS). Pemilik sawah akan memberikan hak kepada petani penggarap untuk menanam padi di lahannya. Segala biaya operasional dan resiko ditanggung petani penggarap. Setelah panen tiba, dilakukan bagi hasil antara mereka berdua sesuai kesepakatan.

Dengan sistem PSC ini, terlihat negara begitu diuntungkan. Di satu sisi, produksi migas sepenuhnya mengandalkan kemampuan teknis dan sumber dana dari KKKS, sementara dari sisi hasil produksi, negara memperoleh bagian yang lebih besar. Ini terlihat dari skema pembagian hasil produksi dari wilayah kerja migas yang digarap KKSK. Selama ini pemerintah mematok pembagiannya sebesar 85:15 untuk kegiatan pengeboran minyak bumi, , dimana 85 persen menjadi jatah pemerintah, sementara 15 persen untuk KKKS. Sementara itu untuk gas bumi berlaku ketentuan 70:30.

Skema pembagian porsi hasil produksi ini ternyata bisa membuat minat investor migas sedikit berpikir ulang. Masalahnya tingkat kesulitan setiap blok migas berbeda-beda, sehingga untuk wilayah yang dianggap berat, seperti wilayah timur yang minim infrastruktur dan membutuhkan teknologi tinggi, akan membuat mereka berpikir ulang untuk ambil bagian. Sebagai perbandingan skema PSC Indonesia dengan negara lain, Sebuah konsultan migas Internasional,  Wood McKenzie menunjukkan besaran skema profit sharing Indonesia dibanding negara lain. Dari sini saja terlihat bagaimana skema PSC Indonesia tidak kompetitif dibanding negara lain. Andrew Harwood, Manager of Upstream Oil and Gas for South Eeastern Asia for Wood Mackenzie,  menilai skema pembagian bagi hasil ini terlalu besar, mengingat jatah yang diambil Indonesia katanya terlalu besar  dibandingkan rata-rata secara global yang hanya mencapai 62 persen dan rata-rata di Asia Pasifik 70 persen.

Perbandingan Skema PSC Indonesia Dengan Negara Lain (sumber: migas101.wordpress.com)
Perbandingan Skema PSC Indonesia Dengan Negara Lain (sumber: migas101.wordpress.com)
Mengenai jaminan hukum, permasalahan lain yang sangat krusial adalah soal intervensi politik dalam aktivitas industri hulu migas. Tata kelola migas sangat rentan terhadap praktek korupsi, suap dan bentuk penyelewengan lainnya. Para pengusaha, politisi, partai politik, pelobi dan pejabat publik rentan tergoda untuk memetik keuntungan pribadi dari bisnis migas yang basah.Perang opini di media atas kebijakan pada sektor migas ini bisa menjadi gambaran bagaimana intrik politik ini mengganggu stabilitas aktifitias industri migas.Jelas saja kondisi ini akan membuat tak tenang mereka yang berbisnis migas di tanah air. Dalam kacamata penulis yang awam politik ini, besar kemungkinan gonjang ganjing isu kewarganegaraan Archandra Tahar yang berujung pada pemberhentiannya sebagai Menteri ESDM tak jauh dari rebutan lahan basah migas ini. Sementara itu, Mungkin kasus yang paling membuat ketar ketir perusahaan migas KKKS adalah kasus bioremediasi Chevron  yang diproses secara pidana meskipun SKK Migas maupun Kementerian ESDM menyatakan tak ada peraturan yang dilanggar.

Beragam kasus Pada Sektor Migas (sumber: katadata.com)
Beragam kasus Pada Sektor Migas (sumber: katadata.com)
Upaya Perbaikan Iklim Industri Hulu Migas

Setelah mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan animo investor terhadap industri hulu migas ini menurun, maka kebijakan seperti apa yang bisa diterapkan untuk mengurai persoalan industri ini? Oke, soal harga minyak dunia yang sedang anjlok memang tidak bisa dikendalikan oleh negara kita. Ada mekanisme pasar yang melibatkan berbagai negara yang menjadi penentu berapa harga minyak dunia. Kita tak bisa mengintervensi soal harga minyak dunia.

Insentif Bagi Kegiatan Eksplorasi

Supaya iklim industri hulu migas kembali bergairah, maka pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan insentif bagi investor industri hulu migas. Kabar bagusnya, SKK Migas dan Kementerian ESDM telah membuat beberapa kebijakan yang ramah investor. Ini serupa jawaban atas kegalauan perusahaan KKKS sebagaimana terbaca dalam hasil survey PWC diatas. Apa saja kebijakan-kebijakan tersebut?  

Pertama, pemerintah akan lebih fleksibel dalam memberlakukan profit sharing dengan investor Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS). Kementerian ESDM  telah merancang skema bagi hasil PSC akan ditentukan oleh tingkat kesulitan wilayah kerja. Sebagai contoh, untuk eksplorasi di wilayah perairan dalam seperti di wilayah Indonesia Timur, ada sistem bagi hasil yang akan menerapkan skela 55:45 dimana porsi investor meningkat dibanding sebelumnya yang hanya kebagian 15 persen.

Kedua, perpanjangan periode masa kontrak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi untuk kegiatan migas di laut dan dan daerah pinggiran. Dalam hal ini, Pemerintah akan memberi perpanjangan 15 tahun untuk masa kontrak KKKS. Sebelumnya, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2004, masa kontrak adalah 30 tahun. Ke depannya, pemerintah mewacanakan untuk menambahnya agar perusahaan migas memiliki keleluasaan untuk menggarap cadangan migas di wilayah kerja mereka.

Ketiga, insentif fiskal pajak bagi perusahaan migas KKKS. Banyaknya kewajiban pajak bagi perusahaan KKKS menjadi salah satu sorotan beberapa KKKS.  Angin segar sebenarnya sudah dihembuskan dengan penghapusan kewajiban pembayaran PBB  dengan terbutnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 267/PMK.011/2014. 

Saat ini, pemerintah juga sedang menggodok beberapa insentif terkait pajak  ini, antara lain pajak impor barang serta pajak peralatan operasional, serta menghitung ulang beban biaya operasional (cost recovery). Dalam skema PSC, seluruh biaya investasi dan operasional ditanggung oleh perusahaan KKKS, dan dikemudian hari diganti oleh pemerintah setelah melaui proses perhitungan bersama antara perusahaan KKKS dan SKK Migas. Bagi hasil dilakukan setelah cost recovery ini ditentukan. Besaran nilai cost recovery ini termasuk instrument yang juga menentukan minat investor migas untuk menggarap suatu lahan migas yang ditawarkan pemerintah.

Menyederhanakan Proses Perijinan

Permasalahan mengenai banyaknya perijinan yang harus ditempuh oleh KKKS, pemerintah harus membuat kebijakan terobosan untuk membuat proses perijinan menjadi lebih ringkas. Kebijakan tersebut setidaknya harus meliputi tiga hal penting; memangkas perijinan yang memiliki substansi sama, pelayanan perijinan melalui satu pintu (perijinan terpadu), serta memberi kejelasan tahapan, biaya dan alokasi waktu yang jelas dalam proses perijinan.

Dalam rangka memberi kepastian proses perijinan ini, SKK Migas  sendiri telah mengusulkan untuk mengumpulkan perijinan-perijinan terkait kegiatan hulu migas ini ke dalam tiga klaster, yaitu kelompok perizinan tata ruang; kelompok perizinan lingkungan, kesela­matan, dan keamanan; ser­ta kelompok perizinan peng­gunaan sum­ber daya dan infrastruktur lainnya. Sementara itu, sebagai institusi satu pintu yang melayani beragam perijinan tersebut, SKK Migas juga mengusulkan agar perijinan dikoordinir oleh  BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Diharapkan dengan usulan ini, waktu dan biaya pengurusan perijinan dapat dipangkas.

Memberikan Kepastian Hukum

Seperti disinggung dalam uraian diatas, salah satu akar permasalahan menurunnya minat investasi hulu migas adalah kurangnya kepastian hukum dalam aktivitas hulu migas. Ini terkait bagaimana aspek peraturan yang mampu memberi kepastian dan kejelasan dalam aktivitas migas bagi investor.

Salah satu  pekerjaan rumah pemerintah yang perlu segera dituntaskan adalah mengenai revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas (UU Migas). Pasalnya, KKKS sampai saat ini masih menunggu bagaimana produk revisi tersebut akan digodok oleh pemerintah dan DPR.

Apakah nantinya Undang-Undang ini bisa mengakomodir kepentingan mereka atau malah kontraproduktif dengan niat pemerintah meningkatkan minat investor hulu migas? Beberapa isu yang menjadi perhatian perusahaan KKKS sebagaimana tercermin dalam hasil survey PWC hendaknya menjadi pertimbangan dalam kajian revisi UU Migas tersebut.

Terkait dengan pemberian insentif bagi usaha hulu migas, pemerintah akan merevisi beberapa aturan hukum yang membuat industri pada sektor migas ini menjadi tidak menarik. Salah satunya yaitu revisi peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010  Tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakukan Pajak Penghasilan di Hulu Migas. 

Beberapa hal yang akan direvisi menyangkut perpajakan, beberapa perubahan terkait biaya operasi hulu migas (cost recovery) termasuk insentif-insentif fiskal didalamnya, serta penegasan ketentuan Kontrak Kerjasama (KKS) yang telah ditandatangani sebelum berlakunya PP 79/2010 ini tetap dinyatakan berlaku. Tak kurang dari 22 poin revisi akan dilakukan terhadap peraturan pemerintah tersebut.

Dalam hal memberikan kepastian hukum, pemerintah juga perlu segera memutuskan soal perpanjangan kontrak KKKS yang akan segera berakhir. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan tersebut dapat meningkatkan aktivitas migas mereka sehingga cadangan migas yang disedot bisa meningkat.

Tak kalah pentingnya adalah bagaimana mengikis intervensi politik, serta permainan mafis migas yang bisa merecoki aktivitas Industri hulu migas ini. Kinerja aparat penegak hukum, termasuk Polri, Kejaksaan dan KPK sangat diharapkan untuk mereduksi gangguan-gangguan yang membuat industri migas tak kondusif.

Dukungan Infrastruktur di Wilayah Tambang Migas

Salah satu hal yang membuat animo investor migas menurun dalam menggarap blok migas adalah kurangnya fasilitas infrastruktur yang mendukung aktivitas mereka. Terlebih saat ini, wilayah kerja migas yang berpotensi menghasilkan cadangan migas berada di wilayah timur Indonesia yang notabene sangat minim infrastrukturnya. Tentu saja, pembangunan infrastruktur pendukung aktivitas sektor migas perlu menjadi perhatian pemerintah, seperti akses transportasi menuju lokasi, jalur distribusi hasil tambang, hingga sarana prasarana lain.

Kabar baiknya, pemerintahan saat ini sedang giat-giatnya mendukung pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia. Ada kementerian PUPR dengan program Infrastruktur Indonesia Sentris-nya atau Kemenko Maritim dengan Tol Lautnya. Dengan mensinergikan kepentingan industri hulu migas serta percepatan pembangunan infrastruktur pada kementerian lain tersebut bisa menjadi stimulus bagi peningkatan minat eksplorasi di wilayah timur Indonesia ini.

Sinergitas dan Dukungan Stakeholders

Kunci utama dari usulan kebijakan yang ditawarkan untuk meningkatkan iklim investasi pada sektor hulu migas adalah dukungan dari semua pihak yang terlibat. Sektor migas memang termasuk sektor yang banyak melibatkan banyak instansi didalamnya. Ada DPR yang berperan dalam pembahasan Revisi UU Migas, untuk urusan kebijakan fiskal, tentu ada Kementerian Keuangan yang juga menentukan apakah insentif-insentif terkait pajak dan pembiayaan lain bisa diberlakukan. Sementara itu, soal perijinan ada pemerintah daerah yang juga ikut berkepentingan didalamnya. Agar terdapat sinergi

Satu hal yang perlu diingat oleh semua pihak adalah bahwa urusan meningkatkan iklim industri hulu migas bukan sekedar untuk meningkatkan penerimaan negara ataupun mengatasi krisis energi akibat kelangkaan cadangan migas. Industri ini juga membawa manfaat yang sebesar-besarnya untuk mempercepat pembangunan ekonomi maupun peningkatan kapasitas nasional melalui multiflier effect yang ada pada industri hulu migas ini.

Facebook: Ofi Sofyan Gumelar

Twitter: @OfiSgumelar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun