[caption caption="tema Peringatan Hari Habitat Dunia 2015"][/caption]
Tahun ini Hari Habitat Dunia yang akan diperingati tanggal 5 Oktober 2015 mengambil tema Public Spaces for All. Melalui peringatan Hari Habitat Dunia tahun ini, UN Habitat berusaha menyadarkan pemerintah dan juga masyarakat akan pentingnya ruang publik. Pembangunan kota yang terlalu mengarah pada kepentingan ekonomi telah menepikan kebutuhan bagi ruang interaksi warga.
Istilah ruang publik pertama kali dikemukakan oleh Filsuf Jerman, Juergen Habermas dalam bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989. Habermas mengartikan ruang publik sebagai ruang bagi diskusi kritis yang terbuka bagi semua orang yang ditandai oleh tiga hal, yaitu responsif, demokratis dan bermakna.
Dalam lingkup penataan kota, ruang publik dapat diartikan sebagai tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Dari pengertian ini yang termasuk ruang publik adalah jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), public squares, dan taman (park). Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau (open space) publik seperti jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik seperti tanah perkerasan (plaza) dan public squares dapat difungsikan sebagai ruang publik (Sumber: disini).
Mengingat pentingnya ruang publik sebagai tempat interaksi warga perkotaan, Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan kewajiban pengadaannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Secara spesifik, dalam pasal 28 disebutkan kewajiban kota menyediakan fasilitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Jadi jelas, setiap kota wajib memiliki Ruang Publik.
Ketika peraturan bicara kewajiban penyediaan 30% ruang publik dari luas kota, tampaknya kota-kota di Indonesia kesulitan memenuhinya. Kita melihat, ruang publik yang tersedia di kota-kota besar di Indonesia sangat terbatas. Ini tentu saja menjadi pertanyaan sekaligus tantangan besar, begitu sulitkah untuk menghadirkan ruang publik yang mudah dijangkau warga kota? Apa saja sebenarnya tantangan yang ada dalam pengembangan ruang publik tersebut? Serta bagaimana solusinya?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, tak ada salahnya kita menengok metamorfosis kota Bandung, terutama untuk belajar bagaimana konsep membangun ruang publik yang nyaman bagi warganya. Mengapa harus Bandung?
Dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, banyak perubahan yang terjadi di kota ini. Bandung tengah menggeliat dari kota yang hanya mengandalkan pembangunan sporadis tak berkonsep menjadi kota yang nyaman untuk warganya. Pembangunan yang dulunya mengarah pada pola hedonisme yang ditandai maraknya pembangunan berbagai pusat perbelanjaan kini lebih mengarah pada aspek humanis dengan hadirnya berbagai ruang publik (terutama taman) di sudut-sudut kota. Berkaca dari metamorfisis Bandung yang relatif cepat ini, kita bisa mempelajari bagaimana Bandung menjawab tantangan pembangunan ruang kota yang baik bagi warganya.
[caption caption="Aktifitas Warga di Salah Satu Taman Kota Bandung (Sumber Foto: Dadang Suherna)"]
Tantangan pertama dalam menghadirkan ruang publik adalah soal political will dari walikotanya. Sudah bukan rahasia lagi jika orientasi pembangunan kebanyakan para pemimpin hasil pemilihan langsung di Indonesia adalah money oriented, bagaimana caranya mengembalikan ongkos politik yang demikian besar saat pemilukada. Inilah yang mendorong mereka lebih condong melakukan pembangunan yang lebih memiliki nilai ekonomis. itulah mengapa dibandingkan membangun ruang publik, pemberian rekomendasi pembangunan mall atau tempat hiburan lainnya dirasa lebih menguntungkan.
Sejak awal terpilih, Walikota Bandung Ridwan Kamil telah mencanangkan salah satu program kerjanya adalah membangun sebanyak mungkin ruang publik. konsep ini dilatarbelakangi oleh target pembangunan kota yang lebih bertujuan meningkatkan nilai indeks kebahagiaan warga kota Bandung. Menurutnya, kondisi warga Bandung saat itu mengarah pada ciri kota yang sakit, dimana warganya enggan berinteraksi diluar rumah. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan ruang publik yang representatif. Latar belakangnya sebagai arsitek kota semakin memperkuat political will-nya ini.