Mohon tunggu...
Ofi Sofyan Gumelar
Ofi Sofyan Gumelar Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Warga Kota | Penikmat dan rangkai Kata

Today Reader Tomorrow Leader

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menelisik Suara DPD RI yang Nyaris Tak Terdengar

12 Juli 2015   11:18 Diperbarui: 12 Juli 2015   11:36 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai representasi wakil daerah yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, Senator DPD RI memiliki peranan yang sama pentingnya dengan mereka yang duduk sebagai anggota DPR RI. Tetapi mengapa sampai saat ini peran mereka terkesan hanya sebagai sub-ordinate DPR saja? Suara mereka terdengar sayup-sayup terselip oleh kegaduhan para anggota DPR RI yang penuh sensasi. Apa penyebabnya dan bagaimana cara menaikkan volume suara mereka?

Amandemen UUD 1945 pada tahun 2001 menjadi titik lahirnya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang merubah struktur ketatanegaraan di negara Indonesia. Di tingkat legislatif, kini terdapat dua dewan, yang dikenal dengan sistem bikameral (dua kamar ), DPD RI sebagai perwakilan rakyat untuk mewakili daerah (provinsi) di tingkat pusat, sedangkan DPR RI menjadi perwakilan rakyat dari jalur partai politik. Dalam proses pemilihannya, mereka yang mencalonkan diri sebagai wakil daerah, sama-sama dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum bersamaan dengan pemilihan anggota DPR RI.

[caption caption="Suasana Sidang DPD RI (Sumber: www.dpd.go.id)"][/caption]

Sebagai perwakilan rakyat di daerahnya masing-masing , anggota DPD RI memiliki wewenang untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan kepentingan daerah yang diwakilinya. Ini mencakup soal otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Layaknya DPR RI, para senator ini juga berhak mengajukan rancangan undang-undang terkait kewenangan mereka, membahasnya, memberi pertimbangan kepada DPR RI dan presiden, dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tersebut. Hanya saja DPD RI tidak memiliki kewenangan dalam fungsi dan alokasi anggaran seperti DPR RI. Mungkin hal inilah yang menjadi penyebab mereka tidak memiliki taring  tajam dibanding anggota dewan sebelahnya. Inilah yang menjadikan suara mereka nyaris tak terdengar. Padahal, perimbangan alokasi anggaran antara pusat dan daerah merupakan isu sentral selama ini. Ditambah lagi, kewenangan memutuskan RUU menjadi UU ada di tangan DPR RI. Kewenangan para senator hanya dalam hal pengajuan RUU, sementara urusan ketok palu ada ditangan DPR. Karena itu, bargaining positionnya dalam memperjuangkan hak daerah kemudian menjadi lemah.

Faktor lain yang menjadikan suara senator-senator tersebut nyaris tak terdengar mungkin karena tak adanya kepedulian terhadap suara mereka. siapa saja yang tidak peduli? Bisa saja saya atau anda juga sebagai rakyat yang diwakili mereka, pekerja media atau mungkin para senator DPD RI itu sendiri. Ketidakpedulian ini seperti menjalar dalam satu  mata rantai yang pada akhirnya semakin melemahkan suara mereka.

Mari kita ukur sejauh mana kepedulian kita terhadap peran DPD RI ini. Coba saja jawab pertanyaan simpel ini, tahukah anda anggota DPD RI yang mewakili daerah anda? Saya ragu anda bisa hapal semua wakil daerah anda. Saat saya tanyakan hal ini pada diri saya sendiri, saya hanya bisa mengangkat bahu. Saya hanya tahu selintas, ada dua pesohor yang lolos menjadi anggota DPD RI dari Jawa Barat. Oni SOS (pelawak dari grup SOS, temannya Sule) dan Aceng Fikri. Nama terakhir saya bilang pesohor karena mantan bupati Garut ini justru popular karena terguling akibat kasus nikah siri dengan anak dibawah umur.  Saya juga baru tahu kalau masing-masing provinsi ternyata diwakili oleh empat orang senator. Nah, dua senator Jabar lainnya saya sendiri tidak tahu. Bagaimana dengan anda?

Berikutnya, tahukah anda bagaimana kiprah wakil daerah anda selama ini? Sudahkah mereka turun ke daerah untuk menyerap aspirasi rakyat yang diwakilinya? Untuk dua pertanyaan ini, lagi-lagi saya menggelengkan kepala. Saya buta soal kiprah mereka. Bukan berarti mereka tidak pernah turun ke daerah, tapi saya tidak mendapat informasi soal itu. Kemudian, pernahkah anda menyampaikan aspirasi anda pada mereka? Nah untuk hal ini pun saya mengaku belum pernah. Bahkan untuk sekedar tahu kemana saya bisa menyampaikan keluhan saya saja, saya angkat tangan. Fakta ini saya yakin juga berlaku bagi anda.

Soal kenapa kiprah senator DPD RI tersebut tak bisa saya ketahui, mungkin kita bisa menunjuk pada media pers sebagai biang keladinya. Patut ditanyakan sejauh mana pers mengekspos suara anggota DPD RI ini. Selama saya berlangganan koran harian atau nonton berita di televisi, sangat jarang saya mendapatkan liputan soal anggota DPD RI ini. Kalaupun ada, paling hanya seorang Irman Gusman yang akitf tampil di berbagai media. Ia seperti one man show diantara 134 anggota DPD RI lainnya.

Bisa dimaklumi mengapa media seperti ‘malas’ mengulas kiprah mereka. Peran DPD RI yang sebatas mengurusi kepentingan daerah tidak cukup menarik perhatian pekerja media. Ini menyebabkan kipran senator kita tak terekspose, kalah oleh silih bergantinya isu yang bergulir di kamar sebelah yang seakan tidak pernah habis untuk dibahas.

Terakhir, bisa jadi suara DPD RI ini tidak terdengar lebih karena para senatornya sendiri yang kurang kurang eksis dalam menyampaikan suara mereka. Selain Irman Gusman, sangat jarang anggota DPD tampil di media. Bukan berarti tidak pernah, tapi karena intensitasnya mungkin sangat jarang sehingga tak bisa mengangkat suara mereka.

Bila terlalu sulit mengukur seberapa sering senator DPD RI sering tampil di ruang media, maka kita bisa lihat dari berapa banyak diantara mereka yang memiliki website pribadi. Bagi saya, personal website merupakan salah satu usaha mereka dalam mengekspose kinerja mereka, maupun dalam memberikan wadah untuk menampung aspirasi rakyat yang diwakilinya. Tercatat, dari semua anggota DPD RI tersebut, hanya 9 anggota yang memiliki website pribadi, mereka adalah Fahira Idris dan Daulami Firdaus dari DKI Jakarta, Anna Latuconsina dari Maluku, Baiq Diyah Ratu Ganefi dari Nusa Tenggara Barat, Abdullah Manaray dari Papua Barat, Aryanthi Baramuli Putrid an Maya Rumantri dari Sulawesi Utara, serta Irman Gusman dan Jeffrie Geovanie dari Sumatera Barat. Artinya hanya sekitar 7% dari semua senator yang menyadari pentingnya penggunaan website sebagai media komunikasi mereka. Sisanya?

[caption caption="Beberapa Personal Website Anggota DPD RI"]

[/caption]

Mengapa DPD RI Penting didengar?

Ada banyak alasan mengapa suara mereka begitu penting. Kini, posisi DPD RI boleh dibilang setara dengan DPR RI. Hal ini diperkuat dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK ) nomor 92/PUU-X/2012 pada tanggal 27 Maret 2013 yang memperkuat posisi DPD RI dalam sistem kelembagaan Negara. Kedudukannya yang setara dengan DPR RI ini harusnya bisa memberi senator power lebih besar dalam memperjuangkan aspirasi daerah. Tentu saja Ini bisa jadi harapan bagi daerah untuk memperjuangkan aspirasi mereka di tingkat pusat.

Urgensi peranan senator sangat diperlukan manakala kita melihat masih banyaknya persoalan dalam hal ketimpangan pembangunan di berbagai daerah. Tuntutan daerah agar pemerintah pusat memberikan proporsi lebih besar dalam hal bagi hasil pengelolaan sumber daya alam misalnya, menjadi tugas besar senator untuk memperjuangkannya. Kasus terkini bisa dilihat dalam hal pembagian porsi blok Mahakam yang hanya  memberi jatah 10% bagi Kalimantan Timur sebagai lokasi dimana blok Mahakam berada, atau lihat saja bagaimana Papua masih dirundung kemiskinan biarpun memiliki tambang emas Freeport. Ini menjadi pekerjaan rumah penting yang  masih perlu diperjuangkan oleh para senator tersebut.

Harapan masyarakat terhadap peran penting DPD RI bisa dilihat dari salah satu survey LSI pada tahun 2012. Menariknya, meskipun secara personal para senator ini banyak yang tidak dikenal, akan tetapi masyarakat sendiri menaruh harapan tinggi terhadap mereka. Mungkin ini survey lama, tapi saya yakin masih relevan sampai saat ini. Survey ini menyoroti persepsi masyarakat terhadap peningkatan peran dan wewenang DPD RI untuk ikut memutuskan  Undang-Undang, RAPBN dan pengangkatan pejabat public penting (kapolri, Panglima TNI, Gubernur BI, dan Hakim Agung). Meurut hasil survey LSI ini, mayoritas responden mengharapkan agar DPD RI memiliki peranan yang lebih besar di banding hanya sebatas mengusulkan Undang-undang saja, tanpa memiliki kewenangan untuk ikut memutuskan. Kini harapan tersebut mendapat momentum dengan adanya amar keputusan MK yang memberi ruang lebih bagi DPD RI untuk ikut berperan serta.

[caption caption="Survey Peluang dan Harapan DPD RI (Sumber: www.lsi.or.id)"]

[/caption]

[caption caption="Survey Peluang dan Harapan DPD RI (Sumber: www.lsi.or.id)"]

[/caption]

[caption caption="Survey Peluang dan Harapan DPD RI (Sumber: www.lsi.or.id)"]

[/caption]

Sejalan dengan survey diatas, Survey LSI yang dirilis bulan Januari 2015 mengenai persepsi publik terhadap kinerja partai politik menjadi peluang bagi DPD RI untuk mendapatkan tempat di hati publik. Salah satu temuan survey ini adalah adanya adanya skeptisme masyarakat terhadap kiprah partai politik selama ini. Partai politik dinilai lebih banyak memperjuangkan kepentingan sendiri untuk mendapat kekuasaan ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat.

[caption caption="Survey Partai Politik di Mata Publik (Sumber: www.lsi.or.id)"]

[/caption]

Berdasarkan hasil temuan kedua survey diatas, terlihat bahwa rakyat sebenarnya menaruh harapan yang tinggi pada para senator di senayan tersebut untuk menjadi pejuang kepentingan mereka yang tidak terakomodir dalam partai politik. Pada titik ini, DPD RI bisa tampil ke depan untuk merangkul suara rakyat dan mengadvokasi kepentingan mereka pada tingkat parlemen.

Saatnya DPD RI lebih didengar

Dengan melihat kewenangan serta adanya harapan masyarakat kepada para senator tersebut, sudah saatnya kini suara DPD RI lebih didengar. Hasil dua survey LSI diatas bisa menjadi modal penting bagi para senator untuk lebih serius memperjuangkan kepentingan daerahnya. Soal integritas, rasanya laporan BPK RI yang mengganjar DPD RI dengan label WTP (Wajar tanpa pengecualian) 9 kali berturut-turut menjadi bukti para anggota DPD RI ini relatif bersih dibanding kamar sebelahnya. Ini bisa menjadi  poin lebih bagi mereka. Soal kinerja? Dari release DPD RI tahun 2014, kiprah DPD RI selama 10 tahun terakhir yang telah menghasilkan 494 keputusan menjadi bukti produktivitas mereka tidak bisa diragukan lagi (sumber: disini).

Langkah awal untuk membuat suara DPD RI lebih didengar adalah dengan merubah image mereka selama ini. Persepsi publik yang memandang DPD RI sebagai sub-ordinate DPR perlu dirubah, karena memang secara legal posisi mereka adalah setara. Soal persepsi ini, dalam dunia politik ia memegang peranan sangat penting untuk mengarahkan perhatian masyarakat pada seorang politisi. Al Ries, pakar komunikasi publik,  pernah mengatakan bahwa perception is more important than reality, and sometimes the perception is reality.

Kemudian, dengan membaca dua hasil survey LSI diatas, ini adalah momen yang sangat tepat bagi semua senator untuk membangun personal brand yang terpercaya (trustworthy) di mata publik. Jika masing-masing senator ini memiliki personal brand yang trustworthy, secara bersamaan akan terbentuk collective brand DPD RI yang terpercaya.  

Salah satu langkah untuk membentuk personal brand yang terpercaya tersebut, para senator sudah saatnya sering tampil di berbagai media. Tidak bisa dipungkiri, media memegang peranan penting bagi seseorang dalam melakukan komunikasi publik. Tentu saja, untuk mengkomunikasikan personal brand ini bukan perkara instan, ia butuh waktu yang lumayan lama. Kuncinya adalah intensitas mereka eksis di berbagai media tersebut haruslah tinggi. Sering-seringlah tampil di televisi, eksis di surat kabar, mengelola personal website, serta menjalin komunikasi dengan konstituennya dengan menggunakan berbagai media sosial. Tentu bukan sembarang tampil, mereka juga harus bisa ikut mengkritisi isu yang berkembang sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya. Soal ini, saya percaya mereka memiliki kompetensi yang sama moncernya dengan para anggota DPR RI. Jadi, ini hanya soal bagaimana memanfaatkan media untuk bisa meningkatkan brand image saja.

Sangat mudah mencari contoh betapa efektifnya media dalam membangun persepsi publik. Karier Joko Widodo yang bermula dari Walikota solo, kemudian menjadi Gubernur Jakarta dan kini menjadi Presiden Indonesia adalah efek menjadi media darling. Demikian pula dengan Ridwan kamil yang berhasil menjadi walikota Bandung karena kepiawaiannya mengelola media social dalam mengkomunikasikan program-programnya. Ini bisa menjadi contoh bagaimana senator kita bisa merebut hati masyarakat.

Kesimpulannya, bagaimana membuat suara DPD RI tersebut didengar adalah soal bagaimana kemauan mereka untuk keluar kandang, mengkomunikasikan kiprah mereka selama ini serta bagaimana menjembatani aspirasi rakyat didaerahnya untuk bisa menjadi isu penting di tingkat pusat. Salah satu kuncinya adalah dengan memanfaatkan pers maupun media sosial secara efektif dalam membangun personal brand mereka yang terpercaya di mata publik. Pertanyaannya, mau nggak?

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun