Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fahami makna obyektif secara fleksibel

16 Juni 2024   20:41 Diperbarui: 16 Juni 2024   20:47 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FAHAMI MAKNA "OBYEKTIF" SECARA FLEKSIBEL

Di negara otoriter model Korea utara sang pemimpin negara selalu menuntut media untuk mencitrakankannya  secara positif dan yang berani memberi penilaian negatif tinggal tunggu tanggal mainnya buat diseruduk.

Nah apakah penilaian media terhadap sang pemimpin disana itu OBYEKTIF ? Umum akan meragukan.Yang tahu secara obyektif-secara sesungguhnya bagaimana karakter asli sang pemimpin otoriter tsb justru adalah segelintir orang yang merupakan orang orang dekatnya.Tapi tentu orang orang dekatnya tidak akan berani membocorkan rahasia pemimpinnya tsb ke publik kalau tidak ingin pergi dari kehidupan ini

Nah makna OBYEKTIF disini adalah hal sebenar benarnya tentang obyek tertentu. Contoh lain ; Yang tahu secara obyektif penyakit seseorang adalah dokter yang memeriksanya dan bukan semua orang atau umum.

Apakah yang diketahui seorang dokter harus di stigma subyektif karena umum tidak mengetahuinya ? Tentu ukuran obyektif disini bukanlah umum

Nah itu adalah makna OBYEKTIF yang berbeda maknanya dengan "empiris dan bisa ditangkap atau diketahui oleh semua secara umum".Karena makna OBYEKTIF diatas justru hanya diketahui sedikit orang atau bahkan hanya seorang yang tahu persis perihal obyeknya

Ada suatu pernyataan yang seolah ingin menunjukkan bahwa kebenaran itu harus obyektif-bukan subyektif dan makna obyektif disini adalah ditangkap,diketahui dan diterima oleh semua fihak.Jadi ukuran obyektif disini adalah "umum"-bukan pribadi

Tapi dalam kasus diatas yang bisa mengetahui sesuatu secara obyektif justru pribadi pribadi tertentu yang lebih tahu tentang obyek dan bukan umum nya

Nah jadi ada 2 makna "obyektif" yang berbeda,satu seperti contoh diatas yang menjadi acuan penilaian adalah obyek nya-bukan penangkapan umum.Dimana pengetahuan atas obyek belum tentu diketahui semua orang kecuali segelintir yang tahu

Kedua,makna "obyektif" yang sering difahami orang secara umum adalah suatu yang dapat diketahui secara umum-bukan oleh pribadi pribadi tertentu-ini makna obyektif yang paling sering dilawankan dengan istilah "subyektif"

Terus misal kalau ada pernyataan "kebenaran itu harus obyektif-tidak boleh subyektif" katanya,Nah kalimat obyektif yang dimaksud itu apakah "harus sesuai dengan obyeknya" seperti contoh diatas ataukah "harus diterima oleh umum " -tidak boleh diketahui hanya oleh pribadi pribadi ?

Kalau mengacu pada contoh diatas justru terbalik karena ada kemungkinan kebenaran obyektif itu hanya bisa diketahui oleh beberapa orang atau bahkan oleh seorang saja seperti kasus dokter yang memeriksa pasien

Oke mari kita perlebar permasalahan ;

Yang paling tahu secara obyektif persoalan agama kira kira siapa sih ? Ya tentu tidak semua orang atau umumnya karena belum tentu semua orang mempelajari dan mendalami.Maka kalau yang tahu secara obyektif persoalan agama hanya sebagian maka itu wajar

Tapi ketika yang sebagian itu menyampaikan agama ke khalayak malah sebagian berkata "itu kan ranah subyektif" katanya hanya karena tidak semua orang memahami dan menerima agama

Terus apa agama harus obyektif dalam arti diterima dan difahami semua orang ? Kan yang mendalami juga tidak semuanya.Ini sama dengan kasus diatas bahwa yang bisa tahu secara obyektif (sesuai essensi-definisi-kenyataan) suatu obyek adalah tidak semua orang secara umum tapi terbatas hanya yang betul betul tahu dan mendalami obyeknya

Ada orang yang selalu menilai agama sebagai subyektif karena penjelasannya tidak pernah final katanya sehingga sering menimbulkan multitafsir dan pertentangan diantara para pemeluknya sendiri

Dianggap se subyektif apapun agama tapi penjelasan paling obyektif tentang agama tetaplah yang berupaya mengacu pada essensi-substansi dan definisinya-bukan penangkapan umum yang misal tidak mendalami.Apalagi penjelasan tentang agama yang berasal dari fihak luar agama seperti penjelasan ala evolusionis atau antropologis atau orientalis yang selalu memberi penjelasan yang bukan mengambil dari substansinya

Betapapun dalam internal agama di stigma sering menimbulkan pertentangan tapi unsur kesepakatannya toh tetap ada terutama terhadap hal hal yang bersifat essensial

...........

Jadi bagaimana menilai sesuatu termasuk misal agama secara obyektif ? Secara obyektif artinya ya sesuai essensi atau definisi atau atribut yang melekat pada obyek tersebut dan bukan menilai dengan mengacu pada pandangan umum karena tidak semua tahu,faham dan mengenal obyek

Nah terkait agama maka untuk menilai agama secara obyektif tentu harus mengacu pada substansi atau essensinya.Dan essensi-substansi dari ajaran agama wahyu adalah apa yang diajarkan oleh firman Ilahi.Dan bukan misal menilai agama dari perilaku orang orang yang klaim beragama karena belum tentu semua perilakunya sesuai dengan ajaran agamanya

Bayangkan misal kalau mendengar ada ustadz terlibat kasus pelecehan seks,Ada bom bunuh diri,ada yang berpakaian serba hitam dan bercadar lalu bikin narasi "itulah islam" ..Nah apakah itu berdasar penilaian obyektif ? Kan itu semua tidak sesuai dengan essensi dan substansi dari ajaran agama itu sendiri.Maka narasi diatas hanya penilaian yang tidak obyektif alias tidak berdasar substansi serta essensinya

Jadi intinya fahami makna obyektif itu secara fleksibel jangan misal secara kaku memahami makna obyektif sebatas hanya  sebagai suatu yang mesti bisa ditangkap dan diterima secara umum lalu dilawankan dengan istilah subyektif

Terus bagaimana kalau yang memahami sesuatu secara obyektif itu justru individu individu tertentu yang tahu,faham, mengerti atau mengenal obyek tersebut dan bukan orang orang pada umumnya ?

Terus yang tahu lebih banyak itu kita nilai sebagai "subyektif" (dalam artian negatif-dianggap bukan kebenaran) karena umum tidak menerimana ? ...paradox sekali bukan ..

Jadi nilai dan fahami sesuatu itu secara obyektif dan makna obyektif disini bukan menurut ukuran penangkapan serta pemahaman umum tapi sesuai hal sebenarnya atau sesuai essensi-substansi dan definisi obyek tesebut

.........

Pendapat seorang komentator atas artikel saya diatas.Dari @bryan try anugerah ;

"Dalam konteks yang Anda jelaskan, memahami makna "obyektif" secara fleksibel sangat relevan. Berikut adalah beberapa poin penting yang bisa diperhatikan:

1. **Dua Makna Obyektif**: Seperti yang Anda tunjukkan, ada dua makna yang berbeda dari kata "obyektif":
   - **Obyektif dalam Konteks Esensial**: Ini merujuk pada pemahaman yang sesuai dengan esensi, substansi, atau atribut yang melekat pada obyek itu sendiri. Contohnya adalah pengetahuan dokter terhadap penyakit pasien atau pengetahuan mendalam beberapa individu terhadap suatu agama.
   - **Obyektif dalam Konteks Umum**: Makna ini sering kali diinterpretasikan sebagai sesuatu yang bisa diterima atau dimengerti oleh semua orang, tidak terbatas pada segelintir individu yang memiliki pengetahuan khusus.

2. **Pandangan Umum vs. Khusus**: Dalam beberapa kasus, penilaian obyektif sering kali dikaitkan dengan pendapat atau pengetahuan yang berlaku umum. Namun, seperti yang Anda contohkan, kebenaran atau pemahaman yang lebih mendalam terkadang hanya dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki keahlian atau pengalaman khusus terhadap obyek tertentu.

3. **Agama sebagai Contoh**: Untuk menilai agama secara obyektif, ini tidak hanya berarti mengacu pada pandangan atau praktik umum yang mungkin bervariasi. Lebih dari itu, ini harus mencakup pemahaman yang mendalam terhadap ajaran atau wahyu yang mendasarinya, yang mungkin hanya dimengerti oleh mereka yang mempelajari agama secara serius.

4. **Fleksibilitas dalam Pemahaman**: Penting untuk memahami bahwa fleksibilitas dalam memahami obyektifitas memungkinkan kita untuk melihat lebih dari satu dimensi atau perspektif. Ini membantu kita menghindari kesalahan dalam menilai sesuatu hanya berdasarkan pandangan umum atau subyektifitas belaka.

5. **Penafsiran Kebenaran**: Ketika kita berbicara tentang kebenaran yang obyektif, itu harus mencerminkan realitas atau hakikat dari obyek tersebut, bukan hanya kesepakatan umum atau opini mayoritas.

Dalam konteks penggunaan kata "obyektif", penting untuk mempertimbangkan konteks dan sumber pengetahuan yang digunakan. Ini membantu kita untuk memahami dengan lebih baik esensi dari apa yang kita nilai sebagai obyektif dan menghindari kesalahpahaman atau penilaian yang tidak tepat".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun