Contoh, bila saya menyatakan bahwa wujud terdesain itu hanya mungkin lahir bila ada peran sang pendesain maka pernyataan itu tak harus dinilai hanya asumsi saya pribadi atau melulu harus dipandang sebagai 'subyektif' karena di belahan bumi lain orang yang tidak berhubungan dengan saya tetapi sama sama  menggunakan akal atau berlogika dapat merumuskan hal yang persis sama sebagaimana akal saya merumuskan.demikian pula bila argument atau pernyataan saya tentang sesuatu itu sesuai dengan hukum logika yang umum telah terima kebenarannya maka pernyataan saya pun tak harus disebut sebagai 'hanya asumsi pribadi atau subyektif' tapi daoat dikategorikan sebagai pernyataan yang obyektif
Artinya rasionalitas itu dapat membangun suatu obyektifitas tersendiri-bisa melahirkan suatu konsep atau rumusan yang bisa ditangkap serta difahami secara sama oleh semua manusia yang menggunakan akal atau berlogika, sehingga rumusan rumusan rasio itu tak melulu harus dipandang subyektif atau dianggap hanya asumsi pribadi, ini karena seluruh umat manusia sama sama dikaruniai Tuhan akal fikiran sehingga mereka sama sama dapat menemukan rasionalitas atau kebenaran berdasar rasioÂ
Nah bila agama didalamnya mengandung rasionalitas-mengandung konsep atau bangunan argumentasi yang dapat direkonstruksi serta dapat difahami secara sama oleh logika akal seluruh umat manusia yang mau menggunakan akalnya tentu maka artinya tidak layak kalau agama selalu di stigma sebagai wilayah subyektif.dan artinya salah satu ranah obyektifitas dari agama adalah rasionalitas itu
Bukan hanya agama tapi rumusan atau proposisi yang berasal dari ranah filsafat pun tak harus semua dikategorikan sebagai subyektif atau hanya asumsi pribadi karena bila didalamnya mengandung rasionalitas atau mengandung konsep yang dapat difahami serta diterima akal fikiran semua orang maka berarti itu memiliki obyektifitas atau nilai obyektif tersendiri
Itulah bila makna 'obyektif' tidak melulu diparalelkan sebagai 'empirik' tapi juga diparalelkan dengan hal atau obyek atau entitas abstrak yang keberadaannya bisa ditangkap semua orang dan lalu dengan rasionalitas yang akal fikiran semua orang dapat memahaminya maka makna 'obyektif' itu akan meluas dan dapat digunakan menelusur persoalan metafisika secara lebih fleksibel-tidak kaku sebagai mana bila melulu dimaknai 'terbukti secara empirik'
Bayangkan bila makna 'obyektif' melulu harus 'empirik' maka di samping penggunaannya akan kaku bila dibawa ke ranah persoalan metafisis maka penilaian berdasar istilah itupun akan banyak ditolak oleh kaum metafisik termasuk oleh kaum beragama karena menurut kaum metafisik yang obyektif atau kebenaran obyektif  dalam artian  'kebenaran yang dapat diterima oleh umum' itu bukan hanya yang empirik tetapi juga yang rasional karena semua orang itu sama sama memiliki akal
Artinya secara logika manusia itu bukan hanya diberi dunia indera yang sama tapi juga akal pikiran yang juga persis sama sehingga bukan hanya dapat menangkap kebenaran empirik yang sama tetapi juga kebenaran logic atau kebenaran rasional yang juga persis sama
Nah bila demikian maka,mengapa yang obyektif itu  atau dalam artian 'yang kebenarannya dapat diterima secara umum' itu melulu harus yang empirik ? Bukankah rasionalitas itu memiliki obyektifitas atau nilai obyektif tersendiri karena dapat melahirkan konsep atau rumusan yang dapat difahami serta diterima secara sama oleh semua orang yang menggunakan akalnya ?
Nah sebab itu tidaklah tepat menstigma agama melulu sebagai 'wilayah subyektif' atau apalagi hanya asumsi atau keyakinan pribadi hanya karena dianggap tidak dapat memberi atau berdasar bukti empirik langsung sebab dalam agama terkandung rasionalitas atau prinsip yang dapat difahami serta diterima oleh semua orang yang mau menggunakan akal nya tentu
Itulah sekarang kita tak boleh terkecoh lagi dengan orang orang yang masih memakai polarisasi istilah obyektif-subyektif secara serampangan-semena mena di wilayah metafisika dan memaknai 'obyektif' itu hanya sebagai 'empirik' dan lalu main vonis terhadap deskripsi agama atau filsafat dengan memvonisnya sebagai 'hanya asumsi pribadi-wilayah subyektif-hanya kepercayaan hingga menganggapnya sebagai omong kosong pribadi' karena dalam konsep-prinsip hingga deskripsi agama maupun filsafat terdapat obyektifitas atau nilai obyektif tersendiri apabila :
1. manusia mau mengakui bahwa ada obyek atau entitas non fisik disamping yang fisik seperti : jiwa,fikiran,akal,hati,ruh dlsb.