Seperti yang telah saya tulis dalam artikel sebelumnya bahwa salah satu efek negatif dari istilah obyektif-subyektif adalah ketika polarisasi demikian digunakan untuk melihat -menelusur serta merumuskan persoalan persoalan metafisik
Karena di dunia sains (dunia ilmu fisik) makna 'obyektif' itu kadung diparalelkan dengan 'empirik' dan diartikan sebagai 'kebenaran umum yang dapat di inderai semua orang' maka hasil yang diperoleh ketika istilah itu digunakan di dunia metafisik adalah : proposisi-rumusan hingga keyakinan metafisik semua seolah tertolak sebagai kebenaran, tertolak sebagai wilayah ilmu dan hanya di posisikan sebagai 'asumsi-wacana' bahkan sebagian menyebutnya sebagai 'omong kosong metafisis karena dianggap tidak berdasar obyektifitas alias tidak berdasar bukti empirik langsung yang dapat di inderai
Itulah bila makna 'obyektif-obyektifitas' Â hanya memiliki satu makna serta definisi tunggal yaitu 'empirik' atau 'dapat masuk kedalam pengalaman dunia indera semua orang-secara sama-secara umum', maka yang tidak obyektif atau yang berasal dari wilayah pengalaman pribadi lantas tertolak sama sekali sebagai bagian dari wilayah keilmuan dan kebenaran
Padahal sebagaimana yang telah saya sebut bahwa ilmu serta kebenaran itu bila di polarisasi kedalam definisi istilah obyektif-subyektif maka satu kaki akan berada di wilayah obyektif dan satu kaki akan berada di wilayah subyektif,artinya baik obyektifitas maupun subyektifitas itu sama sama memiliki nilai kebenaran tersendiri yang sah secara keilmuan
Artinya,karena keterbatasan inderawi manusia itu sendiri maka mustahil seluruh kebenaran itu bisa obyektif-bisa berwujud sesuatu yang langsung dapat ditangkap secara sama secara umum seperti umum menangkap secara sama bahwa api itu panas. artinya akan ada bagan dari kebenaran yang menyelinap masuk ke wilayah pengalaman pribadi atau ke wilayah subyektif
Nah bila telah tahu bahwa indera serta pengalaman yang dapat diperoleh dunia indera itu sangat terbatas maka tidak relevan bila istilah 'obyektif' itu digunakan secara universal ke semua arah, ke dan di ranah dunia fisik dan juga ke serta di ranah dunia metafisik karena istilah itu sendiri paralel dengan keterbatasan manusia.
Apalagi bila makna 'obyektif' itu dimaknai secara tunggal sebagai 'terbukti secara empirik' maka sudah pasti istilah itu hanya bisa berlaku di ranah dunia fisik seperti sains dan tidak bisa berlaku di ranah dunia metafisik karena ranah ilmu metafisik itu berbicara tentang obyek atau entitas yang memang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa di empirikkan
Nah sebab itu bila masih kukuh ingin memakai polarisasi obyektif-subyektif atau khususnya ingin menggunakan istilah 'obyektif' di wilayah ilmu metafisika maka makna istilah 'obyektif' itu harus di dekonstruksi terlebih dahulu-harus dirubah maknanya,jangan bermakna tunggal sebagai 'terbukti secara empirik' tapi katakanlah diganti maknanya dengan : 'bisa difahami,dimengerti serta diterima oleh banyak fihak secara umum tanpa harus terbukti secara empirik'
Karena sebagai contoh, dalam realitas kehidupan yang bersifat menyeluruh kita sebagai umat manuasia banyak menemukan obyek atau entitas abstrak yang diyakini bersama adanya tapi tidak dapat diempirikkan misal adanya fikiran,akal budi,kalbu,cinta kasih sayang,kebahagiaan dlsb.
Artinya semua obyek abstrak tersebut walau tak bisa di empirikkan karena merupakan wujud atau entitas non fisik tapi keberadaannya merupakan suatu yang dapat difahami serta dapat diyakini bersama sehingga memiliki obyektifitas atau nilai obyektif tersendiri.siapa bilang misal bila saya mengatakan tentang adanya fikiran, akal, hati, cinta dlsb. itu merupakan asumsi saya sendiri atau hanya berdasar pengalaman saya sendiri
Demikian pula dengan rasionalitas atau hal hal yang dapat ditangkap serta difahami oleh akal fikiran manusia itu dapat memiliki obyektifitas atau nilai obyektif tersendiri dan tak melulu harus dianggap sebagai 'asumsi pribadi' dan karenanya harus selalu masuk wilayah subyektifitas
Contoh, bila saya menyatakan bahwa wujud terdesain itu hanya mungkin lahir bila ada peran sang pendesain maka pernyataan itu tak harus dinilai hanya asumsi saya pribadi atau melulu harus dipandang sebagai 'subyektif' karena di belahan bumi lain orang yang tidak berhubungan dengan saya tetapi sama sama  menggunakan akal atau berlogika dapat merumuskan hal yang persis sama sebagaimana akal saya merumuskan.demikian pula bila argument atau pernyataan saya tentang sesuatu itu sesuai dengan hukum logika yang umum telah terima kebenarannya maka pernyataan saya pun tak harus disebut sebagai 'hanya asumsi pribadi atau subyektif' tapi daoat dikategorikan sebagai pernyataan yang obyektif
Artinya rasionalitas itu dapat membangun suatu obyektifitas tersendiri-bisa melahirkan suatu konsep atau rumusan yang bisa ditangkap serta difahami secara sama oleh semua manusia yang menggunakan akal atau berlogika, sehingga rumusan rumusan rasio itu tak melulu harus dipandang subyektif atau dianggap hanya asumsi pribadi, ini karena seluruh umat manusia sama sama dikaruniai Tuhan akal fikiran sehingga mereka sama sama dapat menemukan rasionalitas atau kebenaran berdasar rasioÂ
Nah bila agama didalamnya mengandung rasionalitas-mengandung konsep atau bangunan argumentasi yang dapat direkonstruksi serta dapat difahami secara sama oleh logika akal seluruh umat manusia yang mau menggunakan akalnya tentu maka artinya tidak layak kalau agama selalu di stigma sebagai wilayah subyektif.dan artinya salah satu ranah obyektifitas dari agama adalah rasionalitas itu
Bukan hanya agama tapi rumusan atau proposisi yang berasal dari ranah filsafat pun tak harus semua dikategorikan sebagai subyektif atau hanya asumsi pribadi karena bila didalamnya mengandung rasionalitas atau mengandung konsep yang dapat difahami serta diterima akal fikiran semua orang maka berarti itu memiliki obyektifitas atau nilai obyektif tersendiri
Itulah bila makna 'obyektif' tidak melulu diparalelkan sebagai 'empirik' tapi juga diparalelkan dengan hal atau obyek atau entitas abstrak yang keberadaannya bisa ditangkap semua orang dan lalu dengan rasionalitas yang akal fikiran semua orang dapat memahaminya maka makna 'obyektif' itu akan meluas dan dapat digunakan menelusur persoalan metafisika secara lebih fleksibel-tidak kaku sebagai mana bila melulu dimaknai 'terbukti secara empirik'
Bayangkan bila makna 'obyektif' melulu harus 'empirik' maka di samping penggunaannya akan kaku bila dibawa ke ranah persoalan metafisis maka penilaian berdasar istilah itupun akan banyak ditolak oleh kaum metafisik termasuk oleh kaum beragama karena menurut kaum metafisik yang obyektif atau kebenaran obyektif  dalam artian  'kebenaran yang dapat diterima oleh umum' itu bukan hanya yang empirik tetapi juga yang rasional karena semua orang itu sama sama memiliki akal
Artinya secara logika manusia itu bukan hanya diberi dunia indera yang sama tapi juga akal pikiran yang juga persis sama sehingga bukan hanya dapat menangkap kebenaran empirik yang sama tetapi juga kebenaran logic atau kebenaran rasional yang juga persis sama
Nah bila demikian maka,mengapa yang obyektif itu  atau dalam artian 'yang kebenarannya dapat diterima secara umum' itu melulu harus yang empirik ? Bukankah rasionalitas itu memiliki obyektifitas atau nilai obyektif tersendiri karena dapat melahirkan konsep atau rumusan yang dapat difahami serta diterima secara sama oleh semua orang yang menggunakan akalnya ?
Nah sebab itu tidaklah tepat menstigma agama melulu sebagai 'wilayah subyektif' atau apalagi hanya asumsi atau keyakinan pribadi hanya karena dianggap tidak dapat memberi atau berdasar bukti empirik langsung sebab dalam agama terkandung rasionalitas atau prinsip yang dapat difahami serta diterima oleh semua orang yang mau menggunakan akal nya tentu
Itulah sekarang kita tak boleh terkecoh lagi dengan orang orang yang masih memakai polarisasi istilah obyektif-subyektif secara serampangan-semena mena di wilayah metafisika dan memaknai 'obyektif' itu hanya sebagai 'empirik' dan lalu main vonis terhadap deskripsi agama atau filsafat dengan memvonisnya sebagai 'hanya asumsi pribadi-wilayah subyektif-hanya kepercayaan hingga menganggapnya sebagai omong kosong pribadi' karena dalam konsep-prinsip hingga deskripsi agama maupun filsafat terdapat obyektifitas atau nilai obyektif tersendiri apabila :
1. manusia mau mengakui bahwa ada obyek atau entitas non fisik disamping yang fisik seperti : jiwa,fikiran,akal,hati,ruh dlsb.
2. mengakui adanya rasionalitas atau kebenaran berdasar akal yang dapat difahami serta diterima bersama sebagai kebenaran
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI