Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Materialis Ada di Mana-mana, di Pengadilan, di Dunia Sains dan Filsafat

14 November 2019   19:33 Diperbarui: 14 November 2019   19:49 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Images : VoxNtt.com

Dalam sidang pengadilan kopi Mirna hakim memvonis Jessica dengan hukuman 20 tahun penjara.padahal tak ada bukti empirik langsung yang memperlihatkan terdakwa menaruh sesuatu kedalam gelas yang diminum korban

Pengacara terdakwa pun mempermasalahkan hal ini,dan dijadikan sebagai salah satu poin pembelaan utama. lalu,mengapa hakim tetap menjatuhkan vonis bersalah ?

Jawabnya adalah : karena hakim telah bermain logika.dari potongan potongan bukti empirik yang terserak yang tiba di pengadilan hakim membuat rekonstruksi berdasar logika lalu memutuskan terdakwa bersalah walau tak ada bukti empirik langsung terdakwa telah menaruh racun

Dengan kata lain,ini adalah putusan yang dibuat oleh akal,ketika permasalahan tidak memiliki atau kekurangan bukti empirik langsung.artinya akal memiliki kekuatan untuk memutuskan benar atau salah tanpa bergantung secara mutlak pada bukti empirik langsung

Dan memang para pelaku kriminal akan banyak yang lolos dari pengadilan kalau pengadilan memberlakukan 'prinsip empirisme' yaitu kesalahan terdakwa harus terbukti secara empirik langsung karena jarang ada yang melihat tindakan kejahatan dan lalu langsung merekamnya dengan kamera

(saya pernah menulis bahwa pada pengadilan kopi Mirna ada pertarungan antara golongan empirik-yang melulu minta bukti empirik yang utuh-komplit dan golongan rasional yang menganggap cukup dengan menggunakan logika logika)

Nah lalu bagaimana dengan fihak fihak yang terhadap segala hal-permasalahan ngotot  harus selalu berdasar atau menyertakan bukti empirik langsung agar dapat dinilai benar atau ilmiah ?

Masalahnya adalah,bukan hanya di pengadilan yang selalu berhadapan dengan bukti empirik kejahatan yang tidak komplit, di dunia sains pun demikian. ketika sains kekurangan bukti empirik otentik yang langsung (dapat ditangkap dunia inderawi) maka mereka jatuh kepada berhipotesa lalu lahir teori teori yang berdasar hipotesa karena ketiadaan bukti empirik langsung itu.ini terjadi misal dalam kasus teori evolusi Darwin.dalam teori Darwin saintis berhipotesa tentang manusia yang ber evolusi dari makhluk sejenis primata

Tapi celakanya sebagian menyangka itu bukti empirik langsung lalu membenturkannya dengan agama padahal hakikatnya cuma teori hipotetik-berdasar hipotesa

Nah terhadap hipotesa hipotesa semacam teori Darwin pun logika akal harus ikut dimainkan. misal dengan mengajukam pertanyaan : bila sejenis primata ber evolusi menjadi manusia,lalu kenapa jenis primata yang lain memilih tetap menjadi primata padahal tantangan alam yang mereka alami toh tidak jauh berbeda atau malah sama saja

Nah,terhadap kasus kasus yang tidak menyertakan bukti empirik langsung itulah akal harus ikut bermain agar manusia tidak disesatkan oleh dugaan dugaan atau hipotesa hipotesa yang berkembang

Sehingga akal lalu dapat memutus sesuatu yang tanpa bukti empirik memadai itu memiliki nilai kebenaran atau tidak,layak dipercaya atau tidak

Artinya bahwa dalam segala suatu hal dalam kehidupannya manusia akan selalu berhadapan dengan hal hal yang tidak disertai bukti empirik langsung yang memadai.ini terjadi misal dalam dunia sains-filsafat-agama atau dalam pengalaman sehari hari tiap individu dan untuk berhadapan hal-situasi seperti itu sudah terbiasa bila lalu manusia mengasah akal-bermain logika

Karena untuk itulah akal diciptakan Tuhan dan ditanam dalam jiwa yaitu untuk melapis kelemahan serta keterbatasan dunia inderawi.dan ini yang membedakan kualitas manusia dengan hewan

Hewan adalah makhluk yang bergantung sepenuhnya secara mutlak pada dunia panca inderawinya,mereka tak bisa berfikir tentang hal abstrak dibalik yang fisik kecuali berdasar naluri

Kalau seekor kucing mendapati anaknya mati maka ia tak bisa membuat analisis penyebabnya juga tak bisa memikirkan kemungkinan siapa pembunuhnya karena tidak tertanam akal dalam fikirannya

Nah dalam agama penggunaan akal lebih kompleks karena disini manusia dilatih berhadapan dengan hal hal abstrak-gaib-yang tanpa bukti empirik langsung.beda dengan dalam sains dimana akal bermain diantara obyek obyek empirik

Itu sebab wilayah agama disebut 'wilayah keyakinan' karena disini manusia dihadapkan kepada hal hal yang essensinya bersifat non empirik. tapi itulah terhadap agama pun kaum materialist memberlakukan standar yang sama yang berlaku dalam sains yaitu : harus berdasar bukti empirik langsung ! untuk dapat diterima sebagai kebenaran. padahal agama bukan sepenuhnya obyek sains,sebagian besarnya adalah konsumsi akal (untuk memahami rasionalitas semesta kehidupan secara menyeluruh) dan konsumsi hati (sebagai bahan untuk direnungi misal dalam rangka mencari pendalaman makna makna).

Sehingga menggiring agama melulu ke wilayah empiris adalah 'tindakan tak beradab'-jahiliyyah-memperlihatkan kebodohan akal karena menggiring atau membawa sesuatu bukan pada tempatnya

Dengan kata lain,bagaimana dengan orang orang yang dalam segala suatu hal bergantung sepenuhnya pada bukti empirik-selalu orientasi pada prinsip empirisme-selalu meminta bukti empirik langsung,apakah ketika berhadapan dengan kasus kriminal di pengadilan atau bahkan ketika mereka berhadapan dengan agama ?

Kalau menurut kitab suci mereka disebut sebagai orang orang yang tak berakal atau tak mau menggunakan potensi SDM akalnya 

Dan artinya, manusia yang dalam segala hal orientasi sepenuhnya hanya pada dunia empirik maka kualitas nya hampir sederajat dengan hewan

Padahal dengan diberinya akal itu Tuhan berkehendak agar manusia dapat melampaui SDM dunia panca inderawinya dan dapat menangkap serta memahami hal non fisik dibalik yang fisik atau memahami hal hal yang metafisis secara konstruktif

Tapi coba bayangkan saat ini kaum materialist dengan sesuka hati memvonis konsep konsep metafisika dan termasuk konsep yang lahir dari agama sebagai gagasan khayali-omong kosong karena dianggap tak memberi bukti apapun, karena bukti ilmiah yang mereka inginkan ya itu ... bukti empirik langsung !

Dan materialist anti rasionalitas itu ada dimana mana di berbagai lapisan masyarakat-di berbagai profesi dan berbagai bidang keilmuan.ada di dunia pengadilan (mereka-abdi hukum yang melulu mengharuskan pembuktian kejahatan harus berdasar bukti empirik langsung),di dunia sains misal kaum materialist ilmiah yang menafsir hasil sains selalu ke arah materialisme dan juga dalam dunia filsafat yaitu para failosof yang merendahkan atau menafikan konsep konsep metafisis yang telah dibangun secara susah payah oleh para metafisikus klasik yang diantaranya ada yang memiliki nilai rasionalitas tersendiri atau failosof yang menolak begitu saja bukti bukti logis yang dibangun yang dipandang tak berdasar bukti empirik langsung

Karena akal diciptakan intinya bukan untuk membangun bangunan kebenaran empiris seperti sains tapi tujuan akhirnya untuk membangun konsep kebenaran rasional yang bersifat universal-menyeluruh tentu yang sebatas akal manusia masih bisa menangkap dan memahaminya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun