Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Politik Stigmatisasi, Mencederai Lawan Politik dengan Stigma

25 Maret 2019   10:13 Diperbarui: 25 Maret 2019   13:07 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Salah satu efek nyata dari hiruk pikuk dunia politik adalah lahirnya benturan antar kubu-kelompok di masyarakat.utamanya benturan antara dua pendukung kubu politik yang berlawanan atau pendukung kubu politik yang tengah saling berkompetisi. Aroma pertarungan itu sangat terasa disaat saat yang orang sebut sebagai 'tahun politik' atau saat saat dimana pemilu hendak digelar dan ini tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi mungkin di semua negara yang memberlakukan sistem demokrasi

Dan saat ini kita sering sekali mendengar atau membaca utamanya di media dan termasuk di artikel artikel yang dibuat warga di medsos dimana pendukung kubu politik tertentu men stigma pendukung kubu politik lawan sebagai; pembuat fitnah-hoax-haus kekuasaan, tidak suka kerja keras, benci kemajuan, sakit, tidak berakal sehat, pendukung radikalisme dlsb dlsb. Sedang kubu politik saingannya seolah diposisikan sebagai korban-fihak teraniaya.

Padahal pilihan politis seseorang itu bisa jadi tidak sebagaimana yang di stigmakan misal karena benci kemajuan atau karena mendukung apa yang disebut  sebagai 'radikalisme' tapi mungkin ada hal hal lain yang hanya Tuhan dan orang yang bersangkutan yang tahu dan faham

Melalui politik stigmatisasi ada upaya penggiringan opini untuk mencitrakan pendukung kubu politik yang satu sebagai 'hitam' dan sebaliknya kubu sebelah sebagai 'putih' karena berupaya di citrakan sebagai korban atau dengan bahasa lain; berupaya menempatkan yang satu sebagai 'sang antagonis' dan yang satu sebagai 'protagonis'. Kalau berbicara tentang 'hoax' misal,bukan semata bicara tentang substansinya serta bagaimana mendidik masyarakat untuk tidak terjerumus pada hal demikian, tapi ujungnya malah di muarakan sebagai atribut-profesi-kebiasaan dari pendukung kubu tertentu. mungkin dengan tujuan agar kubu lawan nampak memiliki citra negatif dihadapan publik

Ini sebenarnya suatu yang sudah lumrah terjadi di tiap menjelang perhelatan pemilu sebagai upaya mempengaruhi psikologi pemilih walau tentu bukan kebiasaan yang baik dan mendidik

Tetapi bila dibawa ke ranah rasionalitas-ranah akal sehat maka secara logika ini adalah suatu hal yang tidak benar mengapa ? Karena dalam dunia politik dimana orientasi masing masing kubu politik adalah kemenangan maka hal hal yang tidak baik dan tidak benar itu sebenarnya sama sama dapat dilakukan oleh pendukung kedua kubu! sehingga tak bisa lantas memuarakan atau menimpakan hal hal yang tidak baik dan tidak benar itu hanya pada satu kubu

Ketika satu media memberitakan penurunan elektabilitas salah satu paslon maka media lain ada yang meng opini kan hal demikian sebagai pengaruh massiv nya fitnah di level bawah.padahal bisa jadi itu karena sebab sebab lain yang diluar dari apa yang di opinikan itu.sehingga opini demikian itu sudah merupakan stigmatisasi tersendiri dan upaya mencitrakan salah satu kubu sebagai fihak yang teraniaya

Padahal untuk ruang lingkup Indonesia apa yang disebut fitnah,hoax, gunjingan, gosip dlsb.sama sama terjadi pada kedua belah fihak atau dilakukan pendukung kedua belah fihak,ada fitnah seputar paslon 01 dan ada fitnah seputar paslon 02,sehingga salah satu fihak tak perlu mengklaim sebagai korban fitnah atau fihak yang teraniaya.yang penting dalam hal ini adalah fihak yang di fitnah berupaya membuktikan bahwa apa yang menjadi fitnah itu tidak benar,tentu dengan memperlihatkan fakta sekaligus amal perbuatan yang menunjukkan sifat kontradiksi dengan apa yang di fitnah kan itu,maka barulah fitnah itu akan mereda.tak bisa meredam fitnah misal dengan pidato resmi semata

.............

Mengapa saya mengupas hal ini itu karena saya melihat ada ketak adilan politis disini,tak adil bila hanya satu kubu yang dijadikan 'korban' atau bila hal hal yang negatif itu hanya di muarakan melulu hanya pada satu kubu politik tertentu, untuk bersikap adil maka kita harus melihat dari berbagai sisi dan sudut pandang dengan fikiran berimbang-tanpa memihak atau tanpa di awal menempatkan diri sebagai pendukung satu kubu terlebih dahulu, kecuali hanya berupaya mencari mana yang benar dan mana yang salah. Walau orientasi mencari kebenaran ini dalam suasana politik yang sudah memanas sering dikalahkan oleh orientasi pada kemenangan

Nah dengan padangan yang adil dan berimbang-tanpa memihak itulah maka kita bisa melihat fakta real bahwa hal hal yang tidak baik dan tidak benar semisal fitnah, hoax, dlsb. Itu sebenarnya hal yang lazim dilakukan oleh kedua kubu pendukung atau sama sama berpotensi ada pada pendukung kedua kubu politik. 

Sehingga sangat tak adil bila hal yang negatif itu di timpakan hanya pada satu kubu-satu fihak sedang fihak atau kubu lawan berupaya di citrakan sebagai korban.ini adalah sebuah bentuk penyesatan opini publik

Dengan kata lain,ada pengaburan melalui opini di media utamanya seolah kubu pendukung yang satu adalah 'hitam' dan yang satu adalah 'putih',seolah yang satu adalah 'penganiaya' dan yang satu adalah fihak yang 'ter aniaya'. 

Padahal dalam dunia politik itu yang mana kedua pihak orientasi pada kemenangan maka hal hal yang negatif sebagaimana disebut diatas itu berpotensi sama sama dilakukan oleh kedua pihak.

Demikian pula faktanya di dunia medsos yang disebut hoax, fitnah,  menganiaya, mendzalimi itu sebenarnya sama sama dilakukan oleh pendukung kedua belah fihak, tak bisa disebut kelompok yang satu disebut sebagai kelompok yang selalu benar-suci-jujur dan yang satu sebagai fihak atau kelompok yang cenderung selalu jahat-licik atau tidak jujur. Potensi baik-buruk akan bisa sama sama muncul pada kedua belah fihak bergantung pada kualitas masing masing individu 

Apa yang harus kita lakukan ?

Jadi yang harus kita lakukan adalah melakukan analisis serta verifikasi atas semua hal hal yang tidak baik dan tidak benar yang ada-terjadi pada dua kubu atau yang dilakukan kedua pendukung kubu politik. Lalu mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah tanpa bermaksud menyudutkan kubu politik tertentu kecuali hanya sekedar murni mencari kebenaran

Bila jari kita cenderung selalu menunjuk pendukung kubu politik lawan sebagai pelaku kejahatan-hal hal negatif atau memuarakan hal hal yang negatif melulu hanya pada kubu politik lawan dan kubu politik yang di dukung selalu di upayakan agar selalu nampak benar bahkan dicitrakan sebagai 'korban' atau fihak ter aniaya maka disamping ada ketak adilan hal demikian juga ber potensi merusak akal sehat.

Karena akal sehat maupun nurani itu tak mengenal pemihakan politis apalagi fanatisme politis sebab hanya akan membenarkan apa yang benar yang ada atau dilakukan kubu politik manapun serta akan menyalahkan yang salah yang ada atau dilakukan kubu politik manapun.

Soal kemana kecenderungan hati memihak itu biarlah itu dikembalikan kepada kebebasan hati masing masing individu.jangan sampai publik di indoktrinsi atau dipengaruhi melalui penggiringan opini karena publik itu terdiri dari individu individu yang masing masing memiliki nurani dan akal sendiri.

Mendidik publik untuk cerdas termasuk cerdas secara politis adalah mendesain agar mereka berfikir dan memilih sendiri tanpa tekanan-tanpa indoktrinasi termasuk indoktrinasi via stigmatisasi

.......

Kesimpulan

Berhentilah menciptakan stigma kepada kelompok atau perorangan yang berbeda pandangan politik. Soal perbedaan pilihan yang selalu akan ada itu maka kita harus sadar bahwa pada tiap individu akan selalu ada alasan atau pertimbangan yang mendasarinya.sangat tidak adil kalau yang berbeda pilihan itu kita stigmakan sebagai 'pendukung hoax,tidak suka kerja,tidak suka kemajuan,menutup mata pada kenyataan dlsb.'

Karena alasan seseorang dalam memilih itu bisa jadi bukan hanya melihat faktor ekonomi semata misal tapi bisa karena pertimbangan lain yang mereka rahasiakan  atau tersembunyi dalam isi hati masing masing

Jangan menjadikan politik sebagai alat yang menyesatkan masyarakat.politik bukan lalu harus menciptakan stigma untuk melumpuhkan lawan. Karena stigmatisasi adalah sama dengan indoktrinasi atau cuci otak terhadap fikiran publik dengan mengenyampingkan apa yang ada dalam hati nurani publik yang memiliki kebebasan mutlak untuk berfikir-menilai dan tentunya memilih sendiri

Karena  politik itu harus bersifat mendidik bukan memprovokasi-menekan-menggiring-membungkam hak nurani dlsb.maka sebagai warga negara yang memiliki hak politik, kita semua berkewajiban meluruskan hal ini. 

Ini tak ada hubungan dengan soal sikap dukung mendukung. Ini adalah bagian cara kita untuk membawa suasana politik ke arah yang lebih adil dan beradab dimana politik stigmatisasi cenderung akan mengarah pada suasana politik bernuansa negatif - persaingan tidak sehat yang selalu didaur ulang setiap tahun sejak zaman orba.

Politik stigmatisasi era orba yang pernah kita caci maki habis habisan itu apa artinya dengan yang dilakukan di era sekarang ? Keduanya hakikatnya sama dan sama sama merupakan upaya pembodohan publik-bukan mencerdaskan

Marilah menjadi pelaku politik yang bijak dan juga realistis serta rasional artinya dalam memandang kebenaran tidak selalu berat sebelah, seolah yang negatif itu hanya ada di kubu lawan dan dimana kubu sendiri seolah dipandang selalu sebagai korban atau menjadi pelaku politik yang tak mencederai kubu lawan dengan berbagai stigma yang disamping belum tentu benar juga karena faktanya hal demikian itu toh bisa sama sama ada-terjadi pada kedua kubu yang saling berkompetisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun