Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Catatan 2018, Konsekuensi Menyatakan Kitab Suci Itu Fiksi

1 Januari 2019   10:44 Diperbarui: 1 Januari 2019   16:05 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di satu sisi bila makna fiksi di bawa ke wilayah imajinasi -an sich yang bersifat otonom-sebagai dirinya sendiri-sebagai SDM manusia (bukan selalu telah diparalelkan dengan makna fiktif atau dunia khayalan seperti persepsi publik) dan lalu imajinasi itu disematkan terhadap agama-kitab suci memang ada nyambung nya.

Hasilnya adalah kesimpulan bahwa bila kita meng imajinasikan sorga-neraka itu bukan suatu yang salah asal makna nya tidak melenceng dari teks suci tentu, tetapi bila lalu mengatakan bahwa sorga-neraka adalah wilayah fiksi karena hubungan keduanya dengan imajinasi itu maka itu akan menimbulkan kehebohan sekaligus problem keilmuan tersendiri.

Pertama adalah tentu karena makna fiksi yang sudah terlanjur negatif dimata publik dan kedua karena fiksi adalah wilayah manusiawi yang derajat kebenarannya bersifat relatif-bukan wilayah Ilahiah.sedang kitab suci dalam pandangan agama adalah firman Tuhan-sesuatu yang diturunkan dari Tuhan sehingga di sisi lain kitab suci harus difahami sebagai wilayah Ilahiah

Dalam kitab suci Tuhan menyatakan alam akhirat,sorga-neraka sebagai realitas atau suatu yang dinyatakan sebagai ADA.dan realitas tentu bukan dan berbeda dengan wilayah fiksi karena makna fiksi adalah untuk menggambarkan wilayah manusiawi-wilayah SDM.

Jadi kalau dilihat dengan persfectif Ilahi maka alam akhirat adalah wilayah realitas sedang kalau melihat dari sudut pandang manusiawi maka sebagian ada yang menyebut kitab suci dimana di dalamnya sorga-neraka sebagai wilayah fiksi.dan ini dua sudut pandang yang harus dibedakan

Dengan kata lain, masalahnya kitab suci itu adalah didalamnya berisi sudut pandang Tuhan atau kebenaran versi sudut pandang Tuhan dan bukan wilayah fiksi dalam arti hasil ber imajinasi manusia atau bukan kebenaran versi sudut pandang manusia.fungsi imajinasi terkait kitab suci itu hanya sebagai pembantu-pelengkap bukan penafsir utama kitab suci karena yang menafsir kitab suci itu bukan hanya imajinasi tetapi juga akal serta hati nurani.manusia menggunakan akal dalam upaya memahami kitab suci dengan cara berfikir sistematik-analitis-konstruktif sesuai karakter akal. 

Sedang karakter imajinasi itu bebas karena tak terikat metodologi serta hukum ilmu pengetahuan.orang bisa berimajinasi secara bebas karena imajinasi memang tidak terikat dengan hukum ilmu pengetahuan,beda dengan akal yang jalannya di tuntun serta terikat dengan hukum ilmu pengetahuan

Sehingga mengatakan kitab suci itu fiksi analogi nya ibarat mengatakan bahwa menu utama makanan di suatu restoran adalah sambal atau lalapan. padahal sambal atau lalapan itu hanya pelengkap dari menu utama.gunakan imajinasi atau silahkan ber imajinasi tetapi jangan keluar dari wilayah rasio atau dari penjelasan Ilahiah itu menunjukkan bahwa imajinasi itu suatu yang harus dituntun karena bila tidak maka ia bisa liar,sekaligus menunjukkan bahwa imajinasi itu bukan peralatan berfikir utama dan harus berada dalam kontrol rasio maupun utamanya kontrol nash kitab suci

Sehingga mengatakan kitab suci itu fiksi maka makna nya bisa beragam, dapat bermakna bahwa yang menentukan pemahaman terhadap kitab suci adalah imajinasi manusiawi-menjadikan imajinasi sebagai instrument keilmuan yang utama dimana peran petunjuk Tuhan, peran akal, peran hati nurani menjadi terkesampingkan.dan bahkan secara ekstrem oleh sebagian masyarakat yang pemahamannya saklek mereka mengartikan pernyataan RG itu dengan pemahaman bahwa RG menganggap kitab suci sebagai wilayah fiksi dalam arti hasil ber imajinasi manusia, tafsiran ini berarti sudah mengeluarkan Tuhan dari kitab suci dan melekatkan kitab suci hanya dengan SDM serta kreatifitas manusia yang bernama imajinasi. ini adalah respon publik yang paling berbahaya terhadap pernyataan RG. tetapi untunglah pemahaman publik masih selalu beragam,bayangkan kalau yang saklek itu yang dominan

Intinya menyatakan kitab suci adalah fiksi atau memparalelkan kitab suci dengan fiksi itu seolah menggeser peran Tuhan sebagai pemberi petunjuk dan pemegang hegemoni kebenaran membuat pemahaman terhadap kitab suci seolah bergantung hanya pada imajinasi masing masing manusia

Beda misal andai menyatakan 'kitab suci itu wilayah metafisik' maka itu tak beresiko memuarakan kitab suci ke wilayah manusiawi karena istilah metafisik adalah istilah fisafati terkait ruang-waktu yang diluar manusia, sedang istilah fiksi-imajinasi itu mutlak menggambarkan wilayah manusiawi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun