Dalam momen deklarasi pada Kamis tengah malam, 9 Agustus 2018, Presiden PKS Sohibul Iman memberikan legitimasi kesantrian sosok Sandiaga, "... Saya bisa mengatakan saudara Sandi merupakan sosok santri di era post-Islamisme."
.................
Saya bukan ingin membahas secara lebih jauh pernyataan presiden PKS itu karena itu bisa masuk wilayah politik. Saya tertarik membahas apa yang disebutnya sebagai 'post islamisme'.Â
Konsep apa itu, hanya sebuah wacana atau diskursus intelektual era kekinian-sebuah gerakan politik ataukah gerakan ideologis terkait cara pandang baru terhadap islam atau bagaimana islam menyikapi kekinian?
Kalau saya baca di media dari beberapa keterangan memang tafsiran nya bisa beragam, ada yang mengaitkannya dengan gerakan politik bercorak moderat "anti militansi", ada yang lebih menekankannya sebagai diskursus intelektual yang mengarah pada pembentukan ideologi cara pandang yang lalu dikaitkan dengan prinsip moderatisme dan sebagian pada sikap pragmatik sebagian kalangan muslim menyikapi berbagai situasi kekinian dengan cara yang fleksibel-tidak frontal seperti yang diperlihatkan kaum yang mereka sebut radikal.
Apapun definisi-pengertian atau penafsiran atas istilah itu saya berharap itu tidak berefek menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslim dan utamanya bukan cara yang diambil sebagian pihak-kaum intelektual utamanya untuk melarikan diri dari prinsip prinsip dasar keislaman.
Artinya menghadapi berbagai permasalahan di era kekinian dengan cerdas memang tak harus selalu frontal serta hitam putih tetapi bukan berarti prinsip prinsip keislaman yang mendasar seperti rukun iman atau tauhid diabaikan, karena apabila diabaikan atau dipinggirkan maka lambat laun dapat tergerus situasi dan keadaan itu sendiri.
Harus bisa berenang dalam gelombang dan bukan terbawa gelombang karena menghadapi situasi bagaimanapun itu adalah ujian iman bagi kaum beriman tentunya.
Tetapi mengapa lalu pernah terlintas dalam fikiran saya mencurigai istilah itu?
Karena istilah itu secara langsung mengingatkan saya kepada filsafat post moderanisme, sebagaimana kita ketahui post modernisme pada pusaran utamanya memiliki agenda dekonstruksionisme.
Agenda untuk mendekonstruksi narasi narasi besar yang dianggap telah mapan yang dulu merupakan agenda besar filsafat klasik. Proyek dekonstruksi dilakukan dari berbagai sisi mulai dari epistemologi hingga konsep bahasa.
Ibarat upaya meruntuhkan bangunan sebuah rumah hingga fondasi yang menopangnya sehingga konstruksi besar yang menopang gagasan lama yang bercorak logosentrisme seperti runtuh berantakan dan harus kita pahami corak logosentrisme dalam filsafat itu ber efek melahirkan ilmu teologi sebagaimana yang digunakan failosof aliran kanan Thomas aquinas dll. utamanya para filosof muslim untuk mendeskripsikan ilmu teologi secara lebih terstruktur, sehingga efek yang ditimbulkan akibat dekonstruksionisme bukan hanya terhadap filsafat tapi juga terhadap ilmu teologi dan kelak secara umum terhadap agama.
Hadirnya paham pluralisme yang cenderung menyamaratakan semua agama karena lebih orientasi pada keragaman-pluralitas bukan kepada konsep ketunggalan yang menjadi orientasi logosentrisme dan juga agama tauhid adalah efek dari gelombang dekonstruksionisme yang melanda alam pikiran umat manusia sekaligus membuktikan betapa kuat pengaruh filsafat barat terhadap pembentukan world view cara pandang umumnya manusia di era kekinian.
Tetapi mungkin kecurigaan saya akan kesamaan post islamisme dengan karakter post modernisme terlalu berlebihan mengingat konstruksi agama bukan seperti rasionalisme yang seperti dapat di dekonstruksi begitu saja karena konstruksi kebenaran dalam agama bersandar pada hal hal yang hakiki semisal hukum kehidupan pasti serta prinsip dualisme yang hingga kini masih tetap kokoh berdiri dan tak pernah dapat didekonstruksi oleh siapapun.
Walau secara pribadi dan secara psikologis, istilah "post" di era kekinian memang mudah menimbulkan semacam "phobia". Ini mungkin efek dari proyek dekonstruksi ala post modernisme dan gelombang dahsyat yang ditimbulkannya dalam peradaban saat ini.
Lalu muncul istilah "post truth", bagaimana kalau kelak muncul istilah "post tauhid" misal ya berarti tamatlah sudah kalau bermakna serupa dengan posmo.
Apakah post islamisme memiliki karakter yang serupa dengan post modernisme dalam menyikapi kemapanan?
Tak perlu berlama lama menerangkan gerakan dekonstruksionisme dalam ranah filsafat kontemporer yang sudah sering saya bahas, maka mari kita melihat struktur bangunan yang menopang agama sebagai model yang serupa dengan sebagaimana yang telah dibangun oleh para failosof klasik. Bedanya bangunan para filosof klasik dibangun oleh konsep rasionalisme, berdasarkan akal-logo sentris,sedang konstruksi bangunan agama dibangun oleh konsep IlahiahÂ
Tetapi dalam bangunan konstruksi agama itu pun terdapat tiang tiang yang ditegakkan oleh rasionalitas, artinya dalam agama prinsip logosentrisme sebagaimana dalam filsafat klasik itu juga ada-serupa hanya beda dengan dalam filsafat klasik hingga ke modern dalam agama itu tidak dijadikan sebagai tiang utama satu satunya.
Sebab itu sekali lagi, ketika proyek dekonstruksi dibuat maka efek nya juga berimbas terhadap agama, konsep-konsep dasar agama seperti konsep kebenaran mutlak-tunggal-permanen seperti juga ikut dilibas.
Intinya, apakah post islamisme juga cenderung anti kemapanan anti mainstream dan lebih suka kepada kebebasan menafsir secara individu misal? hal itu mungkin lebih baik ditanyakan langsung kepada individu individu yang merasa terlibat di dalamnya karena mungkin tak ada seorang pun atau satu corak tertentu atau satu golongan tertentu yang betul betul mengendalikan wacana atau gagasan atau gerakan ini secara sepenuhnya.
Sehingga polanya dapat saja beragam dan berbeda beda, yang penting kendali jangan sampai jatuh ketangan islamlib yang ditengarai cenderung mirip karakter kaum dekonstruksionist, mereka menafsirkan agama cenderung lepas dari prinsip prinsip dasar serta konstruksi yang membangunnya lantas memilih menjadi oposisi dari mainstream.
Kalau saya pribadi cenderung tidak ingin melekatkan diri dengan label islam yang bagaimanapun karena lebih ingin berposisi sebagai pencari kebenaran murni dalam arti murni mengikuti gerakan hati secara alami-tidak mengikuti pola yang direkayasa dari luar.
Apakah para intelektual muslim bermetamorfosis menjadi kaum post islamis dalam menyikapi perkembangan dunia saat ini? belum tentu sebenarnya, sebab bagi sebagian mungkin itu istilah asing atau  bahkan tidak mempermasalahkan keberadaannya sama sekali karena dianggap hanya sekedar wacana atau bagi sebagian.
Mungkin mereka lebih terlarut dalam pencarian pencarian pribadi dan tidak mau melekatkan diri dengan label atau ide atau gagasan apapun dan lebih suka secara alami mengikuti petunjuk Tuhan, mengikuti intuisi intuisi alamiah tanpa didesain pihak luar.
Sebuah kecenderungan pribadi yang persis saya rasakan, keinginan untuk murni, alami, bebas label mazhab dan sebagainya serta bebas desain-rekayasa pihak luar walau bukan berarti anti sosial serta tak peduli sesama kaum beriman tentunya tetapi itu hanya prinsip dasar dalam mencari serta menyikapi kebenaran.
Dengan kata lain dalam menghadapi serta menyikapi aktualitas ke saat ini dengan beragam problematikanya saya lebih memilih mengikuti intuisi alami.
Petunjuk Tuhan istilah atau bahasa agama nya dan tidak ingin melekatkan jiwa-pikiran kepada desain rekayasa pemikiran tertentu ciptaan manusia apakah post mo-post islamis-islamlib-mazhab A-Z atau aliran tertentu dalam filsafat.
Dengan kata lain saya tidak menyukai indoktrinasi dari luar kecuali itu bersesuaian dengan suara hati tentunya dan itupula sikap pribadi saya terhadap keberadaan post islamisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H