Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bila LGBT Disokong Kaum Intelektual, Maka Kembali ke Logika Sederhana

10 Januari 2018   17:26 Diperbarui: 11 Januari 2018   06:02 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut saya penting-mendasar untuk mengungkit unsur 'hawa nafsu' dalam kajian ilmiah tentang LGBT karena itu adalah hal yang mendasar yang melekat dalam diri manusia. Kitab suci sendiri berulangkali menyabit dan menyebut 'hawa nafsu' sebagai asal muasal segala perbuatan manusia yang buruk-salah-negative-menyimpang-sesat-binasa-dosa-noda dlsb yang dikategorikan sebagai 'salah'.dan tiada lain agar jangan sampai tertukar dengan 'nurani' (unsur jiwa yang tertanam dalam jiwa manusia yang memiliki karakter keilahian dan karenanya cenderung selalu suka pada yang baik dan benar).

Artinya, jangan sampai ada pembuat dosa-salah-sesat yang malah bersandar pada nurani atau memparalelkan perbuatannya dengan nurani.karena itu adalah pemutar balikkan fakta serta makna

Hal penting lain untuk mengungkap faktor hawa nafsu dalam kajian LGBT adalah agar mereka tahu -faham-mengerti apa sebenarnya hakikat hawa nafsu serta bagaimana kedudukannya dalam diri manusia. Sebab bila cenderung disembunyikan maka disamping karakternya akan tersembunyi dan masalah yang terkait keberadaan unsur hawa nafsu menjadi rumit untuk diungkap dan diselesaikan,apalagi bila sudah keluar atau dibingkai oleh dalil dalil yang 'canggih',padahal sebenarnya hanya ekspressi hawa nafsu semata hanya nampak 'benar' karena sudah dibingkai oleh dalil-argument tertentu

Coba saja andai ada LGBT yang sudahlah menganggap karakternya sebagai 'given' dan lalu ditambah dengan memparalelkan atau menyandarkan karakter nya itu pada eksistensi nurani.atau karakternya itu dianggapnya sebagai pengejawantahan dari nurani dan bukan dengan memahaminya sebagai eksistensi hawa nafsu  atau pengejawantahan dari hawa nafsu. dikemanakan pemahaman mereka terhadap 'hawa nafsu' fikirku ..karena sebagai manusia seharusnya kita terbiasa mendalami-menghayati serta lalu memahami mana perilaku atau karakter yang berasal dari hawa nafsu dan mana yang dari nurani.

Dengan terbiasa memahami nya maka kita tidak akan terkecoh oleh perbuatan yang berasal dari karakter hawa nafsu tapi menyandarkan diri pada nurani.contoh,dulu pernah ada demo orang orang yang menolak penggusuran lokalisasi tetapi malah dengan mengatas namakan 'nurani' padahal kita tahu lokalisasi adalah tempat pelampiasan nafsu yang terlarang.nah waspada bila ada pembela LGBT yang malah mencoba menyandarkan diri pada 'nurani' dan dengan menyembunyikan diri dari menyabit nyabit faktor X alias faktor 'hawa nafsu'

Artinya, kembalilah kepada pemahaman sederhana dan mendasar yang kini sudah jarang dibahas di wilayah post mo itu yaitu : fahami manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberi karunia nurani-akal dan juga hawa nafsu.apa-bagaimana hakikat ketiga nya maka bertanyalah pada kitab suci yang akan memberi penjelasan sederhana tapi nyata-bukan teoritis dan mendasar-bukan penjelasan yang meng awang awang.beda dengan meminta penjelasan pada psikolog misal yang penjelasannya bisa teoritis dan belum tentu paralel dengan kenyataan yang sesungguhnya.dengan kata lain,penjelasan kitab suci itu hakiki dan berlaku mutlak untuk keseluruhan manusia. 

Sedang penjelasan psikolog itu bisa relatif serta spekulatif sebab bisa bergantung sudut pandang sang psikolog serta bisa kondisional-bisa bergantung situasi dan keadaan

Itulah intinya,bila ada intelektual penyokong LGBT menghadirkan argumentasi yang nampak canggih-ilmiah tetapi nampak rumit untuk difahami dan dimengerti oleh publik awam maka sebagai makhluk Tuhan kembalilah kepada hal hal yang sederhana-mendasar serta 'hakiki' termasuk kembali pada logika sederhana sebagaimana dipaparkan diatas.

Dan karena kebenaran tertinggi dan terakhir itu tetap ada pada hal hal sederhana dan mendasar walau dalam perjalanannya kita harus bergumul dengan problematika keilmuan yang nampak rumit dan pelik.dan artinya, betapapun manusia berupaya membuat dalil sedemikian rupa kalau dasarnya adalah salah maka hakikatnya tetap tak akan bisa beranjak dari sana,jangan pernah berfikir bisa membuat dalil yang bisa merubah salah jadi benar dan sebaliknya.

sebab kebenaran itu memiliki substansi yang tak akan pernah bisa berubah oleh jenis pemikiran manusiawi yang bagaimanapun

......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun