Mohon tunggu...
Ujang Ti Bandung
Ujang Ti Bandung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasioner sejak 2012

Mencoba membingkai realitas dengan bingkai sudut pandang menyeluruh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebenaran Itu Kembali Pada Keyakinan Masing-masing?

1 Desember 2017   10:24 Diperbarui: 1 Desember 2017   14:23 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengadilan manusia images : bagiilmunei.blogspot.com

Bisakah para murid menciptakan sendiri sendiri 'kebenaran' lalu meminta kepada guru untuk membenarkan jawaban yang mereka buat karena masing masing telah meyakininya sebagai 'kebenaran' ? bila seorang murid meyakini bahwa jawaban yang benar adalah a dan murid yang lain memilih jawaban b dan murid yang lain lagi memilih c maka apakah sang guru harus membenarkan semuanya hanya  karena masing masing murid telah meyakini apa yang dipilihnya itu sebagai kebenaran'.... tidak bisa bukan ? (Ini prinsip kaidah ilmiah yang tegas bahwa kebenaran itu tidak bergantung pada manusia karena manusia bisa salah)

Melainkan sang guru akan memeriksa satu persatu apa yang diyakini para muridnya itu untuk diperiksa-direkonstruksi-diverifikasi apakah yang diyakini oleh tiap muridnya sebagai 'kebenaran' itu memang merupakan sebuah kebenaran ? dan bila kebenaran yang dipegang tiap murid itu berbeda dan malah berlawanan satu sama lain maka sang guru pasti akan menjadi hakim yang akan mengadili mana murid yang memegang pilihan yang benar dan mana murid yang memegang pilihan yang salah,dan cara yang dilakukan sang guru tentu melalui jalan ilmu tak bisa dengan jalan spekulasi misal.artinya sangat tidak bijak dan secara keilmuan pasti sangat salah sang guru menyerahkan masalah 'kebenaran' itu kepada 'keyakinannya masing masing',sebab bila sang guru menyerahkan problem kebenaran itu kepada 'keyakinannya masing masing murid' maka itu sama dengan membiarkan para murid boleh menciptakan kebenarannya sendiri sendiri,(dan substansi kebenaran menjadi lenyap!)

Dengan kata lain,menyerahkan kebenaran kepada 'keyakinannya masing-masing' akan membuat 'kebenaran' menjadi tergantung kepada murid yang meyakininya, sehingga ketika terjadi perdebatan perihal 'kebenaran' diantara para murid maka bisa saja salah seorang diantara mereka akan mengakhiri perdebatan dengan mengatakan 'pada akhirnya kebenaran itu bergantung kepada keyakinan masing masing',padahal menurut logika yang benar adalah seharusnya para murid itu menyerahkan problem perselisihan itu kepada sang guru agar sang guru menghakimi mana yang benar dan mana yang salah diantara mereka dan tentu dengan berpegang pada kaidah ilmu pengetahuan sebagai parameter 'yang satu untuk mengadili pilihan murid yang berbeda beda' itu.dan bayangkan kalau parameter itu banyak,sulit juga untuk mengadili murid murid itu

Demikian pula prinsip pluralisme 'semua agama benar' itu membuat pengadilan Tuhan atas seluruh umat manusia menjadi tidak berdasar parameter yang satu dan tentu itu akan membingungkan

Begitu pula ketika terjadi perselisihan seputar masalah 'kebenaran' diantara manusia logika nya seharusnya secara prinsip keilmuan memang jangan dikembalikan pada prinsip 'kebenaran itu pada akhirnya bergantung kepada keyakinannya masing masing' tapi seharusnya mengukurkannya kepada parameter yang satu yang berasal dari Tuhan yang satu misal contohnya sehingga bisa diketahui mana yang hakikatnya benar dan mana yang hakikatnya salah atau kalau perdebatan dengan yang tidak se iman minimal mengukurkannya pada prinsip kaidah ilmu logika karena prinsip ilmu logika itu mengenal 'hukum identitas' dan tiap orang itu apapun keyakinannya sama sama memiliki akal dan tentu dapat berlogika kalau akalnya mau digunakan

Apakah problem yang bersifat abstrak terkait 'kepercayaan-keyakinan' misal keyakinan terhadap kebenaran Tuhan yang esa,kepercayaan terhadap kesaktian dukun, kepercayaan terhadap dedemit,kepercayaan terhadap peri laut,kepercayaan terhadap dewa Zeus dan berbagai kepercayaan terhadap yang abstrak lain bisa juga dianalisis atau 'diadili' benar-salahnya secara prinsip keilmuan? maka saya jawab : selama kita masih bisa menggunakan logika akal mengapa tidak ? bukankah Tuhan memberi kita akal untuk kita gunakan secara maksimal bukan saja terhadap hal hal yang bersifat lahiriah-material yang bisa diverifikasi melalui bukti empirik semata tapi juga untuk hal hal yang bersifat abstrak-gaib. Apalagi bila bukti-fakta empirik juga dapat digunakan untuk disertakan didalam analisis demikian,misal mana bukti empirik yang menunjukkan eksistensi dewa zeus atau peri laut itu ada ?

Bukankah guru juga tidak selalu menguji muridnya dengan ujian yang jawabannya selalu bersifat empirik yang bisa diverifikasi melalui fakta yang tertangkap mata melulu tapi coba tanya para guru suatu saat mereka juga menguji muridnya dengan tujuan untuk mengasah kecerdasan akalnya, bahkan mungkin suatu saat untuk mencerahkan spiritualnya,dan ujian akal-spiritual itu tentu beda dengan ujian yang menggunakan bukti empirik sebagai parameter kebenaran. dan itu dibuat agar para murid memiliki kualitas akal serta spiritual yang baik

Tapi itulah kesulitannya adalah bila kita berdebat dengan yang tidak se keyakinan maka mana yang mau diukurkan kepada kaidah ilmu logika atau apalagi parameter pemahaman terhadap Tuhan yang kita yakini misal, tetapi dengan menggunakan analogi diatas minimal kita telah mengarahkan logika manusia kearah cara penyelesaian yang logis-masuk di akal,soal di ujung lawan debat kita menolak di ukurkan kepada parameter kaidah keilmuan yang 'satu untuk semua' maka itu sudah diluar wewenang kita

Dan itulah bila manusia bebas membuat dan menentukan kebenaran sendiri sendiri maka kebenaran akan menjadi suatu yang terkotak kotak kepada kotak kotak yang terpisah yang sulit untuk bisa disatu padukan sehingga kebenaran sulit untuk bisa dilihat sebagai suatu yg menyeluruh dan menyatu,bandingkan bila dikembalikan kepada Tuhan maka hanya Tuhan yang bisa mendeskripsikan kebenaran secara  menyatu-menyeluruh-tidak terkotak kotak.beda dengan bila kebenaran itu ada ditangan manusia maka beragam klaim dan mazhab yang berlainan dapat muncul dari dalamnya

Begitulah untuk menyelesaikan perselisihan masalah kebenaran antar manusia sebenarnya perlu satu Tuhan atau secara prinsip keilmuan ; satu kaidah keilmuan untuk menyelesaikannya.dimana yang satu itulah yang akan memutuskan mana yang benar dan mana yang salah untuk keseluruhan,dan tak bisa menyelesaikan masalah kebenaran secara tuntas dengan mengacu kepada keyakinan si A si B si C dst.

Dan secara kaidah keilmuan mengapa problem kebenaran tak bisa dikembalikan atau dimuarakan kepada keyakinannya atau kepercayaannya masing-masing,karena bila demikian yang terjadi maka otomatis kebenaran akan menjadi relatif.dan prinsip demikian adalah prinsip yang disukai dan lalu menjadi pegangan kaum relativis,skeptis,post mo,post truth karena mereka bahkan cenderung berkeinginan mendekonstruksi konsep konsep kebenaran yang sudah mapan.tidak percaya,.. cobalah berdebat dengan mereka ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun