Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan perlombaan ekonomi global, isu lingkungan sering terpinggirkan dari agenda kebijakan publik. Padahal, krisis lingkungan adalah ancaman nyata yang tak pandang bulu: banjir besar melanda perkotaan, kekeringan mengancam pertanian, dan polusi udara meracuni napas jutaan manusia. Indonesia, negara yang dikenal sebagai paru-paru dunia, kini menghadapi dilema besar antara mengejar pertumbuhan ekonomi atau mempertahankan keseimbangan ekosistem. Tapi, mungkinkah kita memilih jalan ketiga—jalan yang berkelanjutan dan adil?Â
Lingkungan bukan sekadar ruang fisik yang menjadi tempat hidup manusia; ia adalah sistem penopang kehidupan yang menyatukan masyarakat, budaya, dan ekonomi. Namun, di Indonesia, peran lingkungan dalam kebijakan pembangunan sering kali dikesampingkan demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi. Deforestasi, pencemaran air, dan perubahan iklim bukanlah fenomena alam semata, melainkan cerminan dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang timpang. Dengan krisis lingkungan yang semakin akut, saatnya kita menjadikan politik hijau sebagai agenda utama untuk memastikan masa depan yang berkeadilan bagi semua.Â
Lingkungan dan Ketimpangan Struktural
Indonesia adalah salah satu negara yang diberkahi dengan kekayaan alam yang luar biasa. Dari luasnya hutan tropis hingga beragam sumber daya tambang yang melimpah, negara ini memiliki potensi besar untuk menopang kehidupan warganya secara adil dan berkelanjutan. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kekayaan alam ini menjadi sasaran eksploitasi tanpa henti oleh perusahaan besar dan elite politik, sementara masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya tersebut justru menjadi korban utama. Kerusakan lingkungan tidak lagi sekadar ancaman ekologis, tetapi juga cerminan nyata dari ketimpangan struktural yang mendalam dalam sistem sosial, ekonomi, dan politik Indonesia.
Deforestasi yang terjadi selama dua dekade terakhir adalah salah satu bukti nyata. Data dari Global Forest Watch (2020) menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan hampir 10 juta hektare hutan dalam 20 tahun terakhir. Sebagian besar kerusakan ini disebabkan oleh ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit, tambang, dan pembangunan infrastruktur skala besar. Proyek-proyek ini sering kali dilakukan tanpa melibatkan konsultasi atau persetujuan dari masyarakat adat yang telah menjaga tanah tersebut selama berabad-abad. Vandana Shiva, dalam Earth Democracy (2005), menyebut pola ini sebagai "manifestasi dari ketidakadilan struktural," di mana keputusan-keputusan yang merusak lingkungan hampir selalu diambil oleh kelompok elite yang mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang bagi ekosistem dan masyarakat lokal.
Ketimpangan ini tidak hanya merugikan masyarakat adat, tetapi juga kelompok rentan lainnya seperti petani kecil dan nelayan. Mereka kehilangan akses ke tanah, air, dan sumber daya alam lainnya akibat proyek-proyek eksploitasi tersebut. Dalam banyak kasus, tanah adat mereka digusur untuk kepentingan perusahaan, tanpa ada kompensasi yang memadai. Lebih buruk lagi, mereka sering kali disalahkan atas kerusakan lingkungan yang terjadi, sementara pihak-pihak yang sebenarnya bertanggung jawab—perusahaan besar dan institusi politik yang mendukungnya—luput dari akuntabilitas. Situasi ini menggambarkan dengan jelas apa yang disebut Shiva sebagai "kolonialisme modern," yaitu eksploitasi sumber daya lokal oleh kepentingan kapitalisme global dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal.
Ketidakadilan struktural ini juga terlihat jelas di kawasan perkotaan. Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan politik Indonesia, menghadapi krisis lingkungan yang semakin parah. Polusi udara, yang sebagian besar berasal dari emisi kendaraan bermotor dan pembangkit listrik tenaga batu bara, telah menjadikan Jakarta salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia menurut laporan IQAir (2023). Polusi ini tidak hanya mengancam kesehatan warga, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah padat penduduk dan dekat dengan kawasan industri paling merasakan dampaknya, sementara kelompok elite yang tinggal di kawasan dengan akses infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang baik relatif terlindungi dari ancaman tersebut. Ketimpangan ini menegaskan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari krisis keadilan sosial.
Banjir yang hampir setiap tahun melanda Jakarta adalah contoh lain dari dampak ketimpangan struktural terhadap lingkungan. Masyarakat miskin yang tinggal di bantaran sungai atau daerah rawan banjir paling merasakan dampaknya. Mereka kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, bahkan nyawa. Ironisnya, banyak dari mereka yang tinggal di daerah ini karena keterpaksaan, akibat mahalnya harga tanah dan perumahan di lokasi yang lebih aman. Sementara itu, pembangunan infrastruktur besar-besaran, seperti reklamasi pantai dan gedung pencakar langit, terus dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem dan masyarakat. Kebijakan pembangunan seperti ini menunjukkan bagaimana kepentingan elite ekonomi sering kali diutamakan di atas kebutuhan masyarakat luas.
Sebagaimana yang ditegaskan Vandana Shiva, "keberlanjutan hanya dapat dicapai jika kita memperbaiki relasi kuasa antara manusia dan alam." Dalam konteks Indonesia, ini berarti mendekonstruksi sistem politik dan ekonomi yang memprioritaskan eksploitasi sumber daya alam demi keuntungan segelintir pihak. Upaya untuk mengatasi krisis lingkungan harus dimulai dengan mengakui hak-hak masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya atas tanah dan sumber daya mereka. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa setiap proyek pembangunan melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlanjutan ekosistem.
Ketimpangan struktural yang mendalam ini tidak hanya memperburuk krisis lingkungan, tetapi juga menghambat upaya untuk mencari solusi yang berkeadilan. Vandana Shiva menawarkan pendekatan alternatif melalui konsep Earth Democracy, di mana manusia dan alam dipandang sebagai entitas yang saling terhubung dan setara. Dalam kerangka ini, kebijakan lingkungan tidak hanya berfokus pada aspek teknis seperti rehabilitasi hutan atau pengurangan emisi karbon, tetapi juga mencakup dimensi keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dalam transisi ke arah pembangunan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Namun, hal ini hanya dapat terwujud jika pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengakui bahwa krisis lingkungan adalah persoalan politik dan keadilan, bukan sekadar masalah teknis. Dengan keberanian untuk mendekonstruksi sistem yang timpang dan membangun paradigma baru yang inklusif, Indonesia dapat menjadi contoh bagi dunia tentang bagaimana menciptakan keseimbangan antara manusia, alam, dan pembangunan. Sebagaimana yang diungkapkan Shiva, "keberlanjutan adalah tentang memulihkan hubungan antara manusia dan bumi yang telah dirusak oleh ketidakadilan." Saatnya Indonesia menjadikan ini sebagai landasan utama dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Melawan Paradigma Eksploitasi
Pembangunan di Indonesia selama ini lebih sering dimaknai sebagai usaha untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan segala cara, termasuk melalui eksploitasi besar-besaran sumber daya alam. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, penambangan mineral, dan pembangunan infrastruktur skala besar menjadi simbol dari paradigma pembangunan yang eksploitatif. Namun, di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi yang dikejar, ada harga yang sangat mahal: kerusakan lingkungan yang meluas, hilangnya keanekaragaman hayati, dan konflik sosial yang tak kunjung reda.