Lah, sisa anggaran penerimaan itu harus mencari ke mana? Mengandalkan unit ventura seperti parkir yang mulai meroket harganya? Denda karena kita telat mengembalikan buku perpustakaan? Atau proyek-proyek penelitian? Memangnya cukup? Bukankah ada mahasiswa yang jumlahnya pasti sebagai pemasukan UI?
5. Oh iya, apakah dosen UI memang dibayar murah?
Mengingat ketika diskusi 23 Desember lalu antara mahasiswa dengan rektorat, salah satu poin yang sering disebutkan rektor adalah tentang gaji dosen.
Setidaknya, kita bisa berasumsi terdapat pembagian dimensi gaji dosen menjadi 4 hal, yaitu
a) Status kepegawaian (dosen PNS, dosen UI, dan kontrak (P3T))
b) Pangkat (asisten ahli, lektor, lektor kepala, profesor)
c) Jabatan dosen bersangkutan (misal ada dosen yang menjadi dekan, manajer, kaprodi, dsb)
d) SKS dan kelas mengajar (misal perbedaan jumlah bayaran mengajar antara kelas reguler, paralel dan KKI)
Jika dijelaskan secara singkat, masalah gaji dosen tidak banyak pengaruhnya dari sisi penerimaan mahasiswa. Justru status kepegawaian lah yang lebih banyak berpengaruh terhadap kesejahteraan dosen (lihat Kepegawaian di UI)
6. Lalu pertanyaannya, apakah mahasiswa yang harus dikorbankan atas itu semua?
Rektorat berangkat dari fakta bahwa mayoritas mahasiswa yang masuk UI adalah menengah ke atas. Alangkah tidak adil bahwa mereka yang mampu tersebut justru membayar murah. Terlihat sangat logis.
Tapi logika tersebut dapat dibalik. Sebenarnya berapa biaya yang dibutuhkan setiap mahasiswa? Setelah didapatkan besarannya, maka berapa uang yang mampu mahasiswa bayarkan? Lalu selisihnya (antara biaya yang dihabiskan dan biaya kuliah yang dibayarkan), maka sisanya akan menjadi tanggungan pemerintah dan UI. Inilah logika yang diamanatkan UU termasuk Peraturan Menteri bahwa BKT adalah UKT ditambah BOPTN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H