1. Apa dasar kenaikan batas atas ini?
Dasar kenaikan ini adalah penyesuaian sistem pembayaran yang terbaru. Dari sistem yang hanya berlaku di UI bernama Biaya Operasional Pendidikan-Berkeadilan (BOP-B) menuju Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku bagi seluruh Perguruan Tinggi Negeri. Dari pembiayaan empat komponen berbeda yaitu BOP, Dana Kesejahteraan Fasilitas Mahasiswa (DKFM), Uang Pangkal (UP), Dana Pelengkap Pendidikan (DPP) menjadi satu yaitu UKT. Dari sistem yang memberatkan di semester awal, menjadi sistem yang menyamaratakan pembayaran setiap semesternya. Dari sistem yang membebankan kepada mahasiswa, pemerintah dan UI menjadi hampir sepenuhnya ditanggung mahasiswa.
2. Bagaimana kenaikan itu terjadi?
Penyesuaian yang dijelaskan sebelumnya berimplikasi pada adanya perhitungan baru. Perhitungan yang selayaknya bersifat terbuka komponen-komponennya (salah satunya dari Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri)
Nah, komponen-komponen yang sebelumnya dibebankan pada pemerintah dan UI mulai beralih ke mahasiswa. Pada masa transisi BOPB ke UKT, kita dapat melihat bahwa (kasarnya) UI tidak mau ribet dalam menghitung ulang. UI menerapkan kebijakan bahwa Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN) digunakan seluruhnya untuk menutupi UP mahasiswa. Jadi, uang per semesternya cukup dari BOPB. DPP yang dibayarkan juga di awal ditanggung oleh UI.
Kebijakan UKT terlihat hanya menguntungkan mahasiswa, padahal justru sangat menguntungkan UI, karena UI mendapat biaya besar dari pemerintah dengan membebankan besaran UP maksimal setiap mahasiswa. Padahal dengan mekanisme sebelumnya, UP bisa memakai konsep berkeadilan bukan? Bahkan bisa bernilai 0 rupiah. Namun, kebijakan UKT di UI melegalkan penggunaan BOPTN untuk menghapus UP mulai angkatan 2013, 2014 dan 2015. Kira-kira 2016 gimana ya?
Jadi, ketika kebijakan UKT diterapkan beban negara cukup besar untuk UI. Kampanye UI agar biaya uang pangkal dihilangkan ternyata memang sangat besar karena memakai bilangan angka maksimal.
3. Jadi BOPTN UI ingin dialokasikan kemana?
Barangkali UI merasa rugi dengan menggunakan uang dari pemerintah yang besar tadi hanya untuk mahasiswa. Padahal uang tersebut bisa dialokasikan ke proyek-proyek UI, perkembangan penelitian, jurnal internasional, bikun, pegawai outsource dan masih banyak lagi. Nah, sekali lagi daripada ribet, lebih baik dibebankan seluruhnya untuk mahasiswa. Toh, sistem UKT yang ada mengizinkan alias melegalkan hal tersebut.
4. Padahal katanya UI mendapatkan jatah BOPTN terbesar dari pemerintah dibandingkan PTN-PTN lainnya bukan?
Betul! BOPTN UI terbesar se Indonesia, meskipun tahun 2016 mengalami penurunan sebesar Rp 18 M dari yang sebelumnya Rp 263 M menjadi Rp 245 M, BOPTN untuk UI masih yang terbesar. Nah, meskipun BOPTN UI terbesar, tetapi harus dilihat apakah itu mencukupi rencana keuangan UI dari sisi penerimaan? Bisa jadi secara jumlah memang terbesar, tetapi ketika dimasukkan ke anggaran internal UI ternyata persentasenya kecil (di bawah 50%) dari rencana.
Lah, sisa anggaran penerimaan itu harus mencari ke mana? Mengandalkan unit ventura seperti parkir yang mulai meroket harganya? Denda karena kita telat mengembalikan buku perpustakaan? Atau proyek-proyek penelitian? Memangnya cukup? Bukankah ada mahasiswa yang jumlahnya pasti sebagai pemasukan UI?
5. Oh iya, apakah dosen UI memang dibayar murah?
Mengingat ketika diskusi 23 Desember lalu antara mahasiswa dengan rektorat, salah satu poin yang sering disebutkan rektor adalah tentang gaji dosen.
Setidaknya, kita bisa berasumsi terdapat pembagian dimensi gaji dosen menjadi 4 hal, yaitu
a) Status kepegawaian (dosen PNS, dosen UI, dan kontrak (P3T))
b) Pangkat (asisten ahli, lektor, lektor kepala, profesor)
c) Jabatan dosen bersangkutan (misal ada dosen yang menjadi dekan, manajer, kaprodi, dsb)
d) SKS dan kelas mengajar (misal perbedaan jumlah bayaran mengajar antara kelas reguler, paralel dan KKI)
Jika dijelaskan secara singkat, masalah gaji dosen tidak banyak pengaruhnya dari sisi penerimaan mahasiswa. Justru status kepegawaian lah yang lebih banyak berpengaruh terhadap kesejahteraan dosen (lihat Kepegawaian di UI)
6. Lalu pertanyaannya, apakah mahasiswa yang harus dikorbankan atas itu semua?
Rektorat berangkat dari fakta bahwa mayoritas mahasiswa yang masuk UI adalah menengah ke atas. Alangkah tidak adil bahwa mereka yang mampu tersebut justru membayar murah. Terlihat sangat logis.
Tapi logika tersebut dapat dibalik. Sebenarnya berapa biaya yang dibutuhkan setiap mahasiswa? Setelah didapatkan besarannya, maka berapa uang yang mampu mahasiswa bayarkan? Lalu selisihnya (antara biaya yang dihabiskan dan biaya kuliah yang dibayarkan), maka sisanya akan menjadi tanggungan pemerintah dan UI. Inilah logika yang diamanatkan UU termasuk Peraturan Menteri bahwa BKT adalah UKT ditambah BOPTN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H