saat itu
kabarnya
langit tengah dikepung mendung
pada suatu senja yang hampir rampung
di karet bivak
para pelayat gundah
menyaksikan satu jenazah
ditimbun tanah
...ilaihi rooji'uun
hujan tak turun
tapi air mata jatuh beruntun
bumi basah!
tiba-tiba sekelompok pemuda
perlahan angkat suara
barangkali hendak menepis
asa yang sempat kempis
mereka bernyanyi
meski melankolis
   "bunda, relakan darah juang kami..."
ah!
saat itu
kabarnya
haru pemakaman
berubah jadi hari penahbisan
   : pahlawan!
tepat
dugaanku
itu pasti
akan sulit dihindari!
saat itu
ada benarnya
aku tak ikut mengantar
hanya mengeram di dalam kamar
larut ke dalam buku
"nyanyi sunyi seorang bisu"
mengapa pula
mesti berduka?
asal paham
aku bebas dari dendam
dan hormatku padanya
menghargai setiap upaya
setiap karya
jasad, lenyaplah
direcah cacing tanah
dirimbung
belatung
biarkan!
saat itu pula
benar adanya
langit di atas rumahku
tiada kelabu
emas! senja emas!
maka keyakinanku kian membesi
sebab esok-lusa, seiring terbit matari
yang berbalut hawa pagi
akan lahir
ribuan generasi semahir
atau bahkan melampauinya
keyakinanku sungguh bernas
tiada cemas
selanjutnya
siapkan saja
kenduri raya!
.
/Bandung, 2006-2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H