Sejauh ini, upaya-upaya masyarakat menghormati dan atau menghargai guru senantiasa banyak jumlahnya. Apalagi saat menjelang atau bertepatan dengan momentum hari guru pada skala nasional maupun internasional.Â
Bentuk-bentuk penghormatan dan atau penghargaannya juga beragam, baik yang dikemas dengan serius dan meriah berdasar pada penelitian atau penilaian dengan kriteria tertentu maupun sekadar perayaan sederhana atau sebatas ucapan selamat.
Masih banyaknya upaya masyarakat menghormati dan atau menghargai guru menandakan bahwa profesi guru dianggap penting dan mulia. Artinya, profesi guru tidak kalah penting dan mulianya dengan profesi-profesi lain semisal polisi, hakim, dokter, arsitek, gubernur, menteri, atau presiden.Â
Bahkan pada taraf tertentu, baik yang sudah lama bekerja maupun yang baru, orang yang berprofesi sebagai guru ialah otomatis dianggap pahlawan, meski pun tanpa tanda jasa.
Namun demikian, banyaknya penghormatan dan atau penghargaan masyarakat terhadap profesi guru tidak otomatis berbanding lurus dengan meningkatnya minat masyarakat, khususnya kaum muda, menjadi guru. Coba saja cek secara langsung di lapangan.
Jika kita bertanya cita-cita pada mereka, menjadi guru adalah jawaban yang pasti sangat tidak populer (untuk mengatakan tidak ada sama sekali). Alih-alih menjadi kebanggaan, yang kerap muncul malah persepsi semacam rasa "tabu".Â
Tabu yang dimaksud pada kasus ini adalah pandangan-pandangan yang relatif bermakna merendahkan.
Lantas, barangkali, kita bertanya-tanya. Mengapa mayoritas dari mereka tidak berminat menjadi guru padahal profesi tersebut amat mulia? Mengapa kemudian profesi guru malah dianggap "tabu"? Jawabannya bisa sangat beragam, bergantung pada sudut pandang yang digunakan.
Namun, dari berbagai jawaban tersebut, ada satu alasan umum yang kiranya penting menjadi perhatian kita, yakni akibat adanya kekeliruan-kekeliruan persepsi atau bahkan fakta-fakta yang kurang relevan bagi hati nurani mereka sehingga akhirnya memunculkan suatu kesimpulan yang kurang baik.
Suka atau tidak, memang ada paradoksal yang cukup kuat dan berkembang di masyarakat ihwal profesi sang "Umar Bakri" tersebut. Meskipun dianggap penting dan mulia.
Profesi guru masih kerap dinilai sebagai profesi yang kurang menjanjikan bagi penghidupan di masa depan, harus serbatahu, tidak punya kebebasan, dan jam kerjanya dua puluh empat jam penuh.