Mohon tunggu...
Agra Andromeda
Agra Andromeda Mohon Tunggu... -

Sang Pamungkas

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ritual Sang Perawan

3 Juli 2010   11:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:07 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dibawah Jembatan Pahlawan yang menyatukan Siulak Mukai dan Siulak Gedang. Ditengah hari yang menyengat. Seorang perawan desa hadir disana. Kain panjang bermotif Angso Duo membalut tubuhnya. Dengan rambut dibiarkan terurai, lekukan biola tubuh itu sungguh memancing libido jejaka yang mengintip dibalik belukar. Jemari lentiknya mengeluarkan satu persatu kembang dari bakul, lalu ditebarkan ke sungai seiring mantra yang dikhatam semalam. Bibir tipis itu begitu lincah melafasnya. Kini telah lengkap, semua syarat telah ditunai. Seketika dia terjun menyambangi kembang tujuh warna itu, mencelupkan tubuh. Dan, ritual sang perawan dimulai.

***
Untuk kesekian kali kau menatap pantulan wajah mu di cermin petak nan retak peninggalan Nyai yang tetap kau pertahankan di pojok kamar. Konon seantero desa mengakui, dulu Nyai mu adalah gadis tercantik. Adalah sahih bila kau cucu tunggalnya ingin memiliki anugerah yang tak diwariskan itu. Untuk kesekian kali kau poles krim mahal yang kau beli ditoko Si Mancik sore tadi. “Tujuh hari kulit akan putih merona”, lirih mu (berlogat seperti bintang iklan krim tersebut). Lihat, jejeran produk yang menghiasi meja rias mu. Entah berapa banyak rupiah yang telah terbuang demi perawatan ini. Semua itu karena sebuah hasrat berharap dapat merubah kulit gelap menjadi terang. Gigih nian perjuangan mu. Walau jauh di lubuk hati kau meragukan semua itu.

Sebenarnya dia adalah gadis yang anggun, hanya kulitnya saja yang sedikit legam tak seperti kulit masyarakat negeri ini pada umumnya, kuning langsat. Rambut ikalnya menambah corak tersendiri, kriwilnya kian menggemaskan temani lesung pipi kala senyum manis terpapar. Silvia biasa dirinya disapa, cucu tunggal seorang Nyai terkaya dikampung itu. Banyak sudah lelaki yang terpikat, tapi urung segera menyergap. Strata sosial tentulah jawaban yang tepat, suatu hal yang berlaku mutlak di daerah itu.

***
“Apa sih eloknya Yepi itu?!”
Pecahan vas bunga keramik Persia yang berserak merupakan wujud amarah mu. Satu jam sudah kau berceloteh, mengumpat karib mu sejadi-jadinya.

“Mengapa harus dia!” lengkingan mu protes pada wanita disamping pria di pasar tadi.
Perjuangan itu berdinding sudah, usaha keras mempercantik diri-pun seakan tak berfaedah. Seperti raungan balita, kau menangis sesegukan hingga kau rasakan lagi asinnya air yang bermuara dari hidung mu.

***
Tersebutlah Hengki, pria beruntung yang mampu membuat saraf mu bekerja tak rasional. Tubuh yang berotot, rahang nan kokoh dan wajah rupawan. Wajar saja kau kian menggila ingin memilikinya. Namun, dia tak seberuntung mu. Terlahir dalam satu keluarga yg sederhana mengajarinya banyak hal, terutama akan status diri pada negeri yang “Harga Diri” terletak dari banyaknya berlian dalam genggaman. Tidak salah jika dia bungkam akan perasaannya pada mu, dia kebetulan lebih awal mengerti akan aturan sebuah tradisi.

Kau yang berbeda dengannya tak pernah mengerti hal ini. Pikiran mu hanya dipenuhi oleh trik bagaimana upaya untuk mendapatkannya. Seperti sore itu, hujan lumayan deras. Basah kuyublah kau dipinggir lapangan. Bukan karena ikut merampas bola, tapi kau hadir sebagai penonton tunggal untuk menyemangati Hengki berlaga bermain bola. Ruam kulit dipaha yang membiru adalah bukti hukuman kemurkaan ibu akan kelakuan nekad mu itu. Belum lagi aksi mengendap-endap yang kau peragakan pada malam menjelang tahun baru dulu, nafas mu berpacu dengan nadi yang tangkas menandakan bahwa kau cemas. Kau buka jendela, sangat hati-hati tanpa derit sedikit-pun. Bersijingkat, lalu kau melompat dan lari terengah meminta bantuan. Kau bagai suluh yang baru padam, asap dikepala mu begitu menyengat. Yepi lah yang membantu menyelamatkan rambut mu nan nyaris gosong karena mesin catok pelurus rambut.

Perhelatan perangai gila mu mewujudkan mimpi tidak cuma berakhir disana. Suatu malam kau pernah terjungkal dari ranjang, menyeruduk sesak. Padi jodoh yang kau dapatkan dari Ni Lin adalah penyebabnya. Setengah jam kau merebusnya dengan mantra yang tak putus diucap, keringat bercucuran, dan lidah letup tak berasa karena buru-buru ‘tuk menunaikannya. Alhasil, panas menyerang raga mu semalaman. Menganggap itu adalah efek si Padi Jodoh kau mencoba bertahan sekuat tenaga, hingga sesak yang tak terbilang membuat mu menyerah, menjambak adik mu yang terkulai lelap. Beruntung kau selamat.

***
Suatu sore, kala hitam mulai menggantikan pesona jingga, di senja yang syahdu itu butiran bening mata mu tak kuasa terbentung mendengar penuturan jujur seorang karib.

“Bukan! Aku bukan wanita beruntung yang dipilihnya”
“Hatinya telah tersimpul kokoh pada mu, aku adalah titian penghubung itu”

Tumpah-lah penyesalan mu, tertatih kalimat maaf terucap dari bibir mu pada karib yang sebenarnya begitu elegan membantu mu mewujudkan sebuah mimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun